Dzikra Yuhasyra’s eCommerce – Best Partners to Develop Your Agricultural Skills!

 

 

Website Dzikra Yuhasyra’s eCommerce bersiap untuk launching dan dalam tahap pengembangan!

Saya, Dzikra Yuhasyra, Alumni Program Studi Rekayasa Pertanian SITH ITB angkatan 2013 yang sekarang sedang menempuh pendidikan di jenjang Magister di Program Studi Magister Ekonomi Pertanian Faperta UNPAD angkatan 2023 ganjil dan berdomisili di Kota Bandung, Jawa Barat, baru saja membuat dan mengembangkan website e-Commerce yang khusus dibuat untuk meningkatkan agricultural skill dan menyiapkan pelaksanaan agricultural project baik untuk masyarakat umum, pemula dan penghobi di bidang pertanian, mahasiswa di jurusan pertanian dan bidang terkait, sampai praktisi dan expert di bidang pertanian.

Saya menginisiasi website ini bersama rekan sejawat di Magister Ekonomi Pertanian Faperta UNPAD, yaitu Kang Suryadi Abdul Gani dan Kang Agum Restu Alam. Kami mempunyai visi besar ke depan untuk menjadi leading platform dalam berbagai aspek di bidang pertanian, mulai dari penyediaan skill dan pengetahuan, seperti e-Books, modul, pelatihan, courses, training, sampai penyediaan berbagai persiapan, sarana produksi, teknologi pertanian, dan keperluan lainnya untuk memulai suatu proyek pertanian, mulai dari skala kecil sampai skala besar. Semoga visi besar ini dapat terlaksana ya! Aamiin..


Dzikra Yuhasyra’s eCommerce bisa dikunjungi di link:

 

https://dzikraecommerce.my.id

Jangan lupa beli e-Books, Courses, Pelatihan, dan Sarana Produksi Pertanian di Dzikra Yuhasyra’s eCommerce untuk meningkatkan agricultural skill dan memulai agricultural project-mu!

Dzikra Yuhasyra’s eCommerce: Best Partners to Develop Your Agricultural Skills!

Mari majukan Petani, Generasi Muda Tani, dan Pertanian Indonesia!

Mengapa ‘Policy’ Dimaknai sebagai ‘Kebijakan’ dalam Bahasa Indonesia?

Mengapa ‘policy’ dimaknai sebagai ‘kebijakan’ dalam Bahasa Indonesia?


Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi berpidato pada pembukaan forum Kebijakan Luar Negeri dan Kesehatan Global di Kantor Kementerian Luar Negeri, Jakarta, pada Januari 2020.
M Risyal Hidayat/Antara Foto

 

 

Lewat lema ‘kebijakan’, bahasa Indonesia menyamakan ‘policy’ dengan kebijaksanaan.

Padahal, kalau kita bandingkan dengan bahasa lain, makna ‘policy’ lekat dengan ‘politics’ (politik).

Misalnya, ‘policy’ dalam bahasa Melayu adalah ‘polisi’, dalam bahasa Belanda ‘politiek’, bahasa Prancis ‘politique’, dan dalam bahasa Arab ‘siyasah’. Bahkan, kata ‘policy’ tidak berbeda secara makna dengan kata ‘politik’ dalam bahasa Denmark ‘politik’ dan bahasa Italia ‘politica’.

Sangat berbeda dengan yang terjadi dalam bahasa nasional kita. Saya mencari tahu mengapa kata ini dipilih lewat riset linguistik sejarah semantik kata ‘kebijakan’.

Kebijakan dan makna terkait

Kata ‘kebijakan’ merupakan kata benda dari akar kata ‘bijak’. Imbuhan ke- dan -an berfungsi untuk membuat kata benda dari bijak yang menggambarkan kondisi yang berhubungan dengan akar kata tersebut.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menghubungkan kata sifat ‘bijak’ dengan dua makna, yaitu selalu menggunakan akal budinya; pandai; mahir; dan pandai bercakap-cakap; petah lidah.

KBBI lalu mendefinisikan kata kebijakan sebagai dua hal. Yang pertama kepandaian, kemahiran, dan kebijaksanaan. Dan yang kedua rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dan sebagainya); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran; dan garis haluan.

Konstruksi kata ‘kebijakan’ ini bisa dikaitkan dengan ‘kebijaksanaan’, yang merupakan kata benda dari ‘bijaksana’. Kata ‘bijak’ dan ‘bijaksana’ memiliki makna yang sama.

Namun, kebijaksanaan lebih universal daripada kebijakan. Kebijakan memiliki asosiasi spesifik yang merujuk pada ‘policy’, dan muncul pada wacana politis.

Kata lain yang anagram dan homofon dengan kebijakan adalah kebajikan. Akar kata ‘bajik’ berarti baik, sehingga kebajikan berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan (keselamatan, keberuntungan, dan sebagainya) dan perbuatan baik.

Meski ‘kebajikan’ tidak digunakan dalam konteks politik, anagram dan homofon ini berpotensi menciptakan bayangan makna sehingga kebijakan bisa diasosiasikan dengan kebajikan dan kebijaksanaan.

Bayangan makna ini bisa meletakkan ‘kebijakan’ pada posisi baik yang universal dan tidak bermakna politis (apolitis).

Dengan demikian, ‘kebijakan’ menjadi tidak dapat ditentang, karena siapa yang bisa melawan kebijaksanaan atau kebaikan?

Kemunculan kata kebijakan

Tidak mudah untuk menelusuri awal mula kemunculan sebuah kata. Ada dua sumber yang bisa digunakan, yakni kamus dan penggunaan sehari-hari yang terdokumentasi.

Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia dipengaruhi oleh Bahasa Melayu, Bahasa Jawa, Bahasa Belanda, Bahasa Arab, dan bahasa asing lainnya termasuk Bahasa Inggris. Saya melakukan studi bahasa pada kamus monobahasa maupun dwibahasa dalam bahasa di atas yang diterbitkan dari tahun 1901, 1916, 1920, 1953, 1970, 1982, 1988, 2004 hingga kamus digital tahun ini.

Pada awal 1900, kata ‘kebijakan’ tidak ada dalam kamus Bahasa Melayu, tapi ada kata ‘bijak’. Dalam kamus tersebut, ‘policy’ diterjemahkan menjadi peraturan. Kamus Bahasa Jawa 1920 mencatat kata ‘wicaksana’, yang kemudian diadopsi menjadi bijaksana dalam bahasa Indonesia.

Pada Abad ke-15 dan ke-16, ‘policy’ juga disebut sebagai political sagacity dalam bahasa Inggris, yang artinya kecerdasan politis.

Istilah ‘politics’ dan ‘political strategies’ muncul beberapa abad setelah itu. Istilah ini muncul dalam pidato Presiden Sukarno setelah Indonesia merdeka untuk mengkritik imperialisme.

Pada masa pemerintahan Sukarno (1945–1966), kata ‘kebijaksanaan’ sangat jarang ditemui di dokumen kenegaraan. Setelah mencermati dokumen kebijakan yang sudah didigitalisasi, kata ‘kebijaksanaan’ muncul dua kali di Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS) No. II/MPRS/1960.

Kata ‘amanat’ dan ‘manifesto’ lebih sering digunakan pada masa Orde Lama, misalnya amanat presiden dan manifesto politik. Kata ‘amanat’ merupakan transliterasi dari bahasa Arab yang berarti tanggung jawab kepada Tuhan. Sedangkan ‘manifesto’ adalah kata yang sudah dihapus selama masa standardisasi dan netralisasi bahasa Indonesia pada zaman Orde Baru.

Pada masa Orde Baru, kata kebijaksanaan dan kebijakan lebih sering muncul untuk merujuk makna ‘policy’.

Meski ‘policy’ konsisten diterjemahkan sebagai ‘kebijakan’, ada dua pengecualian, yakni pada “Politik Etis” dan “Politik Luar Negeri”.

Politik Etis merupakan terjemahan dari bahasa Belanda ‘Ethische Politiek’ yang seharusnya – jika ingin konsisten – diterjemahkan menjadi Kebijakan Etis.

Begitu pula halnya dengan Politik Luar Negeri adalah terjemahan dari Foreign Policy.

Ini semakin menegaskan bahwa penerjemahan kata ‘policy’ tidak pernah netral.

Membongkar ‘kebijakan’

‘Kebijakan’ pada dasarnya memiliki sifat apolitis, tapi ‘policy’ jelas-jelas melibatkan proses politik; menempelkan kedua kata ini menjadi tidak masuk akal.

Atau mungkinkah pemilihan kata ‘kebijakan’ menjadi tabir untuk menutupi proses politis yang terjadi?

Sosiolog Ariel Heryanto mengemukakan bahwa bahasa Indonesia lebih merefleksikan realitas politis alih-alih realitas linguistik.

Standardisasi bahasa yang ketat dilakukan tidak semata-mata untuk estetika kebahasaan, tapi untuk alat kepentingan kekuasaan. Bahasa bukanlah kacamata netral untuk mengenali realitas, tapi alat untuk mengkonstruksi realitas.

Seiring dengan perkembangan Indonesia yang semakin demokratis, banyak pihak mempertanyakan kebijakan yang tidak bijak. Kata ‘kebijakan’ perlu kita tinjau kembali untuk memisahkan makna kebijaksanaan dan kebajikan dari ‘policy’.The Conversation

Zulfa Sakhiyya, Assistant Professor at the Faculty of Languages and Arts, Universitas Negeri Semarang

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Sebuah Percakapan dengan ChatGPT 4o: Proses Transformasi Struktural Perekonomian dan Kaitannya dengan Pertanian juga Petani

 


Saya baru saja berlangganan ChatGPT 4o bersama dan ingin memanfaatkan nya untuk berdiskusi tentang topik pertanian yang menurut saya cukup penting yaitu: “Proses Transformasi Struktural Perekonomian dan Kaitannya dengan Pertanian juga Petani”. Berikut ini hasil percakapan saya dengan ChatGPT 4o. Selamat menyimak!

 

Jelaskan proses transformasi struktural perekonomian yang terjadi berdasarkan pdf di atas! Bagaimana agar petani dan masyarakat pedesaan bisa sejahtera dalam proses transformasi struktural perekonomian yang terjadi dan bisa tetap menjaga ketahanan pangan suatu negara

Proses Transformasi Struktural Perekonomian

Transformasi struktural perekonomian adalah proses di mana perekonomian mengalami perubahan dari dominasi sektor pertanian ke sektor industri dan jasa. Proses ini melibatkan beberapa tahap penting:

  1. Penurunan Proporsi Pertanian dalam PDB dan Tenaga Kerja: Awalnya, sebagian besar PDB dan tenaga kerja berasal dari sektor pertanian. Namun, seiring dengan pertumbuhan ekonomi, kontribusi sektor ini terhadap PDB dan tenaga kerja menurun karena sektor industri dan jasa berkembang lebih cepat.
  2. Migrasi Desa ke Kota: Penduduk pedesaan bermigrasi ke kota untuk mencari pekerjaan di sektor industri dan jasa yang menawarkan upah lebih tinggi dan kondisi kerja yang lebih baik. Hal ini mengakibatkan urbanisasi yang signifikan.
  3. Pertumbuhan Sektor Industri dan Jasa: Sektor industri dan jasa menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi. Sektor ini menawarkan peluang kerja yang lebih banyak dan menghasilkan PDB yang lebih tinggi dibandingkan sektor pertanian.
  4. Transisi Demografis: Tingkat kelahiran dan kematian yang tinggi di pedesaan berubah menjadi tingkat kelahiran dan kematian yang rendah di perkotaan, akibat peningkatan standar kesehatan dan pendidikan.
  5. Integrasi Pasar Tenaga Kerja dan Modal: Pada tahap akhir, perbedaan produktivitas tenaga kerja antara sektor pertanian dan non-pertanian menurun, menunjukkan integrasi pasar tenaga kerja dan modal yang lebih baik.

Strategi untuk Mensejahterakan Petani dan Masyarakat Pedesaan Serta Menjaga Ketahanan Pangan

Agar petani dan masyarakat pedesaan bisa sejahtera dalam proses transformasi struktural dan tetap menjaga ketahanan pangan, beberapa strategi dapat diimplementasikan:

  1. Peningkatan Produktivitas Pertanian: Meningkatkan produktivitas pertanian melalui adopsi teknologi baru, praktik pertanian yang efisien, dan investasi dalam penelitian dan pengembangan. Produktivitas yang lebih tinggi akan meningkatkan pendapatan petani dan mengurangi kesenjangan pendapatan antara sektor pertanian dan non-pertanian.
  2. Diversifikasi Pendapatan: Mendorong diversifikasi pendapatan bagi rumah tangga pedesaan melalui usaha agribisnis, manufaktur skala kecil, dan layanan jasa. Hal ini dapat mengurangi ketergantungan pada pertanian dan menyediakan sumber pendapatan tambahan.
  3. Akses ke Pasar dan Kredit: Meningkatkan akses petani ke pasar lokal dan internasional serta menyediakan fasilitas kredit yang mudah dijangkau untuk investasi dalam teknologi dan infrastruktur pertanian.
  4. Pelatihan dan Pendidikan: Memberikan pelatihan dan pendidikan kepada petani untuk meningkatkan keterampilan mereka dalam praktik pertanian modern dan manajemen usaha. Pendidikan juga penting untuk generasi muda di pedesaan agar mereka dapat berpartisipasi dalam ekonomi modern.
  5. Perlindungan Sosial: Menyediakan jaring pengaman sosial seperti asuransi kesehatan dan program bantuan tunai untuk mendukung petani dan rumah tangga pedesaan dalam menghadapi risiko dan ketidakpastian.
  6. Kebijakan Harga yang Mendukung: Mengimplementasikan kebijakan harga yang mendukung pertanian, seperti subsidi harga, stabilisasi harga, dan program pembelian pemerintah untuk memastikan pendapatan yang stabil bagi petani.
  7. Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan: Mengelola sumber daya alam seperti air, tanah, dan hutan secara berkelanjutan untuk memastikan ketahanan jangka panjang sektor pertanian dan lingkungan pedesaan.
  8. Penguatan Kelembagaan Pertanian: Membangun dan memperkuat kelembagaan pertanian seperti koperasi petani, asosiasi produsen, dan jaringan distribusi untuk meningkatkan efisiensi produksi dan pemasaran.

Dengan menerapkan strategi-strategi ini, petani dan masyarakat pedesaan dapat sejahtera dalam proses transformasi struktural perekonomian, dan ketahanan pangan suatu negara dapat tetap terjaga.

 

Berikan contoh dan penjelasan transformasi struktural perekonomian yang berhasil terjadi di salah satu negara di dunia beserta referensi nya

Contoh Transformasi Struktural Perekonomian yang Berhasil: Korea Selatan

Korea Selatan merupakan salah satu contoh sukses transformasi struktural ekonomi yang luar biasa. Pada 1960-an, Korea Selatan adalah negara agraris dengan pendapatan per kapita yang rendah. Namun, dalam beberapa dekade, Korea Selatan berhasil bertransformasi menjadi salah satu ekonomi terbesar di dunia. Berikut adalah beberapa faktor kunci yang mendukung transformasi tersebut:

1. Kebijakan Ekspor yang Berorientasi Ekspor

Salah satu langkah penting adalah kebijakan ekonomi yang berfokus pada ekspor. Pemerintah Korea Selatan memperkenalkan berbagai reformasi untuk membuka pasar dan mendorong ekspor. Kebijakan ini berhasil meningkatkan ekspor Korea Selatan dari 25,9% dari PDB pada tahun 1995 menjadi 56,3% pada tahun 2012​ (St. Louis Fed)​.

2. Investasi dalam Teknologi dan Inovasi

Korea Selatan berinvestasi besar-besaran dalam teknologi dan inovasi. Negara ini dikenal dengan perusahaan-perusahaan konglomerat seperti Samsung, LG, dan Hyundai yang memainkan peran penting dalam memajukan teknologi dan ekspor. Pemerintah juga mendukung penelitian dan pengembangan (R&D) yang intensif untuk mendorong pertumbuhan industri teknologi tinggi​ (St. Louis Fed)​​ (World Bank)​.

3. Lingkungan Bisnis yang Mendukung

Korea Selatan menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif untuk pertumbuhan. Menurut indeks Ease of Doing Business dari Bank Dunia, Korea Selatan berada di peringkat ke-4 pada tahun 2018, mengungguli banyak negara maju lainnya. Kemudahan dalam memulai bisnis, mendapatkan listrik, dan penegakan kontrak merupakan beberapa aspek yang menarik investasi asing dan domestik​ (St. Louis Fed)​.

