Tidak Ada Contoh Dari Nabi?
oleh Ahmad Sarwat.
Selama ini kita rada linglung dengan ungkapan bahwa ibadah itu harus didasari contoh dari Nabi SAW. Kalau tidak ada contohnya maka hukumnya tidak boleh dikerjakan, atau bid’ah dan sesat.
Padahal kalau kita perhatikan dalam prakteknya, kaidah bahwa semua ibadah itu harus ada contoh dari Nabi SAW tidak selalu tepat. Buktinya kita sering melakukan jenis ibadah yang justru Nabi SAW tidak pernah melakukannya.
Sebutlah di bulan Ramadhan kita sering bikin aneka kegiatan ini dan itu, padahal sama sekali Nabi SAW tidak pernah mengerjakannya, bahkan menganjurkannya pun juga tidak pernah.
Kalau kita urutkan, sebulan sebelum Ramadhan, kita sibuk bikin kegiatan tarhib Ramadhan. Coba jujur saja, pernah Nabi SAW memberi isyarat khusus agar umatnya setiap sebulan menjelang Ramadhan bikin acara khusus untuk menyambut bulan suci Ramadhan?
Jelas tidak pernah. Berarti bid’ah dong? Kan tidak ada contohnya? Seharusnya semua yang ikutan bikin acara tarhib Ramadhan masuk neraka dong? Kan bikin-bikin ibadah yang tidak ada contohnya?
Malam hari bikin acara tarawih berjamaah di masjid-masjid, kadang diselipkan juga dengan ceramah. Padahal Nabi SAW tidak pernah mengadakan shalat tarawih berjamaah di masa itu, kecuali hanya tiga kali saja.
Jadi kalau pun kita mau bikin acara tarawih berjamaah, maksimal hanya 3 kali saja yang ada contohnya dari Nabi SAW. Kalau tiap malam tentu saja jelas-jelas tidak ada contohnya.
Kalau kita masih setia dengan kaidah bahwa ibadah itu harus ada contoh dari Nabi SAW, maka mereka yang pada tarawih full selama bulan Ramadan seharusnya dilarang, setidaknya didakwahi untuk segera menghentikan tarawih berjamaah. Kan tidak ada contohnya dari Nabi SAW?
Ribut-ribut jumlah rakaat tarawih pun tidak pernah ada di masa kenabian. Ngapain kita ribut kalau tarawihnya pun tidak ada di masa kenabian?
Bagaimana dengan acara buka bersama? Pernah kah Nabi SAW mengadakan acara buk-ber mengundang para shahabat di rumahnya?
Kalau pun ada, hanya sekedar anjuran memberi makan orang berbuka, tapi bukan bikin acara buka bersama. Apalagi pakai dikaitkan dengan pengajian dan ceramah, jelas itu tidak ada contoh dari Nabi.
Kalau Nabi SAW melaksanakan i’tikaf 10 hari terakhir Ramadhan di masjid itu memang benar, tapi prakteknya di kita tidak pernah sesuai. Sebab biasanya i’tikaf kita cuma sekedar numpang begadang di masjid di malam hari. Sedangkan usai shubuh atau setelah kuliah dhuha, jamaahnya pada bubar pulang ke rumah masing-masing.
Dan yang sudah pasti amat sangat bertentangan adalah praktek zakat fitrah. Nabi SAW tidak pernah bayar zakat pakai uang, bahkan juga tidak pakai beras. Zakat Beliau SAW itu kalau bukan gandum bisa juga kurma. Seingat saya kita belum pernah bayar zakat fitrah pakai gandum apalagi kurma.
Masuk Idul Fithri, shalat yang kita lakukan pun tidak ada yang seperti dilakukan oleh Nabi SAW dan para shahabat. Mereka tidak melakukan di masjid, apalagi di halaman masjid, di jalanan, atau di lapangan bola.
Shalat Idul Adha dilakukan di ‘mushalla’ yang wujudnya di masa itu adalah gurun pasir. Seingat saya bahkan di Mekkah dan Madinah pun hari ini tidak ada yang mengerjakan shalat Idul Fithri di padang pasir. Mereka malah mengerjakan di dalam Masjjid Al-Haram dan di dalam Masjid Nabawi.
Kira-kira apakah penduduk Mekkah dan Madinah hari ini sudah tidak lagi ikut sunnah Nabi SAW?
Dan belum pernah seumur-umur Nabi SAW pulang kampung pas Lebaran, apalagi bagi-bagi angpau, open house, serta mengadakan acara khusus yang disebut : Halal bi Halal.
So, kira-kira apakah kita ini masuk neraka semua karena tidak menjalankan ibadah sesuai dengan contoh dari Nabi SAW?
Silahkan dipikir pelan-pelan sambil seruput teh panas manis dan rebusan singkong bertabur kelapa.
[]