Meninggalkan Shalat Dengan Alasan Jama’ dan Qadha’

Posted by Derry Adrian Saleh on January 24, 2023 in Ahmad Sarwat, Fiqih |

oleh Ahmad Sarwat.

Jama’ dan Qadha’ adalah bagian dari fiqih shalat yang seringkali disalah-gunakan, baik karena salah paham atau pun karena salah guru dan salah ilmu.

Generasi yang malas shalat ditandai dengan berbinar-binar matanya ketika tahu bahwa shalat itu boleh dijama’ karena macet atau kesibukan.

Dan entah bagaimana, kok ya ketemu saja ayat yang digunakan sebagai bahan argumentasi. Salah satunya ayat berikut ini :
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. Al-Baqarah : 185)

Padahal ayat ini sedang membicarakan bolehnya orang sakit dan musafir tidak puasa Ramadhan. Namun sayang sekali ayat suci ini diplintir sedemikian rupa sehingga jadi ironi yang amat memilukan.

Bayangkan kalau sampai ada pemikiran bahwa macet, rapat, meeting, resepsi pernikahan, pemutaran film di bioskop hinga demontrasi di jalanan itu bisa-bisanya sampai menggeser kewajiban shalat hingga habis waktunya.

Bilangnya bahwa Allah SWT itu menginginkan kemudahan dan tidak ingin kesukaran. Nah, kaidah inilah yang kemudian dijadikan cek kosong kemana-mana untuk meninggalkan shalat lima waktu.

Kalau sekedar menggeser waktunya tapi masih dalam waktu shalat, pastinya masih masuk akal dan sah-sah saja. Itu yang namanya toleransi dan sejak awal waktu shalat lima waktu tidak sesempit itu waktunya. Maghrib pun masih punya space 1 jam lah. Kalau hanya muncur waktunya tapi dalam batasannya, konsekuensinya pahala sedikit terdegradasi, tapi masih oke dan dibenarkan.

Tapi kalau menggeser waktu shalat sampai habis waktunya dan sudah masuk waktu shalat lainnya, jelas ini bentuk nyata dari meninggalkan shalat (tarkus-shalah).

Walaupun alasannya bisa diganti dengan jama’ atau qadha’. Tapi yang jelas jama’ dan qashar tidak disyariatkan untuk dijadikan alasan tidak shalat. Karena baik jama’ atau pun qashar itu ada ketentuannya masing-masing.

Tidak ada satu pun hadits yang shahih dan spesifik yang menyebutkan bahwa Nabi SAW menjama’ atau mengqadha’ shalat hanya karena hal-hal sepele seperti itu.

Benar sekali Nabi SAW kadang menunda waktu shalat, misalnya ketika siang terlalu panas, maka zhuhur dikerjakan setelah matahari agak condong ke barat.

Benar bahwa nabi SAW menunda shalat Maghrib karena lebih mendahulukan berbuka puasa, tapi tetap dikerjakan sebelum habis waktu Isya’.

Benar bahwa Nabi SAW jamaah Isya’ karena yang hadir belum lengkap, tapi tetap dikerjakan dalam waktu Isya’ dan tidak sampai keluar dari waktunya.

Yang jadi masalah di tengah umat Islam hari ini, shalat fardhu itu dengan enaknya bisa ditinggalkan begitu saja sampai keluar dari waktunya, lalu dengan seenaknya bilang bahwa shalat itu dijama’ atau diqadha’.

Padahal dalam mazhab Asy-Syafi’i, tidak ada nash yang tegas bahwa Nabi SAW menjama’ shalat kecuali karena safar atau haji. Selebihnya, karena sakit, karena hajat, karena hujan, karena ini dan itu adalah alasan-alasan yang bersifat asumsi, penafsiran atau pun perkiraan-perkiraan saja.

Padahal Al-Quran dengan tegas menyatakan bahwa shalat lima waktu itu sudah ada ketentuan waktunya.
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa : 103)

Shalat Menghormati Waktu dan Qadha’-nya

Demikian juga dengan qadha’ shalat, tidak boleh kita main tinggal shalat lima waktu dengan alasan-alasan sepele, lantas berasumsi toh nanti bisa diqadha’.

Sikap seperti itu tidak ada bedanya dengan meninggalkan shalat dengan sengaja.
Macet di jalan adalah contoh paling sederhana, bayangkan jam pulang kantor kita terjebak macet. Alih-alih minggir cari masjid atau mushalla, kebanyakan kita tetap setia dengan kemacetan. Alasannya amat berkelas : Nanti kan bisa diqadha’ di rumah.

Santai banget bikin alasannya, kan nanti bisa diqadha’. Dan kayak itu sudah merasa diri paling pinter agama. Dikasih tahu kesalahannya tidak terima. Sebab sejak awal sudah salah guru. Makanya jadi salah paham. Dan akhirnya jadi salah jalan.

Kalau pun kita terjebak macet yang tidak terduga dan kita tidak bisa turun untuk shalat, maka tetap wajib mengerjakan shalat li hurmatil wakti (الصلاة لحرمة الوقت).
Dan saya termasuk orang tidak percaya bahwa kemacetan itu bikin kita tidak bisa turun cari tempat shalat. Yang bikin kita tidak bisa turun itu bukan kemacetan kendaraan, tapi kemacetan keimanan kita kepada Allah dan kemacetan pemahaman kita terhadap kewajiba shalat lima waktu.

Macet kok dijadilan alasan mengqadha’ shalat?
Kan bisa turun, bisa minggir, bisa cari masjid, bisa masuk mal, bisa shalat di pom bensin, numpang shalat di warung makan, kalau perlu masuk ke parkiran gedung apa saja dan numpang maghriban dulu. Apa susahnya?

N.B :
Shalat lima waktu itu tidak harus di awal waktu, tidak harus berjamaah, tidak harus di masjid, tidak harus di shaf pertama. Semua itu keutamaan saja.
Yang penting shalat lima waktu itu dikerjakan sebelum habis waktunya. Pahalanya kecil sih, tapi minimal tidak ketiban dosa berlipat ganda.

[]

Copyright © 2008-2024 Derry Adrian Saleh All rights reserved.
This site is using the Desk Mess Mirrored theme, v2.5, from BuyNowShop.com.