4. Reformasi Agraria dan Pendidikan

Reformasi agraria yang efektif juga memainkan peran penting dalam transformasi struktural. Pemerintah Korea Selatan menerapkan reformasi agraria pada tahun 1950-an yang membantu redistribusi tanah kepada petani kecil, meningkatkan produktivitas pertanian, dan mengurangi kesenjangan sosial. Selain itu, investasi besar-besaran dalam pendidikan membantu menciptakan tenaga kerja yang terampil dan berpendidikan yang diperlukan untuk sektor industri dan jasa yang berkembang​ (Association for Asian Studies)​.

5. Peran Pemerintah dan Kebijakan Industri

Pemerintah Korea Selatan memainkan peran aktif dalam mengarahkan kebijakan industri melalui rencana lima tahunan yang fokus pada pengembangan sektor-sektor kunci seperti baja, petrokimia, dan elektronik. Dukungan pemerintah berupa insentif pajak, subsidi, dan perlindungan terhadap industri dalam negeri membantu menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan ekonomi​ (Association for Asian Studies)​.

Transformasi ekonomi Korea Selatan dari negara agraris menjadi salah satu negara industri maju adalah hasil dari kombinasi kebijakan yang terarah, investasi dalam inovasi dan pendidikan, serta penciptaan lingkungan bisnis yang mendukung. Negara ini kini menjadi contoh bagaimana transformasi struktural yang sukses dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang pesat dan pengurangan kemiskinan.

Untuk informasi lebih lanjut, Anda dapat merujuk pada artikel di St. Louis Fed, IMF Economic Review, dan World Bank​ (St. Louis Fed)​​ (SpringerLink)​​ (World
Bank
)​​ (Association for Asian Studies)​.

 

Jelaskan lebih detail mengenai kesuksesan reformasi agraria di Korea Selatan dan bagaimana perbandingan nya dengan pelaksanaan reformasi agraria di Indonesia

Kesuksesan Reformasi Agraria di Korea Selatan

1. Latar Belakang dan Pelaksanaan: Reformasi agraria di Korea Selatan dimulai pada awal tahun 1950-an setelah perang Korea. Pemerintah Korea Selatan, di bawah Presiden Syngman Rhee, meluncurkan program redistribusi tanah yang luas untuk mengurangi konsentrasi kepemilikan tanah dan meningkatkan kesejahteraan petani kecil. Program ini bertujuan untuk mengatasi ketidakadilan agraria yang terjadi selama era kolonial Jepang, di mana sebagian besar tanah pertanian dikuasai oleh tuan tanah besar.

2. Kebijakan dan Implementasi:

  • Redistribusi Tanah: Pemerintah membeli tanah dari tuan tanah besar dan mendistribusikannya kepada petani tanpa tanah atau petani penyewa. Setiap petani diberi lahan maksimal 3 hektar.
  • Pendanaan dan Dukungan: Pemerintah memberikan kredit jangka panjang dengan bunga rendah kepada petani untuk membantu mereka mengelola tanah baru mereka. Selain itu, ada program pelatihan untuk meningkatkan keterampilan pertanian.
  • Pembentukan Koperasi Pertanian: Pemerintah juga mendirikan koperasi pertanian untuk membantu petani mendapatkan akses ke pasar, pupuk, dan peralatan pertanian dengan harga yang lebih terjangkau.

3. Dampak Reformasi Agraria:

  • Peningkatan Produktivitas: Reformasi agraria berhasil meningkatkan produktivitas pertanian secara signifikan. Petani memiliki insentif lebih besar untuk meningkatkan produksi karena mereka sekarang memiliki tanah yang mereka garap.
  • Pengurangan Kemiskinan: Pendapatan petani meningkat, yang pada gilirannya mengurangi tingkat kemiskinan di pedesaan.
  • Stabilitas Sosial dan Politik: Reformasi agraria membantu menciptakan stabilitas sosial dan politik dengan mengurangi ketidakpuasan dan potensi konflik di pedesaan.

Perbandingan dengan Pelaksanaan Reformasi Agraria di Indonesia

1. Latar Belakang: Reformasi agraria di Indonesia telah menjadi agenda penting sejak kemerdekaan, terutama dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960. Namun, implementasinya menghadapi banyak tantangan politik, ekonomi, dan sosial.

2. Kebijakan dan Implementasi:

  • Redistribusi Tanah: Sama seperti di Korea Selatan, pemerintah Indonesia juga berusaha mendistribusikan tanah kepada petani tanpa tanah. Namun, prosesnya sering terhambat oleh birokrasi yang lambat dan resistensi dari tuan tanah besar.
  • Pendanaan dan Dukungan: Dukungan finansial dan teknis kepada petani di Indonesia kurang memadai dibandingkan Korea Selatan. Banyak petani yang menerima tanah tidak mendapatkan bantuan yang cukup untuk meningkatkan produktivitas.
  • Konflik Agraria: Di Indonesia, konflik agraria masih sering terjadi antara petani, perusahaan besar, dan pemerintah. Pengelolaan dan penegakan hukum yang lemah sering kali memperburuk situasi.

3. Dampak:

  • Produktivitas Pertanian: Peningkatan produktivitas pertanian di Indonesia lebih lambat dibandingkan dengan Korea Selatan. Banyak lahan yang diberikan kepada petani tidak dikelola dengan baik karena kurangnya dukungan.
  • Kemiskinan Pedesaan: Meskipun ada penurunan kemiskinan di pedesaan, tingkat kemiskinan masih tinggi dan disparitas ekonomi tetap signifikan.
  • Stabilitas Sosial: Konflik agraria yang terus berlanjut menunjukkan bahwa reformasi agraria di Indonesia belum sepenuhnya berhasil menciptakan stabilitas sosial seperti yang terjadi di Korea Selatan.

Kesimpulan

Reformasi agraria di Korea Selatan berhasil karena adanya dukungan pemerintah yang kuat, pendanaan yang memadai, dan pelatihan yang baik bagi petani. Di sisi lain, reformasi agraria di Indonesia menghadapi banyak tantangan yang menghambat keberhasilannya, termasuk birokrasi yang lambat, kurangnya dukungan finansial dan teknis, serta konflik agraria yang berkepanjangan.

Referensi:

 

Dalam menghadapi transformasi struktural perekonomian, apakah ada rumus atau rasio tertentu untuk menentukan berapa jumlah petani dan tenaga kerja pertanian di pedesaan agar ketahanan pangan tetap terjaga? Karena apabila terjadi migrasi dan urbanisasi, generasi muda cenderung enggan menjadi petani, seperti yang terjadi di Indonesia

Menentukan jumlah ideal petani dan tenaga kerja pertanian untuk menjaga ketahanan pangan di tengah transformasi struktural perekonomian memerlukan pendekatan yang holistik dan multidimensional. Tidak ada rumus tunggal atau rasio yang bisa diterapkan secara universal, tetapi beberapa prinsip dan pertimbangan berikut dapat membantu dalam pengambilan keputusan kebijakan:

Prinsip dan Pertimbangan dalam Menentukan Jumlah Petani

  1. Analisis Kebutuhan Pangan Nasional:
    • Produksi Pangan vs. Konsumsi: Pemerintah perlu menghitung kebutuhan pangan nasional dan membandingkannya dengan kapasitas produksi pertanian. Hal ini mencakup proyeksi pertumbuhan populasi dan perubahan pola konsumsi.
    • Rasio Self-Sufficiency (Kemandirian Pangan): Menentukan rasio produksi dalam negeri terhadap kebutuhan total. Rasio ini membantu menentukan seberapa besar ketergantungan pada impor dan seberapa banyak produksi dalam negeri yang perlu dipertahankan.
  2. Produktivitas Pertanian:
    • Teknologi dan Inovasi: Mengadopsi teknologi pertanian modern yang dapat meningkatkan produktivitas per hektar dan mengurangi kebutuhan tenaga kerja.
    • Pelatihan dan Pendidikan: Memberikan pelatihan kepada petani untuk meningkatkan keterampilan mereka dalam menggunakan teknologi baru dan praktik pertanian yang efisien.
  3. Diversifikasi Sumber Pendapatan:
    • Pendapatan Non-Pertanian: Mendorong diversifikasi sumber pendapatan bagi rumah tangga pedesaan agar tidak sepenuhnya bergantung pada pertanian. Ini dapat mengurangi tekanan migrasi ke kota.
  4. Kebijakan dan Insentif Pemerintah:
    • Subsidi dan Dukungan: Memberikan subsidi, insentif pajak, dan dukungan finansial lainnya untuk menarik dan mempertahankan generasi muda di sektor pertanian.
    • Pengembangan Infrastruktur: Membangun infrastruktur pedesaan yang baik, seperti jalan, irigasi, dan akses pasar, untuk mendukung kegiatan pertanian yang efisien.
  5. Pengelolaan Sumber Daya Alam:
    • Penggunaan Lahan: Merencanakan penggunaan lahan yang berkelanjutan dan efisien untuk memastikan produksi pangan jangka panjang.
    • Konservasi Air dan Tanah: Mengimplementasikan praktik konservasi yang memastikan kelestarian sumber daya alam.

Studi Kasus: Implementasi di Negara Lain

Korea Selatan: Korea Selatan berhasil meningkatkan produktivitas pertanian melalui investasi besar dalam teknologi dan pendidikan petani. Mereka juga berhasil menarik generasi muda dengan menciptakan peluang ekonomi di pedesaan melalui diversifikasi ekonomi dan pengembangan infrastruktur​ (St. Louis Fed)​​ (SpringerLink)​​ (World Bank)​​ (Association for Asian Studies)​.

Jepang: Jepang menggunakan teknologi canggih dan praktik pertanian presisi untuk meningkatkan produktivitas pertanian meskipun tenaga kerja pertanian menurun. Pemerintah Jepang juga memberikan insentif untuk petani muda melalui subsidi dan program pelatihan khusus​ (St. Louis Fed)​​ (SpringerLink)​.

Implementasi di Indonesia

Untuk Indonesia, pemerintah dapat mengambil beberapa langkah serupa:

  • Meningkatkan Teknologi Pertanian: Mengadopsi teknologi pertanian presisi dan mengembangkan infrastruktur yang mendukung.
  • Diversifikasi Ekonomi Pedesaan: Mendorong kegiatan ekonomi non-pertanian di pedesaan untuk mengurangi tekanan migrasi ke kota.
  • Subsidi dan Insentif untuk Petani Muda: Memberikan insentif finansial dan program pelatihan bagi generasi muda untuk tertarik dan tetap di sektor pertanian.
  • Program Pendidikan dan Pelatihan: Meningkatkan program pendidikan dan pelatihan bagi petani untuk mengadopsi praktik pertanian yang lebih modern dan efisien.

Kesimpulan

Menentukan jumlah ideal petani dan tenaga kerja pertanian memerlukan pendekatan yang mempertimbangkan berbagai faktor seperti kebutuhan pangan nasional, produktivitas pertanian, diversifikasi ekonomi, dan kebijakan pemerintah. Langkah-langkah yang telah berhasil diterapkan di negara lain dapat diadaptasi dan diterapkan sesuai dengan konteks lokal di Indonesia untuk memastikan ketahanan pangan yang berkelanjutan.

 

Apakah normal petani semakin sedikit dan cenderung menjadi aging agriculture? Apakah hal ini terjadi di Indonesia? Kalau terjadi bagaimana solusinya?

Fenomena “Aging Agriculture” dan Penurunan Jumlah Petani

1. Fenomena Global: Fenomena penurunan jumlah petani dan meningkatnya usia rata-rata petani (aging agriculture) adalah hal yang umum terjadi di banyak negara, termasuk negara maju dan berkembang. Di banyak negara, generasi muda lebih memilih pekerjaan di sektor industri dan jasa yang menawarkan pendapatan lebih tinggi dan kondisi kerja yang lebih baik dibandingkan dengan sektor pertanian yang seringkali berat dan kurang menguntungkan.

2. Kondisi di Indonesia: Indonesia juga mengalami fenomena aging agriculture. Banyak anak muda di pedesaan lebih memilih bekerja di kota atau di sektor non-pertanian. Data menunjukkan bahwa usia rata-rata petani di Indonesia semakin meningkat, dan jumlah petani muda semakin sedikit.

Dampak dari Aging Agriculture

1. Penurunan Produktivitas: Petani yang lebih tua mungkin kurang adaptif terhadap teknologi dan praktik pertanian modern, yang bisa menyebabkan penurunan produktivitas pertanian.

2. Ketahanan Pangan: Dengan berkurangnya jumlah petani dan penurunan produktivitas, ketahanan pangan bisa terancam, terutama jika tidak ada regenerasi tenaga kerja yang cukup di sektor pertanian.

3. Pengelolaan Lahan: Kurangnya tenaga kerja muda yang terampil di bidang pertanian dapat menyebabkan lahan pertanian terbengkalai atau dikelola dengan cara yang tidak efisien.

Solusi untuk Mengatasi Aging Agriculture

1. Pendidikan dan Pelatihan: Meningkatkan program pendidikan dan pelatihan bagi generasi muda di bidang pertanian. Sekolah kejuruan pertanian dan pelatihan teknis dapat membantu menarik minat generasi muda.

2. Teknologi dan Inovasi: Mendorong adopsi teknologi pertanian modern yang dapat membuat pekerjaan pertanian lebih efisien dan menarik bagi generasi muda. Teknologi seperti pertanian presisi, penggunaan drone, dan otomatisasi dapat meningkatkan produktivitas dan daya tarik sektor ini.

3. Insentif Ekonomi: Memberikan insentif ekonomi, seperti subsidi, akses mudah ke kredit, dan program asuransi pertanian, untuk menarik minat generasi muda untuk bekerja di sektor pertanian.

4. Diversifikasi Pendapatan: Mengembangkan usaha agribisnis dan diversifikasi sumber pendapatan di pedesaan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Hal ini bisa melibatkan pengembangan produk pertanian bernilai tambah atau usaha pariwisata pedesaan.

5. Peningkatan Infrastruktur: Memperbaiki infrastruktur di pedesaan, termasuk akses jalan, fasilitas irigasi, dan akses ke pasar, untuk mendukung aktivitas pertanian dan meningkatkan kualitas hidup di pedesaan.

6. Kebijakan Pemerintah: Pemerintah perlu mengimplementasikan kebijakan yang mendukung regenerasi petani, seperti program kemitraan antara petani muda dan petani senior, serta program revitalisasi desa.

Studi Kasus: Implementasi di Negara Lain

Jepang: Jepang menghadapi masalah serupa dengan aging agriculture dan telah mengimplementasikan berbagai kebijakan untuk menarik generasi muda ke sektor pertanian, termasuk melalui insentif finansial dan program pendidikan.

Korea Selatan: Korea Selatan berhasil meningkatkan minat generasi muda terhadap pertanian melalui teknologi dan inovasi, serta dengan menciptakan peluang ekonomi di pedesaan yang menarik.

Kesimpulan

Mengatasi masalah aging agriculture memerlukan pendekatan multi-faceted yang melibatkan pendidikan, teknologi, insentif ekonomi, dan kebijakan pemerintah yang mendukung. Indonesia bisa belajar dari pengalaman negara-negara lain yang telah berhasil menerapkan solusi untuk masalah serupa. Dengan langkah-langkah yang tepat, Indonesia dapat memastikan regenerasi petani yang cukup dan menjaga ketahanan pangan nasional.

Referensi:

 

Bagaimana dengan negara-negara di Asia Tenggara seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia? Bagaimana negara-negara ini menghadirkan solusi untuk masalah tersebut? Dan apakah transformasi struktural pereknonomian berhasil dilakukan di negara-negara tersebut?

Transformasi Struktural Ekonomi di Vietnam, Thailand, dan Malaysia

Vietnam:

Vietnam telah berhasil melakukan transformasi struktural ekonomi dari sektor agraris ke industri dan jasa sejak reformasi ekonomi pada akhir 1980-an (Doi Moi). Transformasi ini ditandai dengan peningkatan produktivitas pertanian melalui modernisasi dan diversifikasi produk, serta peningkatan peran sektor industri dan jasa dalam PDB negara. Kebijakan penting termasuk liberalisasi pasar, investasi infrastruktur, dan peningkatan akses ke pasar internasional. Meskipun demikian, tantangan seperti urbanisasi dan aging agriculture tetap ada, namun Vietnam telah membuat kemajuan signifikan dalam mengintegrasikan teknologi dan inovasi ke dalam sektor pertanian​ (World Bank)​​ (World Bank)​.

