Al-Quran dan Bahasa Arab
oleh Ahmad Sarwat
Dulu sekali saya pernah punya pandangan yang simple dan terlalu menggampangkan terhadap Al-Quran. Saya berpikir saat itu, asalkan sudah menguasai bahasa Arab, otomatis sudah paham dan bisa menjalankan perintah Allah SWT dalam Al-Quran.
Makanya saya semangat sekali belajar bahasa Arab. Walaupun nyaris tidak pernah benar-benar menguasai. Hanya berhenti sampai obsesi tapi tidak pernah sampai implementasi.
Sampai akhirnya saya masuk pendidikan bahasa Arab yang resmi dan serius, yaitu kuliah di kelas persiapan bahasa (i’dad lughawi) program intensif di LIPIA.
Yang bikin beda bukan buku pelajarannya, tapi pengajarnya yang benar-benar orang Arab sungguhan. Mereka didatangkan langsung dari Mesir, Sudan dan Saudi sendiri. Tidak bisa bahasa Indonesia dan hanya bisa bahasa Arab.
Kelebihan lainnya karena belajarnya serius, setiap hari, dari Senin sampai Jumat, mulai jam 07.00 sampai beduk Zhuhur jam 12.00. Dan belajarnya sampai dua tahun atau 4 semester.
Itu berarti saya kudu berhenti kuliah di perguruan tinggi yang sudah sempat sampai semester 3. Sayang sih sebenarnya, tapi demi bisa menguasai bahasa Arab, apa pun harus dikorbankan.
Dua tahun kemudian, ternyata saya masih merasa belum sepenuhnya menguasai bahasa Arab. Masih ada program Takmili 2 semester alias satu tahun lamanya. Total jenderal,belajar bahasa Arab secara ngotot butuh waktu 3 tahun, langsung dengan orang Arab.
Apakah saya sudah bisa bahasa Arab?
Ya dan tidak. Dibilang ya karena kalau untuk komunikasi sederhana, lumayan rada paham.
Tapi apakah sudah bisa paham Al-Quran?
Nah, ini dia masalahnya. Dikirain bahasa Al-Quran itu bahasa Arab populer dan sederhana gitu. Ternyata eh ternyata, orang Arab beneran pun termehek-mehek dalam memahami Al-Quran.
Para dosen saya itu rata-rata orang Arab asli original fresh from the oven. Sejak kecil tinggal di Arab, tiap hari menggunakan bahasa Arab, bahkan lahir dari keturunan nenek moyang bangsa Arab.
Tapi mereka ternyata tidak lantas otomatis paham isi kandungan Al-Quran. Kok gitu ya?
Disitu saya baru paham, ternyata meski Al-Quran itu berbahasa Arab, namun gaya bahasa yang digunakan Al-Quran itu ternyata sangat tinggi. Banyak sekali ungkapan yang bersifat majaz dan perumpamaan.
Satu lagi, ternyata bahasa Arab mengalami proses perkembangan dari masa ke masa. Sebutlah lafazh kitab (كتاب) yang sekarang bermakna buku, ternyata di masa turunnya Al-Quran maknanya bukan buku.
Jadi salahnya sangat parah kalau ketemu kata kitab dalam Al-Quran, terus kita terjemahkan seenaknya sebagai buku. Bukan hanya salah tapi juga sesat.
Maka Al-Quran itu tidak bisa seenaknya dipahami oleh mereka yang sekedar menguasai bahasa Arab. Masalahnya bukan sekedar bahasa, tapi istilah-istilah dalam Al-Quran memang punya makna dan pengertian yang khusus.
Makanya, meski saya sudah 7 tahun kuliah dalam bahasa Arab 100 persen, begitu baca buku fisika, kimia dan kedokteran yang berbahasa Arab, langsung jadi bego lagi.
Tidak usah sampai kesana, anak lulusan LIPIA itu kalau disuruh nonton berita dunia di TV AlJazeera Arabic, pasti nggak paham. Soalnya memang tidak paham topik yang dibicarakan.
Padahal penyiarnya berbahasa Arab, tapi karena topiknya beda, tetap saja tidak nyambung.
Padahal lulusan LIPIA itu umumnya jebolan pesantren yang sudah casciscus ngomong Arab sejak sebelum masuk LIPIA.
Ternyata meski bahasanya sama-sama Arab, tapi kalau topiknya beda, tetap tidak paham.
Maka untuk bisa memahami Al-Quran, kunci utamanya bukan bahasa Arab, tapi Ilmu Al-Quran dan Tafsir. Bahasa Arab bukan tidak berguna, tapi sifatnya akan lebih memudahkan dalam mengulik berbagai literatur yang kebanyakan berbahasa Arab.
[]