Gerhana
oleh Ahmad Sarwat.
Kali kedua turun ayat dari langit, Allah SWT menyapa Nabi SAW sebagai orang yang berkemul (يا أيها مدثر) dan berselimut (يا أيها المزمل).
Kenapa disapa sebagai orang yang berkemul dan berselimut?
Ternyata ada kaitannya dengan kejadian saat turun wahyu sebelumnya, yaitu Nabi SAW ketakutan pulang dari Gua Hira dan minta diselimuti dan dikemuli. Itu adalah ekspresi dari rasa takut yang mengguncang pikiran Nabi SAW saat itu.
Wajar bila NAbi SAW merasa ketakutan, soalnya seumur-umur belum pernah melihat sosok ghaib malaikat Jibril. Tiba-tiba di tengah malam itu Jibril muncul begitu saja di puncak Jabar Nur, tempat Nabi SAW selama ini ber-tahannuts.
Ketika turun dari Jabal Nur itu sekali lagi Nabi SAW sempat melihat sekilas penampakan Jibril yang memenuhi langit Mekkah. Itu jelas bukan pemandangan yang biasa terlihat dan buat seorang manusia, wajar kalau merasa ketakutan.
Sebagai seorang utusan Allah dalam wujud manusia, ternyata sosok Beliau SAW tetap seutuhnya manusia normal, yang bisa punya perasaan macam-macam termasuk juga rasa takut.
Walaupun lama kelamaan karena sudah terbiasa, Nabi SAW sudah tidak takut lagi bila melihat Jibril mendatanginya dengan membawa wahyu dari langit.
* * *
Nabi SAW juga pernah merasa takut ketika melintas wilayah yang dulunya pernah dihuni oleh umat terdahulu. Pasalnya umat itu dahulu dibinasakan Allah SWT dengan berbagai macam fenomena alam.
Sangat manusiawi kalau Nabi SAW mengajak para shahabat untuk segera meninggalkan tempat itu dan tidak perlu berlama-lama di area bekas bencana. Sebuah kekhawatiran yang juga manusiawi sekali.
Al-Quran sendiri banyak sekali bercerita tentang bagaimana umat terdahulu dibinasakan. Ada yang ditenggelamkan di lautan, atau diguncang gempa dahsyat, angin ribut, bahkan ada juga yang sekampung dikutuk jadi monyet semua selama 3 hari, lalu dimatikan semuanya serentak.
Wajar kalau Nabi SAW merasa takut dan khawatir kalau umatnya bahkan dirinya juga dibinasakan sebagaimana umat terdahulu dengan berbagai macam fenomena alam yang unik.
وَكَمْ مِنْ قَرْيَةٍ أَهْلَكْنَاهَا فَجَاءَهَا بَأْسُنَا بَيَاتًا أَوْ هُمْ قَائِلُونَ
Betapa banyaknya negeri yang telah Kami binasakan, maka datanglah siksaan Kami (menimpa penduduknya) di waktu mereka berada di malam hari, atau di waktu mereka beristirahat di tengah hari. (QS. Al-Araf : 4)
Maka wajar juga kalau Nabi SAW sampai meminta para shahabat menggabungkan shalat Isya’ ke shalat Maghrib, ketika Madinah ditimpa hujan lebat yang amat dahsyat. Saat itu memang sudah malam, gelap, kondisi tanah juga becek berlumpur. Suasananya sedemikian mencekam.
Maklum saja Nabi SAW sebagai orang Arab merasa takut melihat hujan selebat itu. Sebab jumlah curah hujan di Madinah yang biasa terbilang sangat rendah, tiba bagai ditumpahkan air dari langit.
Beda jauh dengan orang kita yang terbiasa dengan hujan dahsyat, petir, kilat, guruh, geluduk hingga gledek. Bukan hal yang aneh buat bangsa kita mengalami hujan dari pagi sampai sore sampai pagi lagi. Rumah kebanjiran pun sudah biasa dan dianggap langganan.
Lihat saja anak-anak di negeri kita, turun hujan segede itu malah pada mandi hujan. Sementara orang Arab lihat hujan pada ketakutan. Dan karena Nabi SAW adalah orang Arab, wajar kalau rada takut dengan hujan selebat itu.
* * *
Maka wajar juga ketika melihat fenomena aneh seperti menghilangnya matahari tiba-tiba di tengah hari (gerhana matahari) atau menghilangnya bulan tiba-tiba di malam hari (gerhana bulan), Beliau SAW rada ketakutan juga.
Maka Beliau SAW mengajak para shahabat untuk berdoa secara khusus dan mengerjakan shalat khusus yang kemudian dikenal sebagai shalat gerhana.
Padahal buat kita di zaman modern ini, gerhana sudah dianggap fenomena alam biasa, tidak ada rasa takut sedikit pun dengan gerhana. Tidak ada lagi yang pukul-pukul kentongan atau sembunyi di kolong ranjang.
Matahari dan bulan saat gerhana terjadi tidak kemana-mana, tidak ada Buto Ijo yang memakannya.
Namun meski tidak ada yang perlu ditakutkan atau dicemaskan dari gerhana, namun syariat shalat gerhana tetap masih berlaku.
Boleh jadi awal disyariatkannya shalat gerhana ada unsur rasa takut juga. namun kesunnahan shalatnya tetap masih berlaku sepanjang masa, walaupun kita sama sekali tidak merasa takut sedikit pun dengan gerhana.
[]