 

Thailand:

Thailand juga mengalami transformasi struktural dengan pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian ke industri dan jasa. Kebijakan pertanian di Thailand fokus pada peningkatan produktivitas melalui adopsi teknologi baru dan diversifikasi produk. Pemerintah Thailand telah memperkenalkan program-program untuk mendukung petani muda dan meningkatkan daya tarik sektor pertanian melalui pelatihan dan insentif ekonomi. Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam memastikan keseimbangan antara urbanisasi dan ketahanan pangan​ (World Bank)​.

 

Malaysia:

Malaysia telah berhasil melakukan transformasi ekonomi dari pertanian ke industri dan jasa sejak tahun 1970-an. Negara ini berfokus pada industrialisasi dan pengembangan sektor jasa yang kuat. Kebijakan pertanian di Malaysia menekankan pada modernisasi pertanian dan diversifikasi ekonomi pedesaan. Malaysia juga telah mengimplementasikan berbagai program untuk mendukung petani muda, termasuk subsidi, pelatihan, dan akses ke teknologi pertanian modern. Upaya ini membantu menjaga ketahanan pangan dan mengurangi dampak negatif dari aging agriculture​ (World Bank)​​ (World Bank)​.

Solusi untuk Masalah Aging Agriculture dan Penurunan Jumlah Petani

 

1. Pendidikan dan Pelatihan:

Peningkatan program pendidikan dan pelatihan di bidang pertanian untuk generasi muda. Misalnya, Malaysia memiliki program pelatihan yang membantu petani muda memahami dan menggunakan teknologi pertanian modern.

 

2. Insentif Ekonomi:

Pemberian insentif seperti subsidi, kredit berbunga rendah, dan program asuransi pertanian. Thailand dan Vietnam telah memberikan insentif kepada petani muda untuk menarik mereka tetap di sektor pertanian.

 

3. Adopsi Teknologi:

Penggunaan teknologi pertanian presisi, otomatisasi, dan inovasi lainnya untuk meningkatkan produktivitas dan membuat pekerjaan pertanian lebih efisien dan menarik bagi generasi muda.

 

4. Diversifikasi Ekonomi Pedesaan:

Mengembangkan usaha agribisnis dan diversifikasi sumber pendapatan di pedesaan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Misalnya, Vietnam telah mendorong diversifikasi produk pertanian dan pengembangan agribisnis.

 

5. Peningkatan Infrastruktur:

Memperbaiki infrastruktur di pedesaan untuk mendukung aktivitas pertanian dan meningkatkan kualitas hidup di pedesaan. Ini mencakup pembangunan jalan, irigasi, dan akses ke pasar.

 

6. Kebijakan Pemerintah:

Implementasi kebijakan yang mendukung regenerasi petani, seperti program kemitraan antara petani muda dan senior serta program revitalisasi desa.

 

Dengan menerapkan strategi-strategi ini, negara-negara di Asia Tenggara dapat mengatasi tantangan aging agriculture dan penurunan jumlah petani, serta memastikan ketahanan pangan nasional. Transformasi struktural ekonomi yang berhasil di Vietnam, Thailand, dan Malaysia dapat menjadi contoh yang berguna bagi Indonesia dalam mengatasi tantangan serupa.

 

Apakah kondisi di 3 negara tersebut lebih baik dari Indonesia?

Kondisi dan Solusi di Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Indonesia

Vietnam: Vietnam telah berhasil meningkatkan produktivitas pertaniannya melalui reformasi ekonomi dan liberalisasi pasar sejak akhir 1980-an. Transformasi struktural ekonomi di Vietnam berhasil mengurangi ketergantungan pada sektor pertanian dan meningkatkan peran industri serta jasa. Peningkatan produktivitas dicapai melalui modernisasi pertanian, adopsi teknologi baru, dan diversifikasi produk pertanian. Vietnam kini menjadi salah satu pengekspor utama produk pertanian seperti beras, kopi, dan produk perikanan​ (IAES)​.

Thailand: Thailand juga mengalami peningkatan produktivitas pertanian melalui adopsi teknologi baru dan kebijakan pemerintah yang mendukung. Namun, tantangan aging agriculture masih ada. Kebijakan pemerintah seperti subsidi, program pelatihan, dan investasi infrastruktur telah membantu mengatasi beberapa tantangan ini. Thailand juga telah berusaha untuk menarik minat generasi muda ke sektor pertanian melalui insentif ekonomi dan diversifikasi sumber pendapatan di pedesaan​ (MDPI)​​ (Site homepage)​.

Malaysia: Malaysia telah berhasil melakukan transformasi ekonominya dengan fokus pada industrialisasi dan pengembangan sektor jasa. Meskipun demikian, sektor pertanian masih penting dan menghadapi tantangan aging agriculture. Malaysia telah mengimplementasikan berbagai kebijakan untuk meningkatkan produktivitas pertanian, termasuk modernisasi pertanian, dukungan finansial, dan pelatihan bagi petani muda. Upaya ini telah membantu meningkatkan ketahanan pangan dan produktivitas sektor pertanian​ (MDPI)​​ (Site homepage)​.

Indonesia: Indonesia juga mengalami fenomena aging agriculture dan penurunan jumlah petani. Meskipun telah ada upaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian melalui adopsi teknologi baru dan kebijakan pemerintah, tantangan masih tetap ada. Indonesia perlu meningkatkan program pendidikan dan pelatihan untuk petani muda, memberikan insentif ekonomi, dan mengadopsi teknologi pertanian modern. Diversifikasi ekonomi pedesaan dan peningkatan infrastruktur juga penting untuk memastikan ketahanan pangan dan menarik minat generasi muda ke sektor pertanian​ (MDPI)​.

Solusi untuk Indonesia Berdasarkan Pembelajaran dari Negara Lain

  1. Pendidikan dan Pelatihan:
    • Menyediakan program pendidikan dan pelatihan intensif untuk petani muda dalam penggunaan teknologi pertanian modern, seperti yang dilakukan di Thailand dan Malaysia.
  2. Insentif Ekonomi:
    • Memberikan subsidi, akses mudah ke kredit, dan program asuransi pertanian untuk mendukung petani muda, seperti yang diterapkan di Vietnam.
  3. Adopsi Teknologi:
    • Mendorong penggunaan teknologi pertanian presisi, otomatisasi, dan inovasi lainnya untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi, seperti yang dilakukan di negara-negara Asia Tenggara lainnya.
  4. Diversifikasi Ekonomi Pedesaan:
    • Mengembangkan usaha agribisnis dan diversifikasi sumber pendapatan di pedesaan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan menarik minat generasi muda, mengikuti contoh Vietnam.
  5. Peningkatan Infrastruktur:
    • Meningkatkan infrastruktur pedesaan untuk mendukung aktivitas pertanian dan meningkatkan kualitas hidup di pedesaan, sebagaimana diimplementasikan di Malaysia dan Thailand.

Dengan mengadopsi strategi-strategi ini, Indonesia dapat mengatasi tantangan aging agriculture dan penurunan jumlah petani, serta memastikan ketahanan pangan nasional terjaga. Pengalaman sukses negara-negara Asia Tenggara lainnya bisa menjadi panduan bagi Indonesia dalam menerapkan kebijakan yang efektif di sektor pertanian.

 

Jelaskan secara detail proses transformasi struktural perekonomian di Indonesia yang terjadi dari zaman Presiden Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, sampai Presiden Joko Widodo sekarang

Proses Transformasi Struktural Perekonomian Indonesia

1. Zaman Presiden Soekarno (1945-1967): Pada masa kepemimpinan Soekarno, ekonomi Indonesia berfokus pada pembangunan nasionalisme ekonomi dengan konsep ekonomi terpimpin. Langkah-langkah yang diambil meliputi:

  • Nasionalisasi Aset Asing: Pada akhir 1950-an, pemerintah mengambil alih perusahaan-perusahaan milik Belanda dan Barat.
  • Politik Konfrontasi: Kebijakan konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat mengisolasi Indonesia secara ekonomi.
  • Inflasi Tinggi: Kebijakan ekonomi yang kurang efektif menyebabkan inflasi yang sangat tinggi dan kekurangan bahan pokok.

2. Zaman Presiden Soeharto (1967-1998): Masa Orde Baru di bawah Soeharto dikenal dengan fokus pada pembangunan ekonomi dan stabilitas politik. Langkah-langkah yang signifikan meliputi:

  • Pembukaan Ekonomi: Soeharto membuka ekonomi Indonesia terhadap investasi asing dan bantuan internasional.
  • Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun): Serangkaian program pembangunan lima tahun yang menekankan pada infrastruktur dan industrialisasi.
  • Stabilisasi Makroekonomi: Penurunan inflasi dan stabilitas harga menjadi prioritas utama.
  • Pertumbuhan Ekonomi: Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan peningkatan dalam sektor industri dan jasa.
  • Krisis Ekonomi Asia 1997: Krisis ini menghancurkan ekonomi Indonesia, menyebabkan jatuhnya nilai rupiah, dan krisis perbankan yang parah, akhirnya memicu jatuhnya Soeharto.

3. Zaman Presiden B.J. Habibie (1998-1999): Habibie mengambil alih di masa transisi pasca-Orde Baru dan menghadapi tantangan besar dalam menstabilkan ekonomi.

  • Reformasi Politik dan Ekonomi: Habibie melakukan liberalisasi ekonomi dan reformasi di berbagai sektor, termasuk perbankan dan keuangan.
  • Pemulihan Ekonomi: Fokus pada stabilisasi ekonomi dan memperkuat nilai tukar rupiah serta menata ulang sistem perbankan.

4. Zaman Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) (1999-2001):

  • Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Gus Dur memulai kebijakan desentralisasi untuk memberikan lebih banyak otonomi kepada pemerintah daerah.
  • Reformasi Ekonomi: Gus Dur melanjutkan liberalisasi ekonomi dan membuka peluang investasi lebih luas.
  • Stabilitas Politik: Ketidakstabilan politik dan konflik internal memperlambat reformasi ekonomi.

5. Zaman Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004):

  • Pemulihan Ekonomi: Melanjutkan kebijakan reformasi ekonomi dan stabilisasi pasca-krisis.
  • Privatisasi: Megawati melanjutkan program privatisasi perusahaan milik negara untuk meningkatkan efisiensi dan menarik investasi asing.
  • Kebijakan Fiskal: Fokus pada konsolidasi fiskal dan mengurangi defisit anggaran.

6. Zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) (2004-2014):

  • Pertumbuhan Ekonomi Stabil: SBY berhasil menjaga stabilitas makroekonomi dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil.
  • Reformasi Birokrasi: Usaha meningkatkan efisiensi birokrasi dan meningkatkan iklim investasi.
  • Program Kesejahteraan Sosial: Peningkatan program kesejahteraan sosial seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Program Keluarga Harapan (PKH).
  • Pembangunan Infrastruktur: Meningkatkan investasi infrastruktur meskipun masih terkendala oleh masalah birokrasi dan korupsi.

7. Zaman Presiden Joko Widodo (Jokowi) (2014-sekarang):

  • Infrastruktur Besar-Besaran: Jokowi memprioritaskan pembangunan infrastruktur, termasuk jalan tol, pelabuhan, bandara, dan kereta api.
  • Reformasi Regulasi: Penyederhanaan peraturan untuk meningkatkan kemudahan berbisnis dan menarik investasi asing.
  • Ekonomi Digital: Promosi dan pengembangan ekonomi digital melalui berbagai inisiatif dan program pemerintah.
  • Pembangunan Desa: Fokus pada pembangunan desa dan mengurangi kesenjangan ekonomi melalui program Dana Desa.
  • Pandemi COVID-19: Penanganan dampak ekonomi akibat pandemi dengan berbagai stimulus ekonomi dan bantuan sosial.

Kesimpulan

Transformasi struktural ekonomi Indonesia dari masa ke masa menunjukkan evolusi yang signifikan dari ekonomi yang tertutup dan terisolasi pada masa Soekarno, menuju ekonomi terbuka dan industrialisasi pada masa Soeharto, hingga reformasi ekonomi yang lebih modern dan inklusif di masa pemerintahan pasca-Reformasi hingga saat ini di bawah Jokowi.

Referensi

 

Sebutkan kebijakan pertanian yang dilakukan di setiap zaman presiden di atas

Kebijakan Pertanian di Setiap Zaman Presiden Indonesia

1. Zaman Presiden Soekarno (1945-1967):

  • Nasionalisasi Perusahaan Perkebunan: Mengambil alih perusahaan perkebunan milik Belanda untuk meningkatkan kontrol atas produksi pertanian.
  • Politik Beras: Program diversifikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan pada beras.
  • Revolusi Hijau: Upaya awal untuk meningkatkan produksi pangan melalui modernisasi pertanian, meskipun pelaksanaannya terbatas.

2. Zaman Presiden Soeharto (1967-1998):

  • BIMAS (Bimbingan Massal): Program intensifikasi pertanian yang bertujuan meningkatkan produksi pangan dengan menggunakan pupuk dan benih unggul serta memberikan kredit kepada petani.
  • Inpres Desa Tertinggal: Pembangunan infrastruktur pedesaan untuk mendukung pertanian.
  • Revolusi Hijau: Implementasi lebih luas dari teknologi Revolusi Hijau untuk meningkatkan hasil panen padi dan tanaman pangan lainnya.
  • Transmigrasi: Relokasi penduduk ke daerah-daerah yang kurang padat untuk membuka lahan pertanian baru.

3. Zaman Presiden B.J. Habibie (1998-1999):

  • Reformasi Pertanian: Fokus pada reformasi struktural termasuk redistribusi tanah dan peningkatan akses kredit bagi petani kecil.
  • Liberalisasi Ekonomi: Membuka sektor pertanian terhadap pasar global untuk meningkatkan ekspor komoditas pertanian.

4. Zaman Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) (1999-2001):

  • Desentralisasi: Mendelegasikan wewenang pengelolaan pertanian kepada pemerintah daerah.
  • Diversifikasi Pertanian: Mendorong diversifikasi tanaman pangan untuk meningkatkan ketahanan pangan.

5. Zaman Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004):

  • Program Keluarga Berencana (KB) Pertanian: Meningkatkan kesejahteraan petani melalui program kesehatan dan keluarga berencana.
  • Subsidi Pupuk: Memberikan subsidi pupuk untuk meningkatkan produksi pangan.

6. Zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) (2004-2014):

  • Revitalisasi Pertanian: Program revitalisasi sektor pertanian untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani.
  • Program Ketahanan Pangan: Memperkuat ketahanan pangan melalui peningkatan produksi beras dan tanaman pangan lainnya.
  • Program Kartu Tani: Memudahkan akses petani terhadap kredit, pupuk, dan benih.

7. Zaman Presiden Joko Widodo (Jokowi) (2014-sekarang):

  • Program Upaya Khusus (UPSUS): Meningkatkan produksi padi, jagung, dan kedelai melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian.
  • Kartu Tani: Mengimplementasikan kartu tani untuk distribusi subsidi pupuk dan bantuan lainnya.
  • Pembangunan Infrastruktur Pertanian: Membangun dan memperbaiki infrastruktur irigasi dan akses jalan untuk mendukung pertanian.
  • Dana Desa: Alokasi dana desa untuk mendukung pembangunan infrastruktur pedesaan dan meningkatkan produktivitas pertanian.
  • Pengembangan Teknologi Pertanian: Mendorong adopsi teknologi pertanian modern untuk meningkatkan efisiensi dan hasil panen.

Referensi

 

 

Kebijakan mana yang terbaik?

Menentukan kebijakan pertanian mana yang terbaik dari berbagai periode pemerintahan di Indonesia memerlukan analisis mendalam berdasarkan kriteria-kriteria seperti efektivitas dalam meningkatkan produksi, kesejahteraan petani, ketahanan pangan, dan keberlanjutan. Berikut adalah penilaian terhadap beberapa kebijakan utama dari masing-masing periode:

Kebijakan Pertanian Orde Lama (Soekarno)

  • Nasionalisasi Aset Asing: Membantu meningkatkan kontrol negara atas sumber daya, tetapi kurang efektif dalam jangka panjang karena kurangnya investasi dan teknologi modern.
  • Politik Beras dan Diversifikasi Pangan: Fokus pada ketahanan pangan, namun implementasinya terbatas oleh kondisi ekonomi yang sulit dan politik konfrontasi.

Kebijakan Pertanian Orde Baru (Soeharto)

  • BIMAS dan Revolusi Hijau: Kebijakan ini sangat sukses dalam meningkatkan produksi pangan, terutama padi. Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984.
  • Transmigrasi: Membantu membuka lahan baru, tetapi juga menimbulkan masalah sosial dan lingkungan di beberapa daerah.

Kebijakan Pertanian Zaman Habibie

  • Reformasi Ekonomi dan Pertanian: Memulai liberalisasi ekonomi dan reformasi pertanian yang membantu stabilisasi pasca-krisis, meskipun waktu yang singkat membatasi dampak jangka panjang.

Kebijakan Pertanian Zaman Gus Dur

  • Desentralisasi: Memberikan otonomi lebih kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan pertanian, yang positif tetapi juga menghadapi tantangan koordinasi dan implementasi.
  • Diversifikasi Pertanian: Mendorong diversifikasi tanaman, tetapi pelaksanaannya terbatas oleh instabilitas politik.

Kebijakan Pertanian Zaman Megawati

  • Subsidi Pupuk: Membantu meningkatkan produksi tetapi sering disertai masalah distribusi yang tidak merata dan kurangnya efisiensi.

Kebijakan Pertanian Zaman SBY

  • Revitalisasi Pertanian: Program ini fokus pada peningkatan produktivitas dan kesejahteraan petani dengan hasil yang cukup positif.
  • Kartu Tani: Membantu petani mendapatkan akses yang lebih baik terhadap kredit dan input pertanian, meskipun implementasinya menghadapi beberapa kendala teknis.

Kebijakan Pertanian Zaman Jokowi

  • Program Upaya Khusus (UPSUS): Fokus pada peningkatan produksi komoditas utama dengan hasil yang cukup baik.
  • Kartu Tani dan Dana Desa: Memperkuat akses petani terhadap sumber daya dan mendukung pembangunan infrastruktur pedesaan.
  • Pembangunan Infrastruktur Pertanian: Meningkatkan akses dan efisiensi dengan dampak positif yang signifikan.
  • Pengembangan Teknologi Pertanian: Mendorong adopsi teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan hasil panen.

Penilaian Kebijakan Terbaik

Berdasarkan kriteria efektivitas, kesejahteraan petani, ketahanan pangan, dan keberlanjutan, kebijakan BIMAS dan Revolusi Hijau di bawah Soeharto dapat dianggap sebagai salah satu yang paling berhasil dalam sejarah Indonesia. Kebijakan ini berhasil mencapai swasembada beras, meningkatkan produktivitas pertanian secara signifikan, dan meningkatkan kesejahteraan petani pada masanya.

Namun, kebijakan Jokowi juga menunjukkan hasil yang sangat positif dengan fokus pada pembangunan infrastruktur, teknologi, dan peningkatan kesejahteraan pedesaan yang berkelanjutan. Program seperti UPSUS, Kartu Tani, dan Dana Desa menunjukkan dampak jangka panjang yang menjanjikan untuk keberlanjutan pertanian dan ketahanan pangan.

Referensi:

Book Launching & Public Discussion “Pentingnya Stabilisasi Pangan di Indonesia” – Jumat, 31 Mei 2024

 

 

 

Pada hari Jumat, 31 Mei 2024 sebagai salah satu tugas mata kuliah Pembangunan Pertanian, saya menghadiri secara online melalui zoom, Book Launching & Public Discussion “Pentingnya Stabilisasi Pangan di Indonesia” yang dilaksanakan atas prakarsa PERHEPI (Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia), AAI (Asosiasi Agribisnis Indonesia), dan Penerbit KOMPAS.

Pada kesempatan kali ini saya ingin menuliskan salah satu materi dari reviewer buku pada diskusi tersebut yaitu dari Ibu Dr. Netti Tinaprilla, salah satu dosen Agribisnis dari IPB University. Berikut bahasan nya:

3 PERTANYAAN YANG HARUS DIJAWAB OLEH BUKU INI, yaitu:

1. Apakah Indonesia membutuhkan kebijakan stabilisasi pangan yang berkelanjutan?

2. Apabila jawabannya ya, bagaimana stabilisasi tersebut harus dilakukan?

3. Lalu bagaimana memosisikan Perum BULOG?

UU Pangan bukan hanya berbicara tentang ketahanan pangan, namun juga memperjelas dan memperkuat pencapaian ketahanan pangan dengan mewujudkan kedaulatan pangan (food soveregnity) dengan kemandirian pangan (food resilience) serta keamanan pangan (food safety).

“Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal”.

“Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat”.

“Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis. kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.”

Pengertian ketahanan pangan, tidak lepas dari UU No. 18/2012 tentang Pangan. Disebutkan dalam UU tersebut bahwa

“Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, den budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.”

Definisi ketahanan pangan dalam UU No 18 tahun 2012 diatas merupakan penyempumaan dan pengkayaan cakupan dari definisi dalam UU No 7 tahun 1996 yang memasukkan perorangan dan sesuai keyakinan agama” serta “budaya” bangsa.

Definisi UU No 18 tahun 2012 secara substantif sejalan dengan definisi ketahanan pangan dari FAO yang menyatakan bahwa ketahanan pangan sebagai suatu kondisi dimana setiap orang sepanjang waktu, baik fisik maupun ekonomi, memiliki akses terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari sesual preferensinya.

Dasar Hukum Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP)

– SPHP merupakan program pemerintah yang dijalankan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan Pasal 55 ayat (1).

– SPHP bertujuan melindungi daya beli dan keterjangkauan harga pangan bagi konsumen. Badan Pangan Nasional RI (Bapanas) merupakan lembaga pemerintan yang menjadi penyelenggara program SPHP sesuai sasaran stategis yang telah ditentukan. Bapanas Ri menerbitkan Peraturan Bapanas RI Nomor 15 Tahun 2022 tentang Stabilisasi Pasokan dan Harga Beras, Jagung, dan Kedelai di Tingkat Konsumen sebagai landasan hukum program SPHP. Perum BULOG ditugaskan oleh Bapanas untuk melaksanakan program SPHP sesuai dengan Surat Kepala Bapanas Nomor 02/TS.03.03/K/1/2023 perihal Penugasan SPHP Beras di Tingkat Konsumen Tahun 2023.

– Keputusan Kepala Bapanas Republik Indonesia dengan Nomor 01/KS.02.02/K/2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan SPHP Beras di Tingkat Konsumen Tahun 2023.

– Penyaluran beras dalam rangka SPHP Beras di Tingkat Konsumen dilakukan Perum BULOG baik secara langsung melalui saluran Satgas, maupun tidak langsung melalui Pengecer, Ritel Modern, Distributor/Mitra Perusahaan dan Operasi Pasar bekerjasama dengan Pemerintah Daerah.Penyaluran beras dalam pelaksanaan SPHP Beras Medium di Tingkat Konsumen tahun 2023 dilakukan di pasar-pasar pencatatan, pasar modern/ swalayan dan lokasi-lokasi yang dekat dengan konsumen dengan total beras yang disalurkan sebesar 1.196.728 Ton.

– Pada tahun 2024 Perum BULOG kembali ditugaskan pemerintah berdasarkan Surat Kepala Bapanas Nomor 455/TS.02.02/K/12/2023 perihal Penugasan SPHP Beras Tahun Pelaksanaan SPHP Beras di Tingkat Konsumen tahun 2024 dengan target penyaluran beras sebanyak 1,2 juta ton. Berdasarkan Perpres Nomor 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional, ada sembilan komoditas pangan yang menjadi wewenang dari Bapanas. Di antaranya beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang telur unggas, daging ruminancia, daging unggas, dan cabai.

Pentingnya Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) Tinjauan Buku:

1. Konsep era 1970 mampu melindungi petani dari kejatuhan harga saat panen dan lonjakan harga konsumen saat paceklik → kesatuan strategi terintegrasi langsung di bawah Presiden. Namun sejak era otonomi daerah tdk lagi terintegrasi serentak dalam satu rentang kendali (dalam Prof Bustanul Arifin, pp.9).

2. Perubahan raskin menjadi BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai) berdampak kebijakan perberasan yang terintegrasi menjadi terfragmentasi. Hal ini berdampak kejatuhan harga GKP tdk hanya saat panen tetapi sepanjang 3 tahun ini (Khudori, p.26).

3. Perlunya Tri Matra: stabilisasi pangan, pengentasan kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi. Empat pilar stabilitas pangan: ketersediaan, akses, penggunaan pangan, dan ketahanan pangan. Bagi konsumen: akses pangan yang cukup dan harga terjangkau, bagi produsen, harga adalah sinyal profit dan motivasi menanam. Perlu pendekatan multisektor (tidak hanya BULOG dan Bapanas) (Sujarwo, p.44)

4. Harga padi yang stabil belum tentu membuat pendapatan petani stabil. Stabilitas harga padi di tingkat petani tidak menghilangkan fluktuasi pendapatan petani. Strategi stabilisasi harga oleh pedagang di tingkat eceran melalui mekanisme pasar ternyata meningkatkan fluktuasi harga padi di petani. Dukungan kebijakan pertanian: petani akses terhadap kesempatan usaha di luar usaha tani, mendiversifikasi pola tanam ke tanaman bernilai tinggi, menjamin akses petani terhadap teknologi pertanian, menjamin akses petani terhadap kelembagaan asuransi. (Suprehatin et.al, p.63).

5. Bantuan pangan beras (10 kg/bulan) ke RT secara signifikan (tanda negative) dapat menurunkan volatilitas harga eceran sedangkan SPHP beras bulog yang dijual ke retail tdk signifikan (tanda positif) dampaknya thd stabilisasi harga. Solusinya diperlukan tata kelola yang baik untuk efektifitas bantuan (tujuan hrs jelas dan terukur, sesuai kebutuhan masyarakat, partisipasi publik, transparansi, akuntabilitas, pemantauan, dan evaluasi berkelanjutan, koordinasi antarlembaga, serta prinsip keadilan dan nondiskriminasi. (Dwi Utami dan Feryanto, p.76).

6. Menimbang aspek daya dukung lingkungan dan ekosistem, Indonesia mustahil mengulang sukses swasembada beras pada 1984. (Muhd Nur Sangadji, p.95).

7. Karakteristik pasar beras belum berubah: produksi terkonsentrasi di Jawa, konsumsi tersebar, Pasar beras terdiri atas provinsi yang selalu surplus (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan, dan NTB) dan selalu defisit (Maluku Utara, NTT, dan Papua). Uniknya, meskipun bukan daerah produsen, DKI Jakarta jadi pusat perdagangan. (Catur Sugianto, p. 113).

8. Untuk stabilisasi pangan perlu pengelolaan impor (di bawah 2 persen pada 2019-2022 dan 9,87 persen pada 2023). (Pos Hutabarat, p. 132)

9. Karena jumlah penduduk berpendapatan rendah tinggi maka program stabilisasi harga pangan adalah keniscayaan. (Handewi, p. 152).

10. Stabilisasi harga pangan pokok, menjadi kunci solusi berbagai tujuan SDGs yang pencapaiannya masih tertinggal. (Endah Murtiningtyas, p. 168).

11. Selama 4 tahun terakhir (2020-2024), harga beras di konsumen cenderung meningkat. Secara khusus, peningkatan harga di pasar modern lebih tinggi. Meskipun demikian, harga beras di pasar modern lebih stabil ketimbang di pasar tradisional. Di produsen, rerata harga gabah kering giling (GKG) bulanan yang diterima petani cenderung menurun pada periode 2019-2022. (Jangkung Handoyo dan M amat Nasir, p. 181).

12. Harga pembelian pemerintah (HPP) untuk melindungi petani belum mampu mencegah kejatuhan harga karena penyerapan dari total produksi oleh BULOG kecil. Harga beras medium selalu di atas harga eceran tertinggi (HET) (Syahid Izzulhaq dan Erizal Zamal.p.191).

13. Surplus beras 2 juta ton per tahun di Sulawesi Selatan tidak bisa didistribusikan antar pulau karena kendala infrastruktur. Selain solusi infrastruktur juga perlu penguatan koordinasi pemerintah pusat dan daerah, insentif pajak bagi usaha distribusi pangan, penyederhanaan prosedur izin dan peraturan perdagangan (Suardi Bakri dan Qurniasty, p.202).

14. Kebijakan RRM (responsive release mechanism) diyakini lebih adaptif dan efisien untuk mengelola harga dan kuantitas berdasarkan informasi terkini dan kemampuannya menyesuaikan ketidakpastian. (Joni Murti Mulyo Aji, D.215).

15. Pentingnya pangsa pasar beras pemerintah. Selama ini BULOG mengelola iron stock, yang dikelola sebagai CBP dan fasilitasi operasi pasar. Pola ini memakan biaya mahal dan akses yang tak cepat karena pangan jauh dari pasar. Konsep stok dinamis (Smis) adalah menempatkan beras sebanyak yang diperjualbelikan ditambah buffer ready stock di pasar yang setiap saat mudah diakses oleh masyarakat sesuai kebutuhan. buffer ready stock disesuaikan atau dihitung berdasarkan data historis dari gejolak yang terjadi pada spesifik lokasi atau wilayah. Konsep ini memerlukan berbagai perubahan dalam lini bisnis BULOG, salah satunya penataan manajemen, pembiayaan, dan infrastruktur, karena membesarnya bisnis BULOG. (Tajuddin Bantacut dan Topan Ruspayandi, p.231).

16. Stabilisasi harga pangan memberikan dampak positif bagi produsen pangan dan konsumen, serta secara makro berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi melalui inflasi dan kemiskinan. Secara politis stabilisasi juga memperkuat legitimasi pemerintah. Kerugiannya, antara lain berbiaya tinggi dan inefisien, serta mematikan insentif ekonomi bagi pengembangan usaha serta pengembangan stok. Stabilisasi lewat BULOG masih relevan dipertahankan, namun diperlukan penyempurnaan di banyak aspek. Mulai dari pola pengelolaan perusahaan, revitalisasi infrastruktur dan asset, serta menyiapkan SDM yang mumpuni. Selain itu dibuka persaingan yang sehat dengan swasta baik dalam pengadaan dalam negeri maupun impor. (M.Ikhsan, p.251).

Siapa yg harus dibela oleh pemerintah ?

Dengan anggaran terbatas, adalah kewajaran pemerintah membela konsumen karena menghindari inflasi, baik dengan genjot produksi (program swasembada) maupun impor. Upaya swasembada yang didukung sarana produksi adalah mudah pertanggung jawabannya karena tangible (dibandingkan price policy).

Namun peningkatan produksi atau impor adalah menyakitkan petani. Sementara pemerintah sebagai regulator wajib membela keduanya, dan ini berbiaya mahal.

Solusi

– BULOG tidak bisa mundur ke belakang dan harus profit karena mengemban 4 misi dimana misi pertama yaitu menjalankan usaha logistik pangan pokok dengan mengutamakan layanan kepada masyarakat.

– Tetapi harus ada lembaga PEMERINTAH yang mengurus stabilitas pasokan harga pangan (SPHP) yang berani rugi.

-Perlunya pemetaan dan portfolio BUMN untuk genjot profit maksimum. Sampai dengan bulan Juni 2022, terdapat 91 BUMN di Indonesia (79 Persero dan 12 Perum) yang tersebar di 12 sektor Industri dengan total nilai Kekayaan Negara Dipisahkan yang diinvestasikan kepada BUMN sebesar Rp2.469 Triliun (s.d. tahun 2021).

– Jikalau 90 BUMN tersebut bisa profit maksimum dan 1 BUMN khusus untuk stabilisasi pasokan dan harga pangan, maka itu hanya 1% pengorbanan.

– Perlunya pemetaan komoditi yang harus dikendalikan pemerintah dan mana yang harus impor.

 

Inti dari pembahasan para penulis, reviewer, dan pemantik diskusi bedah buku, hampir secara keseluruhan sepakat bahwa stabilisasi pangan masih perlu dilakukan, salah satunya adalah untuk mencegah “excessive volatility”.

Topik yang sangat menarik dan patut untuk dikaji dan dipelajari 🙂

Salah satu kritik dari reviewer buku dari KOMPAS, yaitu M. Kurniawan, menyatakan bahwa buku ini dari awal sampai akhir hanya membahas mengenai beras saja, diperlukan pembahasan mendalam serupa untuk komoditas lainnya, agar diskursus dapat berkembang sebagai upaya penyelesaian masalah berbagai komoditas pangan dan pertanian Indonesia di lapangan.

Pembahasan Pembiayaan untuk Petani Komersial Kecil di Buku “Agricultural Development and Economic Transformation: Promoting Growth with Poverty Reduction” karya John W. Mellor

 

 

Karena saya pernah meminjam buku  “The Economics of Agricultural Development” karya dari John Williams Mellor untuk tugas presentasi saya tentang Teori Mellor dalam mata kuliah Pembangunan Pertanian yang diampu oleh Prof. Lies, saya akhirnya mencari kembali referensi buku baru dari Mellor yang terbit setelah tahun 2015. Dan saya menemukan buku ini yaitu “Agricultural Development and Economic Transformation: Promoting Growth with Poverty Reduction” yang berfokus pada Small Commercial Farmer (Petani Komersial Kecil) di low-middle income countries. Pada kesempatan ini saya ingin membagikan bagian buku mengenai Pembiayaan atau Financing  yang sudah ditranslate ke Bahasa Indonesia. Selamat Menyimak rekan-rekan!

 

Pembiayaan untuk Petani Komersial Kecil


Dalam konteks modernisasi pertanian, pinjaman kepada petani komersial kecil meningkatkan investasi mereka dan mempercepat laju pertumbuhan pertanian secara signifikan. Peningkatan pinjaman kepada para petani memerlukan lembaga pemberi pinjaman khusus seperti yang ada di semua negara berpendapatan tinggi dan sebagian besar negara-negara Asia. Persaingan dalam pemberian pinjaman memang diinginkan sehingga banyak lembaga pemberi pinjaman lainnya juga diinginkan, namun intinya adalah lembaga khusus.

Semua negara berpendapatan tinggi mengembangkan badan-badan khusus untuk memenuhi kebutuhan finansial petani komersial kecil pada awal perkembangan mereka. Lembaga-lembaga tersebut efektif secara universal dengan tingkat pengembalian yang tinggi. Kebanyakan negara-negara Asia mengembangkan lembaga serupa sebelum tahun 1990an dengan bantuan luar negeri yang besar. Namun, mereka cenderung memiliki tingkat bunga tunggakan pinjaman yang besar, yang sering disalahartikan sebagai utang macet. Pengalaman itu menimbulkan sikap negatif terhadap lembaga-lembaga tersebut. Bantuan luar negeri dan banyak literatur akademis beralih ke bentuk pemberian kredit lain. Dampaknya adalah hanya sedikit negara Afrika Sub-Sahara yang mengembangkan badan-badan khusus secara nasional yang sangat efektif di negara-negara berpendapatan tinggi dan di Asia dalam memenuhi kebutuhan kredit petani komersial kecil. Sejumlah kecil negara berkembang di Asia (misalnya Nepal) juga gagal mengembangkan lembaga-lembaga tersebut.

Oleh karena itu, tujuan utama bab ini adalah bagaimana mengembangkan lembaga-lembaga keuangan secara mandiri di negara-negara berpendapatan tinggi. Dalam sebuah makalah tinjauan, Nagarajan dan Meyer (2005) mencatat bahwa pinjaman keuangan pedesaan dari Bank Dunia dalam beberapa tahun terakhir, “mengikuti paradigma keuangan pedesaan yang baru, telah mengalami penurunan. . ..lembaga yang dipromosikan memberikan pinjaman kecil dan layanan tabungan daripada mendanai operasi pinjaman untuk perusahaan besar di pedesaan dan pertanian.” Definisi tersirat dari petani besar mencakup apa yang kita definisikan sebagai petani komersial kecil.

Bab ini dimulai dengan informasi latar belakang dan kemudian memberikan poin-poin singkat mengenai berbagai lembaga pinjaman pedesaan. Hal ini diikuti dengan analisa mengenai kebutuhan lembaga pemberi pinjaman pertanian khusus yang cocok untuk petani komersial kecil. Bab ini ditutup dengan pembahasan literatur terkini yang menyajikan tabungan, asuransi, dan pinjaman sebagai hal yang dapat dipertukarkan.

 

BEBERAPA CONTOH KETERSEDIAAN KREDIT


Dari tahun 2006 hingga 2010, di pedesaan Uganda, rumah tangga yang memiliki akses terhadap kredit meningkat dari 27 persen menjadi 42 persen (Khandker dan Koolwal 2014). Peningkatan tersebut berasal dari institusi-institusi modern, sedangkan sumber-sumber tradisional semakin berkurang. Rumah tangga yang percaya bahwa kurangnya agunan akan menghalangi mereka untuk meminjam turun dari 23 menjadi 14 persen. Sementara persentase mereka yang tidak meminjam karena tidak mengetahui pemberi pinjaman atau tidak memiliki akses turun dari 30 persen menjadi lima persen. Kehadiran infrastruktur (jalan dan listrik) membuat rumah tangga lebih cenderung meminjam dari sumber-sumber kelembagaan modern.

Di Rwanda (Ali et al. 2014), 32 persen rumah tangga tidak dapat memperoleh bentuk kredit modern dan sepertiganya disebabkan oleh kurangnya agunan. Pinjaman untuk konsumsi relatif lebih penting dibandingkan dengan pinjaman tradisional dan pinjaman untuk investasi memiliki proporsi yang lebih besar dibandingkan pinjaman dari lembaga modern. Studi di Rwanda menunjukkan bahwa akses terhadap bentuk-bentuk kredit modern lebih besar dengan adanya lebih banyak pendidikan, lahan pertanian yang lebih luas, dan menjadi anggota koperasi.

Sebuah penelitian di Etiopia (Abate dkk. 2016) menunjukkan bahwa kredit kooperatif (yang ditujukan untuk petani komersial kecil) mempunyai dampak yang jauh lebih besar terhadap adopsi teknologi dibandingkan dengan kredit mikro. Dampak kooperatifnya adalah pada tingkat adopsi dan intensitas adopsi. Baik koperasi maupun keuangan mikro mencurahkan lebih dari dua pertiga pinjaman mereka untuk pertanian skala kecil: dengan keuangan mikro di tingkat bawah dan koperasi di tingkat atas dalam skala pertanian.

 

PENGEMBALIAN KE KREDIT


Dalam penelitian di Etiopia, 99 persen rumah tangga pedesaan yang memiliki akses terhadap bentuk kredit modern menggunakan pupuk, sementara 74 persen yang tidak memiliki akses menggunakan pupuk. Namun perbedaan mencolok terjadi pada intensitas penggunaan. Mereka yang tidak memiliki akses terhadap kredit modern hanya menerapkan setengah dari jumlah pupuk yang direkomendasikan. Berdasarkan serangkaian praktik yang telah ditingkatkan, mereka yang memiliki akses terhadap kredit modern memiliki tingkat adopsi 32 persen lebih tinggi dan menggunakan 51 kg pupuk lebih banyak dibandingkan mereka yang tidak memiliki akses terhadap kredit modern. Hasil-hasil ini diperkuat dengan adanya laporan peningkatan penggunaan pupuk sebesar 30 persen jika kredit tersedia, oleh kelompok fokus di bawah proyek USAID AMDe di Ethiopia.

Dalam studi di Rwanda, keterbatasan kredit mengurangi kemungkinan terjadinya wirausaha non-pertanian sebesar 6,3 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kredit juga merupakan kendala dalam mewujudkan manfaat penuh dari meningkatnya permintaan sektor non-pertanian pedesaan. Kurangnya akses terhadap kredit juga mengurangi separuh penggunaan pupuk dan menurunkan hasil panen.

 

JENIS INISIASI KEUANGAN PERDESAAN


Daerah pedesaan memiliki beragam lembaga keuangan. Persaingan merupakan hal yang diinginkan: kurangnya persaingan mengakibatkan penurunan efisiensi dan produktivitas. Berbagai institusi merupakan nilai tambah jika hal ini menghasilkan berbagai sumber pembiayaan bagi petani komersial kecil, bahkan, seperti pendapat kami, dominasi lembaga khusus.

 

Keluarga dan Teman


Sumber pinjaman yang dominan dalam pertanian tradisional adalah keluarga besar. Seringkali tanpa pembayaran bunga dan digunakan terutama pada saat stres. Sumber ini pada dasarnya mengurangi risiko dalam pertanian dengan menyebarkannya ke banyak keluarga terkait. Biasanya, separuh rumah tangga di pedesaan meminjam dari teman dan keluarga, dengan proporsi yang tetap atau menurun seiring berjalannya waktu, terutama ketika kredit institusi sudah tersedia. Ini jarang menjadi sumber dana utama untuk berinvestasi pada modal kerja dan modal tetap yang meningkatkan pendapatan.

Sumber ini digambarkan dalam literatur terkini sebagai asuransi informal—melindungi dari kejadian yang tidak menguntungkan. Hal ini jauh lebih tersedia dan efektif bagi petani komersial kecil dibandingkan masyarakat miskin di populasi non-pertanian pedesaan. Orang miskin cenderung mempunyai sanak saudara yang miskin.

 

Pemberi Pinjaman Uang Desa


Dalam pertanian tradisional, merupakan hal yang lumrah bagi beberapa keluarga kaya di sebuah desa untuk memberikan pinjaman kepada keluarga berpenghasilan rendah terutama untuk konsumsi pada saat stres. Pembayaran dan suku bunganya tinggi. Kombinasi pemberian pinjaman di saat-saat sulit dan memastikan pembayaran kembali melalui kontak yang sering telah melahirkan banyak literatur mengenai eksploitasi yang dilakukan oleh pemberi pinjaman uang.

Suku bunga pinjaman uang desa turun ketika sumber-sumber alternatif tersedia. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa persaingan, pinjaman uang desa akan memberikan harga yang terlalu tinggi dibandingkan dengan situasi persaingan. Meski begitu, suku bunga pemberi pinjaman terlalu tinggi dibandingkan dengan keuntungan dari investasi modernisasi. Bentuk pinjaman ini cenderung menurun dengan cepat ketika kredit institusional tersedia. Dalam penelitian di Uganda yang disebutkan sebelumnya, kelompok pemberi pinjaman ini hanya mencakup dua persen rumah tangga.

Ketika komunitas donor melarikan diri dari lembaga kredit khusus untuk petani komersial kecil, berkembanglah literatur yang memuji manfaat dari pemberi pinjaman uang desa. Namun, pemberi pinjaman ini kurang mampu memenuhi kebutuhan modernisasi pertanian. Yang paling penting, mereka tidak memiliki integrasi dengan pasar kredit nasional dan internasional sehingga mereka tidak dapat menggunakan dana mereka sendiri secara menguntungkan ketika permintaan lokal menurun secara musiman atau memanfaatkan sumber-sumber tersebut ketika permintaan meningkat secara dramatis, baik secara musiman maupun dalam jangka waktu yang lama. Mereka adalah sumber dana yang tidak efisien untuk pertumbuhan pertanian.

 

Pedagang


Ketika petani komersial kecil meningkatkan pembelian dan penjualan, pedagang menjadi sumber kredit yang semakin penting. Persaingan dari bentuk-bentuk kredit institusional penting untuk menjaga suku bunga dan kondisi pinjaman tetap kompetitif. Pemberian pinjaman dari bank komersial yang lebih besar kepada para pedagang untuk pinjaman kepada petani komersial kecil merupakan sumber kredit yang berpotensi penting dan diinginkan selama ada persaingan. Namun, kepentingannya berkurang ketika lembaga pemberi pinjaman pertanian khusus disediakan.

 

Pertanian Kontrak / Contract Farming


Pertanian kontrak adalah pinjaman yang diberikan oleh usaha skala besar berdasarkan kontrak untuk memasarkan hasil dan memberikan masukan serta bimbingan teknis. Sistem ini mungkin besar dan dominan dalam situasi khusus yang kecil. Ini bukan pengganti liputan nasional dari lembaga khusus. Pertanian kontrak sudah menjadi hal yang umum di bidang-bidang khusus, misalnya unggas, di negara-negara berpendapatan tinggi, namun kurang tersebar luas di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah.

 

Keuangan Mikro


Kredit mikro menjadi hal yang umum ketika dipublikasikan oleh penerima Hadiah Nobel Perdamaian, Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank di Bangladesh. Ini adalah sistem kelompok kecil, seringkali terdiri dari perempuan, umumnya miskin, yang dibentuk untuk meningkatkan tabungan yang diikuti dengan program pinjaman berskala sangat kecil. Meminjam sangat berisiko bagi masyarakat miskin karena pendapatan mereka tidak mampu membayar bunga: mereka sudah berada pada kondisi marginal. Itulah sebabnya penekanannya adalah pada tabungan, membangun cadangan pada saat yang baik.

Dengan semakin populernya kredit mikro, terdapat banyak upaya komersial untuk memasuki bidang ini. Hal ini secara umum telah membawa nama buruk bagi kredit mikro karena fokusnya adalah memberikan pinjaman yang sering kali tidak dapat dilunasi. Yang dipaparkan di sini adalah jenis kredit mikro tradisional yang terus berkembang.

Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa kredit mikro di daerah pedesaan meningkatkan produksi pertanian. Studi dan kelompok fokus juga menunjukkan bahwa di kalangan petani, hanya mereka yang berada pada tingkat terbawah dari usaha pertanian komersial kecil yang menerima kredit mikro: kredit mikro tidak menjangkau mereka yang menghasilkan sebagian besar hasil pertanian (Khandker dan Koolwal 2014). Proporsi rumah tangga pedesaan yang mengakses keuangan mikro tumbuh pesat hingga mencapai sepertiga dan kemudian menjadi stabil. Jumlah tersebut setara dengan sebagian besar penduduk non-pertanian pedesaan yang mencakup petani subsisten.

Kredit mikro pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat, namun mendapatkan popularitas yang luar biasa berkat keberhasilan upaya Grameen Bank di Bangladesh. Model tersebut adalah kelompok kecil dalam jumlah besar, pertama-tama menekankan pada tabungan, kemudian pinjaman yang didukung oleh kelompok, dan penekanan terus-menerus pada solidaritas kelompok kecil. Kelompok-kelompok kecil tersebut membentuk piramida yang berkembang menjadi organisasi nasional. Hasilnya adalah tingkat pengembalian yang sangat tinggi dan biaya administrasi yang rendah.

Dalam konteks proses pertumbuhan yang dijelaskan dalam buku ini, kredit mikro mempunyai peran yang berguna dalam memfasilitasi dan memperbesar partisipasi dalam pertumbuhan sektor non-pertanian pedesaan. Kendala mendasar yang dihadapi sektor ini bukanlah permodalan, melainkan kurangnya permintaan atas output yang dihasilkan, sebuah permasalahan yang dapat diatasi dengan meningkatnya pendapatan petani komersial kecil. Namun, dalam konteks tersebut, beberapa rumah tangga miskin, dan khususnya perempuan, mungkin mengalami kesulitan dalam meningkatkan modal kerja yang diperlukan dalam jumlah kecil. Kredit mikro sangat membantu dalam situasi seperti ini. Hal ini juga mungkin tersedia bagi petani komersial terkecil – yaitu mereka yang berada di atas garis kemiskinan.

Kredit mikro tidak sesuai untuk sebagian besar petani komersial kecil karena dua hal. Pertama, terdapat perbedaan besar antara pinjaman kredit mikro sebesar $50–$200 dan pinjaman beberapa ribu dolar yang dibutuhkan oleh petani komersial kecil. Sifat pinjaman dan apa yang diperlukan untuk mendapatkan keuntungan sangat berbeda dari persyaratan umum yang biasa dipenuhi oleh nasabah lembaga kredit mikro. Kedua, sistem pembayaran kembali, bergantung pada solidaritas kelompok dan menjamin pinjaman satu sama lain berjalan dengan baik dalam konteks tabungan dan pinjaman yang sangat kecil. Hal ini kurang berhasil bagi petani yang harus menjamin pinjaman ribuan dolar. Saya ingat pernah mendiskusikan hal ini dengan seorang petani Indonesia yang mengatakan, “Saya bahkan tidak akan menjamin pinjaman ($1000) kepada saudara laki-laki saya, apalagi kepada seseorang yang sepenuhnya berada di luar keluarga.” Tentu saja dalam kasus masyarakat yang sangat kohesif, jaminan kelompok dapat diterapkan pada petani komersial kecil, namun sistem tidak boleh dibuat dengan asumsi bahwa hal tersebut merupakan hal yang lumrah.

Terdapat argumen bahwa penekanan yang kuat pada pembayaran kembali mencerminkan budaya yang diinginkan dalam memberikan pinjaman kepada petani komersial kecil sehingga lembaga kredit mikro dapat beralih memberikan pinjaman kepada keluarga-keluarga kaya. Argumen paling penting yang menentang hal ini adalah argumen yang dikemukakan oleh para pemimpin sistem kredit mikro: “Jangan hancurkan apa yang kita miliki. Kami memiliki lembaga yang luar biasa untuk memberikan pinjaman kepada masyarakat miskin dan mengangkat mereka.” Sistem ini ditujukan untuk kelompok tersebut sehingga ketika dikalibrasi ulang menjadi petani komersial kecil, maka masyarakat miskin akan hilang. Ketika Bank Grameen di Bangladesh diminta memberikan pinjaman kepada petani komersial kecil, mereka membentuk struktur paralel untuk tujuan tersebut dan menjaga kredit mikronya tetap fokus pada masyarakat miskin.

Kredit mikro dapat menimbulkan persaingan dalam pemberian pinjaman kepada petani komersial kecil dengan memberikan persaingan pada skala yang terbatas. Hal ini akan melengkapi bank-bank komersial, sebagaimana disebutkan selanjutnya, dalam bersaing pada skala yang lebih besar.

 

Bank Komersial


Bank-bank komersial pada akhirnya akan menjadi komponen penting dalam sistem pembiayaan pertanian di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Hal ini tidak akan terjadi dengan cepat meskipun ada upaya dari lembaga bantuan asing.

Bank-bank komersial di negara-negara berpendapatan tinggi merupakan pemberi pinjaman penting bagi pertanian, termasuk pertanian keluarga, yang serupa dengan apa yang kami definisikan sebagai pertanian komersial kecil dalam hal jumlah angkatan kerja. Di Amerika Serikat, lebih dari separuh pinjaman pertanian disalurkan oleh bank komersial. Untuk jangka waktu yang lama, perbankan cabang tidak diperbolehkan. Hal ini berarti bahwa bank yang sekarang disebut bank komunitas, yang umumnya berada di daerah pedesaan, memiliki akses khusus untuk memberikan pinjaman pertanian dan menjadi pemberi pinjaman penting. Mereka memiliki petugas pinjaman pertanian yang terlatih secara teknis sebagai anggota staf terkemuka. Orang tersebut bekerja dengan petani untuk mengembangkan anggaran pertanian dan program pinjaman dan menindaklanjutinya untuk memastikan pembayaran kembali. Tingkat gagal bayar mendekati nol kecuali yang disebabkan oleh cuaca buruk. Bank-bank pedesaan mempunyai masalah risiko akibat tingginya proporsi pinjaman pada sektor pertanian yang rentan terhadap cuaca.

Di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, bank-bank komersial berlokasi di pusat kota besar dan enggan melakukan ekspansi ke daerah pedesaan. Hal ini karena mereka melihat adanya kesulitan dalam skala cabang lokal dan menganggap pemberian pinjaman kepada sektor pertanian berisiko karena kurangnya keahlian pertanian internal mereka. Biasanya, kurang dari lima persen rumah tangga pedesaan mengajukan kredit bank komersial. Di India, sepuluh persen pinjaman bank komersial ditujukan untuk pertanian, namun hal ini disebabkan oleh undang-undang yang mengharuskan hal ini dan kemudian ditujukan kepada sebagian besar petani yang berada di perkotaan.

Dalam jangka panjang, bank-bank komersial secara bertahap akan memperluas cakupannya hingga mencakup pusat-pusat kota yang semakin kecil dan pada akhirnya akan menjadi sumber persaingan yang berguna dalam memberikan pinjaman kepada petani komersial kecil. Mereka tertarik dengan besarnya potensi peningkatan simpanan dari pedesaan.

Agar efektif dalam pemberian pinjaman pertanian, bank komersial harus memenuhi dua syarat. Pertama, mereka harus mengoperasikan sejumlah besar cabang di pedesaan, yang pada dasarnya berada di semua kota pasar yang lebih besar. Kedua, mereka harus mempekerjakan petugas pinjaman pertanian yang memenuhi syarat secara teknis di setiap cabang. Mudah-mudahan, beberapa bank akan memulai dengan beberapa cabang yang memenuhi persyaratan tersebut, dan bank-bank komersial akan lebih banyak lagi yang akan menjadi bagian penting dari sistem kredit pertanian yang kompetitif. Hal ini mencakup pemberian pinjaman kepada sektor agribisnis dan mobilisasi simpanan dalam skala besar.

 

LEMBAGA KEUANGAN KHUSUS UNTUK PETANI KOMERSIAL KECIL


Sistem keuangan khusus diperlukan untuk melayani petani komersial kecil, mengisi kesenjangan yang besar antara kredit mikro dan bank komersial. Sistem seperti ini mempunyai sejumlah besar kantor pinjaman yang dikelola secara khusus untuk menjangkau petani komersial kecil. Sistem ini biasanya terdiri dari koperasi atau berbentuk koperasi. Sistem yang tidak dijalankan oleh birokrasi pemerintah yang normal jarang berhasil.

Pertanian mempunyai persyaratan teknis khusus yang sangat berbeda dengan persyaratan yang dihadapi pemberi pinjaman di perkotaan. Hal ini membutuhkan petugas bagian pinjaman yang berdedikasi dan terspesialisasi. Hal ini terutama berlaku di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Risiko sangat dikurangi oleh petugas bagian pinjaman yang berpengetahuan.

Pertanian tanaman pangan mempunyai sifat musiman yang menentukan waktu pemberian pinjaman dan jangka waktu pembayaran kembali. Waktunya berbeda dari satu daerah ke daerah lain dan bahkan dari satu lahan ke lahan lain dalam satu daerah tergantung pada jenis tanaman yang ditanam dan kondisi fisiknya. Petugas bagian pinjaman harus memiliki pengetahuan tentang teknis pertanian dan kondisi setempat.

Pelanggan koperasi pertanian sebagian besar adalah petani komersial kecil, yang merupakan pelanggan alami dari sistem kredit berorientasi produksi pertanian. Memang benar, koperasi sering dikritik karena fokus pada petani yang berada di atas, atau lebih umum lagi, jauh di atas, garis kemiskinan. Petani subsisten atau hampir subsisten kurang peduli dengan pembelian bahan baku dan pemasaran dibandingkan petani komersial kecil, sehingga jasa ekonomi koperasi kurang diminati oleh mereka.

 

Ciri-ciri Utama Sistem Kredit Pertanian Khusus


Empat ciri penting dalam menyediakan pembiayaan bagi petani komersial kecil dalam skala nasional: banyak cabang; petugas pinjaman yang terlatih secara pertanian di setiap cabang; dewan tingkat cabang setempat; dan badan pengawas tingkat puncak.

Banyak Cabang Berlokasi Bagus

Survei berulang kali menunjukkan bahwa kenyamanan lokasi (dekat lokasi) merupakan faktor terpenting yang dikemukakan oleh petani sehubungan dengan sistem keuangan (Desai dan Mellor 1993). Mereka tahu bahwa untuk menggunakan sistem ini memerlukan banyak kunjungan dan tidak mungkin harus pergi ke kota besar yang jauh. Cabang lokal juga penting untuk memastikan bahwa petugas pinjaman mengenal peminjam.

Terdapat ketegangan antara banyak cabang yang dekat dengan peminjam dan pencapaian skala yang memadai untuk menyebarkan biaya overhead petugas bagian pinjaman dan akuntansi ke seluruh bisnis untuk mengendalikan biaya administrasi ke tingkat yang wajar. Upaya pertama untuk memperoleh skala yang memadai adalah petugas pinjaman memperluas pinjaman dengan bekerja sama dengan petani untuk mencari peluang investasi tambahan yang menguntungkan. Tujuan dari sistem ini adalah untuk mempercepat laju pertumbuhan agregat pertanian dan sekaligus memiliki skala yang cukup untuk menutupi biaya overhead.

Cara kedua untuk meningkatkan skala adalah dengan memobilisasi simpanan. Hal ini menambah biaya kedua dan menggandakan skalanya. Dalam sistem pembiayaan pertanian yang matang, volume tabungan petani selalu lebih besar dibandingkan volume pinjaman. Petani memiliki kecenderungan menabung marjinal yang tinggi, sebagian didorong oleh konservatisme dalam menjaga konsumsi mereka selama tahun buruk serta keinginan untuk membangun cadangan yang lebih besar. Dengan demikian sistem keuangan sebenarnya menyalurkan sumber daya dari pertanian, yang diharapkan dapat memperluas usaha non-pertanian di pedesaan serta ke pusat-pusat perkotaan. Inilah salah satu alasan mengapa sistem keuangan pedesaan yang berfungsi dengan baik tidak bersifat inflasi.

Di sebagian besar negara, penambahan simpanan memerlukan kepatuhan terhadap peraturan perbankan. Hal ini memang diinginkan meskipun akan memerlukan waktu—operasi pemberian pinjaman mungkin akan didahulukan setelah beberapa tahun pertumbuhan oleh fungsi simpanan. Jika diinginkan untuk menambah mobilisasi simpanan lebih cepat maka kesepakatan dapat dibuat dengan bank komersial untuk memobilisasi simpanan dan meneruskannya ke bank komersial, cabang tersebut pada dasarnya berfungsi sebagai agen lokal untuk bank tersebut. Semua bank berkeinginan untuk meningkatkan simpanan.

Cara ketiga adalah memberikan pinjaman kepada sektor non-pertanian pedesaan karena pendapatan dari pertanian mendorong perluasan sektor tersebut dengan cepat. Kredit pada awalnya bukan merupakan kendala dalam sektor tersebut, namun seiring pertumbuhannya, dan khususnya ketika peluang muncul untuk melayani pasar yang besar bagi usaha kecil yang lebih canggih, kredit untuk sistem dari petani komersial kecil secara logis dapat diperluas ke wilayah tersebut.

 

Petugas Pinjaman

Hal penting kedua adalah petugas pinjaman yang terspesialisasi dan kompeten secara teknis di tingkat cabang untuk memastikan pinjaman menguntungkan dalam jumlah besar dan terus bertambah, serta dilunasi secara penuh dan tepat waktu. Ini adalah posisi kunci dalam sistem. Di sinilah pinjaman yang baik diberikan, pembayaran kembali terjamin, dan pertumbuhan pinjaman berlangsung pesat. Petugas tersebut harus terlatih pada tingkat tinggi di bidang teknis pertanian serta berpengalaman di bidang pertanian. Masa kerja dalam layanan penyuluhan merupakan tempat perekrutan yang logis dan petugas bagian pinjaman memerlukan pelatihan dalam bidang akuntansi, penganggaran pertanian, dan aturan peminjaman. Petugas bagian pinjaman bekerja erat dengan Dewan setempat dan dibayar dengan baik dibandingkan dengan penyuluh.

Sebuah survei yang dilakukan oleh Reserve Bank of India mengenai analisis tunggakan pinjaman (yang saya ikuti) menunjukkan bahwa para petani melihat tunggakan tersebut sebagai utang yang harus dibayar—suatu tanggung jawab moral—namun mereka “entah bagaimana tidak pernah sempat melakukannya!” Buktinya juga jelas bahwa bahkan dalam situasi di mana tunggakan pinjaman cukup besar, petani yang mendapat keuntungan besar dari pinjaman kemungkinan besar akan membayar kembali tepat waktu. Petugas pinjaman memastikan bahwa ada rencana pertanian yang menguntungkan untuk penggunaan hasil pinjaman dan kemudian menindaklanjutinya secara teratur untuk memastikan pembayaran tepat waktu.

Pertanyaan yang sering muncul mengenai penyaluran kredit untuk konsumsi, terutama termasuk menjaga konsumsi di masa sulit. Studi-studi tersebut secara umum menunjukkan bahwa pinjaman konsumsi menyumbang sekitar setengah dari seluruh pinjaman pedesaan. Tugas petugas bagian pinjaman adalah memastikan bahwa pinjaman tersebut menghasilkan pendapatan agar dapat dilunasi secara penuh. Bahwa hasil yang diperoleh sebenarnya sepadan—dapat dialihkan untuk tujuan lain—tidak relevan jika diterapkan rencana yang cukup menguntungkan untuk pembayaran kembali.

Masalah pembayaran kembali kemungkinan besar muncul dalam kondisi yang tidak terduga: dua tahun panen buruk berturut-turut, penyakit atau kematian anggota keluarga, tingkat penurunan harga yang benar-benar tidak terduga. Dalam keadaan seperti ini, pinjaman perlu dijadwal ulang dan diperpanjang dalam jangka waktu yang lebih lama. Itu adalah fungsi penting dari petugas bagian pinjaman.

Bagaimana jika terjadi tiga tahun panen buruk berturut-turut? Untungnya, hal ini jarang terjadi. Hal ini menyebabkan ketidakstabilan pada sistem yang khusus menangani pertanian karena alasan yang baik sehingga tidak terdiversifikasi ke sektor-sektor lain. Pada saat itulah pemerintah mau tidak mau harus turun tangan, seperti yang biasa mereka lakukan terhadap kegagalan perbankan. Hal ini sudah menjadi tradisi di Amerika Serikat dan pada dasarnya merupakan bentuk asuransi yang disubsidi pemerintah. Petugas bagian pinjaman berupaya meminimalkan besarnya bantuan pemerintah ini dan hal ini jarang terjadi. Pemerintah tergoda untuk mendapatkan dukungan politik dengan mengampuni pinjaman. Hal ini, tentu saja, merusak disiplin penting dari sistem yang dapat berjalan. Pembiayaan kembali pinjaman adalah cara yang benar.

Banyaknya jumlah petugas bagian pinjaman terlatih yang dibutuhkan menimbulkan masalah penting yang dihadapi oleh pesatnya perluasan universitas pertanian. Selama periode pesatnya ekspansi sistem keuangan pedesaan nasional di India, sistem tersebut dengan mudah menjadi satu-satunya tujuan pekerjaan terpenting bagi lulusan lembaga-lembaga tersebut. Tujuan sosial agar lebih banyak orang berpartisipasi dalam pendidikan tinggi dibantu oleh besarnya permintaan akan tenaga pertanian terlatih untuk sistem keuangan pertanian yang sedang berkembang. Dalam jangka pendek, karena sistem keuangan kemungkinan besar akan mengikuti sistem penyuluhan dalam beberapa tahun ke depan, penyuluh terbaik dapat diberikan pelatihan khusus di bidang keuangan dan menjadi petugas pinjaman.


Dewan Tingkat Komunitas

Ciri penting ketiga adalah adanya dewan lokal yang terdiri dari para petani, istri petani, dan perempuan kepala rumah tangga yang berpengetahuan luas untuk memastikan pinjaman yang baik dan pembayaran penuh, bukan melalui jaminan pribadi namun melalui seleksi dan pengawasan yang tepat. Bukan hal yang lazim bagi petani komersial kecil untuk saling menjamin pinjaman seperti yang terjadi dalam kredit mikro. Pinjaman tersebut terlalu besar jika dibandingkan dengan pendapatan yang diperkuat oleh sikap bisnis yang berfokus pada bisnis sendiri dan bukan bisnis orang lain. Petugas bagian pinjamanlah yang melakukan hal itu. Namun, sekelompok petani dan istri petani yang dihormati di dewan terpilih dapat memastikan bahwa pinjaman dapat dibayar kembali dan menerapkan tekanan sosial untuk memastikan bahwa cabang tersebut mampu membayar hutang sehingga pinjaman dapat dilanjutkan. Dewan ini membawa pengetahuan lokal tentang pertanian dan petani yang dapat melengkapi pekerjaan intensif petugas bagian pinjaman dan membawa stabilitas pada cabang.

Ada dua alasan mengapa penting untuk memiliki keterwakilan perempuan yang besar dalam dewan tersebut. Pertama, perempuan, berdasarkan survei demi survei, terbukti lebih berkomitmen dalam membayar kembali pinjaman dibandingkan laki-laki. Sikap itu penting bagi dewan. Kedua, perempuan mempunyai pengetahuan khusus yang agak berbeda mengenai pertanian dan petani yang mengajukan pinjaman. Ketiga, penting untuk tidak memiliki bias terhadap rumah tangga yang dikepalai perempuan, terutama karena mereka rata-rata memiliki pendapatan lebih rendah dibandingkan rumah tangga yang dikepalai laki-laki, dan mereka menghadapi kesulitan yang lebih besar.

Jumlah rumah tangga yang dikepalai perempuan cenderung rendah sehingga istri petani juga merupakan anggota dewan yang logis. Perempuan cenderung kurang terwakili dalam dewan tersebut, sebagian karena adanya prasangka yang muncul, namun lebih karena mereka cenderung tidak dilibatkan dalam penyebaran pengetahuan tentang pertanian baru yang berbasis teknis. Pengalaman di dewan tersebut merupakan batu loncatan logis untuk posisi berpengaruh lainnya.

Badan Puncak

Hal penting yang keempat adalah adanya badan tertinggi yang mengumpulkan dana bagi cabang untuk memberikan pinjaman, mengelola akuntansi dan analisis yang canggih, menemukan permasalahan di cabang dan memperbaikinya, serta menetapkan kebijakan untuk sistem tersebut. Negara-negara besar mungkin mempunyai dua tingkatan: jumlah serikat pekerja yang cukup untuk mengelola cabang-cabang dan puncak keseluruhan di tingkat nasional, dengan pembagian kerja yang sesuai di antara mereka.

Cara paling efisien adalah mengelola akuntansi pada tingkat puncak. Munculnya telepon seluler memfasilitasi hal ini—meninggalkan petugas bagian pinjaman di cabang untuk membuat rencana pertanian dan mengawasi peminjaman dan pembayaran kembali—dengan data akuntansi dikirim langsung ke puncak.

 

Kapan Saatnya Membangun Sistem Keuangan Institusi Nasional?


Ketika modernisasi pertanian dimulai, elemen intinya adalah benih untuk varietas unggul dan pupuk komersial terkait. Kedua hal ini merupakan input yang dapat dibagi dan dapat dibiayai sendiri. Jika hal ini terjadi, maka penerapan program pendanaan yang diperlukan dapat tertunda selama beberapa tahun. Berdasarkan pengalaman, tanpa kredit, penggunaan input yang dapat dibagi rata-rata meningkat menjadi sekitar 70 persen dari tingkat profitabilitas penuh. Kredit diperlukan untuk lebih dari itu: dan beberapa petani tidak pernah memulai tanpa kredit.

Tentu saja terdapat kekurangan sumber daya dan sistem keuangan tidak menjadi prioritas utama. Mungkin posisi terbaik adalah memulai sejak dini dan membangun sistem secara hati-hati dan efektif untuk memastikan pembayaran penuh pinjaman.

 

MASALAH KHUSUS


Ada tiga permasalahan penting yang terjadi di seluruh sistem keuangan pertanian: agunan/jaminan; resiko; dan kebijakan suku bunga. Inflasi juga merupakan salah satu faktornya.

 

Jaminan


Banyak literatur mengenai kredit kepada petani di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah menekankan pentingnya kurangnya jaminan sebagai hambatan dalam memberikan pinjaman. Dalam konteks ini, mereka mencatat catatan tanah yang buruk dan kurangnya sertifikat tanah yang sah. Pemberian sertifikat dalam jangka panjang adalah ide yang bagus, namun memberikan jaminan atas pinjaman pertanian tidak boleh menjadi alasan utama.

Merupakan aturan umum dalam pinjaman pertanian di negara-negara berpendapatan tinggi bahwa pinjaman modal operasional (misalnya untuk pupuk dan benih) harus didasarkan pada laporan laba rugi, bukan berdasarkan agunan seperti tanah. Hal ini merupakan aturan yang berlaku di negara-negara berpendapatan tinggi dan penting bagi negara-negara berpendapatan rendah karena kesulitan dalam sertifikasi tanah dan keengganan petani untuk menggadaikan tanah yang menjadi sumber penghidupan mereka. Pinjaman jangka menengah, misalnya untuk membeli traktor atau sistem irigasi, dapat didukung oleh instrumen yang menjadi tujuan pinjaman tersebut.

Di negara-negara berpendapatan tinggi, sebagian besar pinjaman pertanian ditujukan untuk membeli lahan untuk perluasan lahan pertanian atau untuk membiayai perubahan generasi. Untuk itu penggunaan tanah sebagai jaminan merupakan hal yang lumrah dan tepat. Namun, hal ini pada dasarnya tidak penting di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Oleh karena itu, permasalahan jaminan tidak akan menjadi isu penting di negara-negara tersebut jika terdapat sistem nasional yang memberikan pinjaman yang baik berdasarkan analisis keuntungan yang dapat diperoleh dari pinjaman tersebut. Petugas bagian pinjaman merupakan pusat kesuksesan dalam konteks tersebut.

 

Resiko


Pinjaman pertanian sering dikatakan mempunyai risiko tinggi, yang berarti premi risiko yang besar pada tingkat suku bunga, yang pada gilirannya membuat pinjaman tersebut tidak dapat dijalankan. Risiko harus dijaga pada tingkat yang sangat rendah dengan pengetahuan rinci dari peminjam, termasuk rencana pertanian, untuk memastikan tingkat pengembalian yang tinggi atas investasi dana pinjaman. Itu adalah tugas petugas pinjaman khusus yang didukung oleh dewan berbasis komunitas. Sistem seperti ini mempunyai tingkat gagal bayar yang dapat diabaikan.

Hal ini pada gilirannya menimbulkan risiko baru—konsentrasi pinjaman secara geografis dan cuaca. Diperlukan institusi yang besar untuk menjangkau berbagai kondisi cuaca. Meski begitu, serangkaian tahun dengan harga atau peristiwa cuaca yang besar menyebabkan ketidakmampuan membayar dalam skala besar. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, sebagian besar petani komersial skala kecil dapat menghadapi tahun buruk dengan menggunakan hasil panen dan tabungan. Dengan dua tahun buruk berturut-turut, penjadwalan ulang pinjaman adalah hal yang biasa dilakukan. Jika terjadi peristiwa yang lebih besar, pemerintah turun tangan untuk membantu. Petugas pinjaman adalah kunci dari kemungkinan itu.

 

Kebijakan Suku Bunga


Penentangan yang konsisten dalam buku ini terhadap subsidi terus berlanjut sehubungan dengan tingkat suku bunga. Mereka tidak seharusnya disubsidi. Oleh karena itu, penting untuk memastikan biaya pinjaman yang rendah untuk mengendalikan suku bunga.

Data (misalnya Desai dan Mellor 1993) menunjukkan dengan jelas bahwa, berbeda dengan negara-negara berpendapatan tinggi, di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, permintaan kredit dari petani bersifat elastis terhadap tingkat suku bunga, sedangkan tabungan bersifat inelastis. Logikanya adalah bahwa petani komersial kecil memiliki kecenderungan menabung marjinal yang tinggi. Mereka melakukan hal ini dengan dampak yang kecil terhadap tingkat suku bunga, mungkin didorong oleh konservatisme dalam menghadapi fluktuasi besar dalam cuaca dan serangan lain terhadap produksi dan pendapatan, serta keinginan untuk melindungi aset mereka pada saat terjadi tekanan. Mereka ingin meningkatkan produksi, memiliki peluang untuk melakukannya, dan akan meminjam lebih banyak seiring penurunan suku bunga, sehingga meningkatkan kemampuan mereka untuk membayar kembali. Oleh karena itu, dari sudut pandang pertumbuhan, menjaga suku bunga pertanian tetap rendah adalah hal yang diinginkan. Tanpa subsidi berarti biaya harus dijaga agar tetap rendah.

Ada tiga rangkaian biaya yang harus ditanggung: tingkat bunga murni untuk pinjaman lembaga, misalnya dari bank sentral; kerugian akibat kredit macet; dan biaya administrasi pengoperasian sistem.

Suku bunga murni harus serendah yang dirasa nyaman oleh bank sentral dalam kaitannya dengan persyaratan yang lebih besar. Pinjaman off-lending dengan suku bunga rendah akan meningkatkan pinjaman, produksi, dan pendapatan. Obligasi dengan jaminan pemerintah dapat dijual dengan suku bunga rendah. Kerugian pinjaman harus dijaga seminimal mungkin, mungkin disebabkan oleh bencana pribadi yang terjadi sesekali seperti kematian anggota keluarga dan penyakit. Petugas pinjaman harus memastikan bahwa pinjaman yang masuk akal dan menguntungkan diberikan, memastikan pembayaran penuh. Sistem yang sukses memiliki kerugian pinjaman yang sangat rendah.

Yang pertama dan terpenting, petugas bagian pinjaman harus memastikan bahwa pinjaman tersebut ditujukan untuk tujuan yang menguntungkan. Tentu saja hasil pinjaman dapat dipertukarkan: dapat diperoleh berdasarkan rencana yang menguntungkan untuk meningkatkan pendapatan, namun sebenarnya digunakan untuk pernikahan. Hal ini tidak menjadi masalah selama pinjaman tersebut diberikan dalam konteks perluasan usaha yang terpantau sehingga menjamin peningkatan pendapatan untuk membayar pinjaman. Pinjaman tersebut, setelah disetujui oleh petugas pinjaman, harus disetujui oleh komite pinjaman petani setempat, dan pada akhirnya pinjaman tersebut perlu disetujui oleh serikat pekerja.

Setelah pinjaman dibuat, petugas bagian pinjaman harus melacaknya secara teratur untuk memastikan bahwa rencana tersebut diikuti atau dimodifikasi secara tepat sesuai dengan perubahan keadaan. Tindak lanjut tersebut bertepatan dengan tindak lanjut untuk memastikan pelunasan tepat waktu.

Biaya administrasi mencakup biaya petugas bagian pinjaman, pengeluaran lain yang tidak terlalu besar di cabang, dan sebagian biaya serikat pekerja. Biaya-biaya tersebut harus dapat diatasi.

Secara keseluruhan biayanya mungkin terlihat seperti ini: tiga persen bunga riil, dua persen untuk kerugian pinjaman, dan empat persen untuk biaya administrasi, untuk tingkat bunga sembilan persen (disarikan dari cakupan inflasi). Para petani yang saya ajak bicara melihat hal ini sebagai mengambil setengah keuntungan dari investasi—mungkin cara yang masuk akal untuk melihatnya.

 

Inflasi


Bank-bank sentral khawatir bahwa upaya pembangunan secara keseluruhan akan memaksa belanja defisit yang menyebabkan inflasi. Pemberian pinjaman dalam skala besar kepada petani komersial kecil dipandang meningkatkan masalah tersebut.

Setidaknya pada tahap awal pertumbuhan pertanian, pendanaan sebagian besar digunakan untuk investasi jangka pendek: keuntungan dari perbaikan benih dan pupuk terjadi dalam satu tahun panen, yang berarti kurang dari satu tahun kalender. Secara teknis hal itu tidak mempunyai dampak inflasi. Hal ini mengasumsikan pelunasan penuh dan kegagalan membayar tentu saja bersifat inflasi.

 

TABUNGAN, KREDIT, DAN ASURANSI YANG DAPAT DIPERTUKARKAN


Terdapat literatur (misalnya Karlan et al. 2012; Dercon dan Christiaensen 2011; Barrett 2007; Besley 1995) yang menyatakan bahwa tabungan, kredit, dan asuransi pada dasarnya dapat dipertukarkan dan kemudian menyatakan bahwa kegagalan di pasar-pasar ini menghasilkan keputusan-keputusan yang tidak dapat dipertukarkan. rasional bagi individu tetapi menghasilkan inefisiensi dibandingkan dengan pasar yang beroperasi dengan baik. Besley (1995) secara eksplisit menyatakan tentang kurangnya institusi perdagangan berisiko di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Terdapat implikasi bahwa menyediakan pasar yang kompetitif di bidang-bidang ini akan mengubah keputusan yang akan meningkatkan pendapatan rumah tangga. Mereka secara khusus menyebutkan kegagalan pasar asuransi dan peran pasar informal. Untuk merefleksikan literatur tersebut, penting untuk membedakan masyarakat miskin dari petani komersial kecil. Masalah-masalah ini dibahas di berbagai poin dalam buku ini dan dirangkum di sini.

Permasalahan mendasar bagi masyarakat miskin adalah pendapatan mereka sangat rendah sehingga mereka tidak mampu membayar biaya bunga utang atau premi asuransi meskipun tersedia. Hal ini diperburuk dengan kemungkinan bahwa sanak keluarga mereka juga miskin dan karenanya bukan merupakan sumber asuransi informal. Itulah sebabnya kredit mikro pertama-tama ditekankan pada tabungan, dalam jumlah yang sangat kecil dan mungkin dalam periode yang lebih menguntungkan, kemudian meminjam dari simpanan kelompok. Buku ini mendukung program kredit mikro bagi masyarakat miskin dan jaring pengaman publik—dan tentu saja lebih banyak lapangan kerja untuk keluar dari kemiskinan. Dalam menggambarkan perilaku masyarakat miskin dalam keadaan sulit, disebutkan bahwa mereka melikuidasi aset untuk mempertahankan konsumsi dan sebaliknya mengurangi konsumsi, dengan dampak yang tidak menguntungkan.

Petani komersial skala kecil mampu mengasuransikan dirinya sendiri dengan menyimpan sereal selama bertahun-tahun, tidak bersedia membayar biaya komersial asuransi tanaman, dan lebih luas lagi, mengasuransikan pasar informal dengan meminjam dari kerabatnya. Buku ini menganjurkan sistem keuangan pertanian khusus (pinjaman dan tabungan) dan dengan jelas menyatakan bahwa semua subsidi yang mensubsidi asuransi tanaman, meskipun biaya pengindeksannya rendah, tidak boleh dilakukan atas dasar tingginya biaya peluang dalam pertumbuhan pendapatan.

 

Referensi

 

Abate, G. T., Rashid, S., Borzaga, C., &Getnet, K. (2016). Rural finance and agricultural technology adoption in Ethiopia: Does the institutional design of lending organizations matter? (IFPRI discussion paper no. 1422).Washington,DC: International Food Policy Research Institute.

Ali, D. A., Deininger, K., & Duponchel, M. (2014). Credit constraints and agricultural productivity and rural nonfarm participation: Evidence from rural Rwanda (Policy Research Working Paper No. 6769). Washington, DC: World Bank Group.

Barrett, C. B. (2007). Displaced distortions: Financial market failures and seemingly inefficient resource allocation in low-income rural communities. In E. Bulte & R. Ruben (Eds.), Development economics between markets and institutions: Incentives
for growth, food security and sustainable use of the environment (pp. 73–86). Wageningen: Wageningen Academic Publishers.

Besley, T. (1995). Savings, credit and insurance. In J. Behrman & T. N. Srinivasan (Eds.), Handbook of development economics (Vol. 3A, pp. 2123–2207). Amsterdam: Elsevier.

Dercon, S., & Christiaensen, L. (2011). Consumption risk, technology adoption and poverty traps: Evidence from Ethiopia. Journal of Development Economics, 96(2), 159–173.

Desai, B. M., & Mellor, J. W. (1993). Institutional finance for agricultural development. An analytical survey of critical issues and food policy review (1st ed.). Washington, DC: International Food Policy Research Institute.

Karlan, D., Osei-Akoto, R.,&Udry, C. (2012). Agricultural decision after relaxing credit and risk constraints (NBER working paper series no. 18463). Cambridge, MA: National Bureau of Economic Research.

Khandker, S. R., & Koolwal, G. B. (2014). Does institutional finance matter for agriculture? Evidence using panel data from Uganda (Policy Research Working Paper No. 6942). Washington, DC: World Bank Group.

Nagarajan, G., & Meyer, R. L. (2005). Rural finance: Recent advances and emerging lessons, debates and opportunities (Reformatted version of Working Paper No. AEDEWP-0041-05). Columbus: Department of Agricultural, Environmental, and Development Economics, The Ohio State University.

Nadya Pratiwi: Sepiring Nasi Organik Untuk Menyelamatkan Bumi | Sabda Bumi Episode 13

 

Apa hubungan beras yang kita makan dengan kerusakan lingkungan? Dan mengapa kesadaran akan pangan yang kita konsumsi itu dapat menyelamatkan kita dari krisis iklim? Di episode kali ini, kita bertemu dengan Nadya Pratiwi, founder dari Nasi Peda Pelangi. Sebuah warung yang juga menjadi oase di tengah SCBD, di mana secara konsisten menyuarakan akan pentingnya kesadaran pangan dan juga gagasan pentingnya beras tanpa kimia melalui gerakan Beras Baik Movement. Kita akan membicarakan konsep regenerasi tanah dari beras organik dan juga dampaknya secara holistik terhadap Bumi dan generasi yang akan datang.

Memperkenalkan, Sabda Bumi. Sebuah seri podcast, dibawakan oleh Kiki Nasution, yang menelusuri beragam perspektif untuk memaknai kembali akar dan hubungan manusia dengan alam secara utuh, di era krisis iklim.

Hosted by Kiki Nasution https://www.instagram.com/kikitube/

Buku “A World Without Agriculture: The Structural Transformation in Historical Perspective” karya C. Peter Timmer – Sebuah Diskursus Pembangunan Pertanian

 


Pak Trisna Insan Noor di mata kuliah Pembangunan Pertanian menyarankan kepada saya dan teman-teman Magister Ekonomi Pertanian Faperta UNPAD untuk mengkaji satu buku tentang “Development Without Agriculture atau “Pembangunan Tanpa Pertanian”. Hal ini menjadi topik yang menarik dalam diskursus mata kuliah Pembangunan Pertanian terutama yang berkaitan dengan Transformasi Struktural Perekonomian dari Sektor Pertanian atau Subsisten ke Sektor Industri dan Jasa atau Kapitalis. Dan buku tersebut berjudul “A World Without Agriculture: The Structural Transformation in Historical Perspective” karya C. Peter Timmer yang terbit pada tahun 2009.  Berikut saya sampaikan bagian kesimpulan buku yang sudah ditranslate ke Bahasa Indonesia sehingga bisa menjadi diskursus bagi mahasiswa dan akademisi yang mengkaji Pembangunan Pertanian. Selamat menyimak!

 

Kesimpulan Pengamatan

Ada tiga poin dasar. Pertama, transformasi struktural telah menjadi jalan utama keluar dari kemiskinan bagi semua masyarakat, dan hal ini bergantung pada peningkatan produktivitas di sektor pertanian dan non-pertanian (keduanya saling berkaitan). Kedua, proses transformasi struktural memberikan tekanan besar pada masyarakat pedesaan untuk melakukan penyesuaian dan modernisasi, dan tekanan ini diwujudkan dalam respons kebijakan yang nyata dan signifikan yang mengubah harga produk pertanian. Ketiga, meskipun kepentingan relatif sektor pertanian menurun, yang mengarah ke “dunia tanpa pertanian” di masyarakat kaya, proses pertumbuhan ekonomi dan transformasi struktural memerlukan investasi besar di sektor pertanian itu sendiri. Paradoks ini telah mempersulit (dan mengaburkan) perencanaan di negara-negara berkembang, serta bagi lembaga-lembaga donor yang ingin mempercepat pertumbuhan ekonomi dan menghubungkan masyarakat miskin dengan pertumbuhan tersebut.

Proses historis transformasi struktural ini tampaknya hanya tinggal janji belaka bagi masyarakat miskin di dunia, yang sebagian besar hanya terjebak dalam mencari nafkah sehari-hari. Ada banyak hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk memberikan harapan yang lebih cepat, seperti menjaga agar makanan pokok tetap murah dan mudah diakses serta membantu menghubungkan pekerja pedesaan dengan pekerjaan di perkotaan. Mungkin hal paling berharga yang dapat dilakukan pemerintah untuk membantu masyarakat miskin dan mempercepat proses transformasi struktural adalah dengan berinvestasi pada layanan pendidikan dan kesehatan di daerah pedesaan. Namun agar inisiatif-inisiatif pengentasan kemiskinan dapat dilaksanakan dalam jangka waktu yang lama—yaitu bersifat “berkelanjutan”, sebagaimana jargon pembangunan saat ini—kebutuhan yang sangat diperlukan adalah pertumbuhan ekonomi. Terlebih lagi, perekonomian yang sedang berkembang berhasil mengintegrasikan sektor pedesaan dan perkotaan dan menstimulasi produktivitas yang lebih tinggi pada kedua sektor tersebut (investasi pada pendidikan pedesaan dan kesehatan juga membantu dalam hal ini). Dengan kata lain, keberhasilan pengentasan kemiskinan dalam jangka panjang bergantung langsung pada keberhasilan transformasi struktural.

Sebagaimana ditekankan dalam monograf ini, bahkan transformasi struktural yang sukses pun bukannya tanpa masalah bagi masyarakat miskin. Dua ciri transformasi struktural, yang dibahas pada halaman sebelumnya, memberikan perhatian khusus.

Yang pertama adalah kecenderungan historis yang kuat terhadap semakin melebarnya perbedaan pendapatan antara perekonomian pedesaan dan perkotaan pada tahap awal transformasi struktural. Bahkan negara-negara kaya pun melihat pola ini dalam perkembangannya pada abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh. Kemiskinan absolut biasanya tidak memburuk selama periode tersebut, dan di Asia Timur buktinya menunjukkan bahwa kemiskinan absolut turun dengan sangat cepat selama transformasi struktural yang cepat. Namun di negara-negara dengan pertumbuhan yang kurang pesat, atau pertumbuhan yang kurang terhubung dengan masyarakat miskin di pedesaan, prevalensi kemiskinan mengalami stagnasi atau bahkan meningkat, terutama di Afrika.

Bahkan ketika angka kemiskinan absolut turun, distribusi pendapatan yang semakin melebar menjadi tantangan bagi para pembuat kebijakan untuk mengambil tindakan korektif. Sejauh ini, bukti yang ada menunjukkan bahwa respons kebijakan yang umumnya dipicu—perlindungan pertanian dan subsidi yang meluas kepada petani—tidak hanya gagal membantu masyarakat miskin, namun sering kali memperburuk nasib mereka, karena begitu banyak masyarakat miskin yang harus membeli makanan mereka di pasar. Perekonomian pedesaan yang dinamis yang dirangsang oleh pertumbuhan produktivitas riil selalu berpihak pada masyarakat miskin dalam segala kondisi, namun perekonomian pedesaan dengan keuntungan pertanian yang dirangsang oleh perlindungan cenderung merugikan masyarakat miskin baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Ciri kedua adalah kecenderungan melebarnya kesenjangan pendapatan antara sektor pertanian dan non-pertanian pada tahap-tahap awal transformasi struktural kini meluas lebih jauh ke dalam proses pembangunan. Akibatnya, dengan kecilnya prospek untuk segera mencapai titik balik di mana produktivitas dan pendapatan pertanian dan non-pertanian mulai menyatu, banyak negara miskin yang lebih cepat beralih ke perlindungan pertanian dan subsidi pertanian dalam proses pembangunan mereka. Kecenderungan tindakan-tindakan ini merugikan masyarakat miskin semakin besar, karena jumlah masyarakat miskin di pedesaan jauh lebih banyak pada tahap-tahap awal ini.

Terlalu dini untuk mengatakan apakah pembalikan tren penurunan harga riil komoditas pertanian dalam jangka panjang – yang didorong oleh permintaan akan biofuel dan kemungkinan dampak perubahan iklim terhadap produktivitas pertanian – juga akan membalikkan pergerakan stabil pada titik balik pada transformasi struktural menuju tingkat pendapatan yang lebih tinggi. Jika demikian, dampak jangka pendek terhadap masyarakat miskin hampir pasti akan negatif, namun keuntungan riil yang lebih tinggi yang dijanjikan kepada produsen komoditas, tanpa perlindungan pertanian, dapat merangsang peningkatan produktivitas riil di daerah pedesaan, meningkatkan upah riil, dan menjadi jalan keluar dari kemiskinan di pedesaan dalam jangka panjang.

Buku “Give a Man a Fish: Reflections on the New Politics of Distribution” karya James Ferguson

 

 

Pada saat buka bersama dengan pengurus IA SITH ITB di bulan Ramadhan kemarin, saya bertemu dengan Pak Angga Dwiartama, suami Teh Anug, salah satu pengurus IA SITH ITB, sekaligus dosen saya di Rekayasa Pertanian SITH ITB dan sekarang menjadi dosen pembimbing kedua saya di Magister Ekonomi Pertanian UNPAD. Untuk tesis saya di S2, saya berencana mengambil topik mengenai bantuan hibah kartu tani Sibedas Kabupaten Bandung yang merupakan kelanjutan penelitian saya bersama Pak Angga dan Kang Fikry dengan Kang Rudi dan Bappelitbangda Kabupaten Bandung. 

Disela obrolan saat buka bersama saya berdiskusi ringan dengan Pak Angga mengenai topik tesis saya tersebut. Beliau merekomendasikan saya kepada satu buku yang menurut saya cukup menarik dan provokatif yaitu “Give a Man a Fish: Reflections on the New Politics of Distribution” karya James Ferguson. Saya baru baca sampai bagian introduction dan akan terus melanjutkan membaca tetapi sudah mendapatkan gambaran apa yang dimaksud dengan Politics of Distribution yang menjadi inti pemikiran dari penulisnya yaitu James Ferguson, seorang Antrolopog terkemuka.

Buku ini menjelaskan tentang fenomena di Afrika bagian selatan, seperti Afrika Selatan dan Namibia yang melakukan “Politik Distribusi” melalui cash transfers untuk mengurangi dan mengatasi kemiskinan dengan memberikan pensiun usia tua dan jaminan bagi anak yang diberikan tanpa kecuali tanpa memandang siapa orang tua atau keluarga yang terdekat. Bahkan di Namibia sudah terdapat usulan dan pemikiran untuk memberikan “Basic Income Grant” (BIG) dengan sejumlah uang untuk keseluruhan warga tanpa terkecuali. Cash Transfers / Bantuan Langsung Tunai yang berfokus pada jaminan perkembangan anak dan pensiunan kepada masyarakat di Afrika Selatan dilakukan sebagai upaya post-apartheid kepada masyarakat kulit hitam yang terkungkung kesempatan kerjanya oleh industri orang kulit putih sedangkan di lain pihak kondisi ekonomi terus menurun dan dideranya Afrika Selatan oleh serangan HIV yang menyebabkan banyak anak tidak punya orang tua dan keluarga. Dan menurut penulis, jaminan sosial ini berhasil mengeluarkan Afrika Selatan dari jurang kemiskinan ekstrim karena masyarakat terbantu dan memiliki opsi untuk berdaya kembali bagi keluarganya. 

Fenomena kebijakan ini meluas ke bagian selatan Afrika yang lain. Bahkan menurut penulis fenomena ini sudah terjadi di berbagai dunia negara berkembang atau “the Global South”. Seperti di Indonesia kita mengenal ada BLT atau bansos yang dimulai zaman Presiden SBY hingga sekarang. Meskipun banyak opini kontra tentang pemberian “Cash Transfers” kepada masyarakat ini, seperti rawan menimbulkan ketergantungan masyarakat juga membuat masyarakat menjadi malas serta menimbulkan korupsi besar-besaran, penulis buku ini berpendapat bahwa “Politics of Distribution” ini bisa menjadi solusi dan pemikiran baru untuk mewujudkan “Welfare State” atau Negara Berkemakmuran, sebagai gabungan antara pemikiran neoliberalisme, sosialis, dan kiri/marxisme apabila dilakukan dengan tepat dan sesuai porsinya.

Berikut saya lampirkan resensi buku dari ChatGPT dan link untuk mendownload buku lengkap dari website penerbit resmi nya.

Link Download ebook:

https://read.dukeupress.edu/books/book/165/Give-a-Man-a-FishReflections-on-the-New-Politics

Bisa juga via Google Play Book ya.

 

Resensi Buku “Give a Man a Fish: Reflections on the New Politics of Distribution” karya James Ferguson oleh ChatGPT

 

Judul: Give a Man a Fish: Reflections on the New Politics of Distribution
Penulis: James Ferguson
Penerbit: Duke University Press
Tahun Terbit: 2015
Jumlah Halaman: 280

 

Pendahuluan

“Give a Man a Fish: Reflections on the New Politics of Distribution” karya James Ferguson merupakan sebuah karya akademis yang mendalam dan provokatif yang mengkaji ulang konsep tradisional tentang pembangunan ekonomi di Afrika. Ferguson, seorang antropolog terkemuka, mengarahkan pandangannya pada transformasi fundamental dalam cara distribusi sumber daya dilakukan, terutama di negara-negara Afrika bagian selatan. Buku ini menawarkan wawasan baru tentang politik distribusi dan dampaknya terhadap masyarakat miskin.

Sinopsis

Buku ini terdiri dari beberapa bab yang mengulas berbagai aspek dari kebijakan distribusi dan bantuan langsung. Ferguson menekankan pergeseran dari pendekatan pembangunan berbasis pekerjaan dan produktivitas ke arah distribusi langsung uang tunai dan sumber daya kepada masyarakat miskin. Dia berargumen bahwa pendekatan tradisional, yang sering kali menekankan pentingnya pekerjaan dan produksi, tidak lagi relevan atau efektif dalam konteks modern.

Isi dan Analisis

1. Perubahan dalam Kebijakan Distribusi

Ferguson memulai dengan menggambarkan perubahan besar dalam cara bantuan dan distribusi dilakukan di Afrika. Dengan contoh-contoh dari Afrika Selatan, Namibia, dan negara-negara lainnya, ia menunjukkan bagaimana pemerintah dan organisasi internasional semakin bergerak menuju model distribusi tunai langsung. Pendekatan ini, menurut Ferguson, menantang paradigma lama yang menyatakan bahwa bantuan harus diberikan melalui skema pekerjaan atau proyek pembangunan.

2. Kritik terhadap Pendekatan Tradisional

Salah satu poin utama yang diangkat Ferguson adalah kritik terhadap pendekatan tradisional pembangunan yang berfokus pada penciptaan pekerjaan. Dia berpendapat bahwa dalam banyak kasus, pendekatan ini tidak hanya tidak efektif tetapi juga memperkuat ketidaksetaraan. Ferguson menggunakan data empiris untuk menunjukkan bahwa distribusi langsung uang tunai sering kali lebih efisien dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin.

3. Implikasi Sosial dan Ekonomi

Ferguson mengkaji implikasi sosial dan ekonomi dari kebijakan distribusi baru ini. Dia menyoroti bagaimana program seperti Basic Income Grant di Namibia dan sistem tunjangan sosial di Afrika Selatan telah mengubah dinamika sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Ferguson berpendapat bahwa distribusi tunai langsung memiliki potensi untuk memberdayakan masyarakat miskin dan memberi mereka kendali lebih besar atas kehidupan mereka sendiri.

4. Tantangan dan Kritik

Ferguson juga tidak menghindar dari membahas tantangan dan kritik terhadap model distribusi tunai. Dia mengakui bahwa ada risiko ketergantungan dan potensi
penyalahgunaan dana. Namun, dia berargumen bahwa dengan pengelolaan yang tepat dan kebijakan yang bijaksana, manfaat dari distribusi tunai langsung jauh lebih besar daripada kerugiannya.

5. Perspektif Masa Depan

Di bagian akhir buku, Ferguson mengajak pembaca untuk mempertimbangkan masa depan kebijakan distribusi global. Dia menyarankan bahwa model distribusi tunai langsung dapat diadopsi secara lebih luas, tidak hanya di Afrika tetapi juga di negara-negara lain dengan tingkat kemiskinan tinggi. Ferguson mengimpikan sebuah dunia di mana setiap orang memiliki akses yang adil terhadap sumber daya dasar untuk hidup layak.

Kesimpulan

“Give a Man a Fish” adalah buku yang sangat penting bagi siapa saja yang tertarik pada isu-isu pembangunan, kebijakan sosial, dan ekonomi politik. Ferguson berhasil mengajak pembaca untuk berpikir ulang tentang asumsi dasar yang sering kali tidak dipertanyakan dalam diskusi pembangunan. Buku ini menawarkan argumen yang kuat dan didukung dengan data empiris, membuatnya menjadi bacaan wajib bagi akademisi, pembuat kebijakan, dan aktivis.

Dengan analisis yang tajam dan wawasan yang mendalam, Ferguson tidak hanya menawarkan kritik terhadap kebijakan lama tetapi juga memberikan peta jalan menuju pendekatan baru yang lebih inklusif dan berkelanjutan. “Give a Man a Fish” mengajarkan kita bahwa dalam era modern ini, memberikan “ikan” dalam bentuk bantuan langsung mungkin merupakan langkah pertama menuju pemberdayaan yang sesungguhnya.

Selamat Hari Buku Nasional – 17 Mei 2024

 


Selamat Hari Buku Nasional ya, 17 Mei 2024. Hanya cukup melalui satu buku agar kamu jatuh cinta dengan membaca, temukan buku itu dan selamat menjelajahi pemikiran tanpa batas!

Satu buku yang membuat saya jatuh cinta pada buku tebal dan membaca adalah Novel “The Kite Runner” karya Khaled Hosseini. Buku ini cukup berkesan karena saya dapatkan secara gratis dari hadiah pidato dalam peringatan Isra Miraj sewaktu SMA di SMAN 24 Bandung. Rasa keingintahuan saya untuk mempelajari kehidupan dan apa itu arti hidup saya temukan dalam karya sastra fiksi yang menggugah. Setelah saya bertemu novel ini di mid-2011-an bacaan saya terus berkembang. Semenjak itu saya selalu rutin berkunjung ke Gramedia Merdeka untuk membeli novel atau buku lain saat punya uang lebih. Tak lupa kebiasaan membaca koran Harian Umum Pikiran Rakyat @pikiranrakyat yang turun dari orang tua mengasah kemampuan daya kritis saya dalam membaca. Jadi temukan sweet spot mu, dan selamat jatuh cinta pada buku 🙂