Bagi Waris Tidak Selalu Jual Rumah
oleh Ahmad Sarwat.
Salah satu kerancuan yang selalu saja bikin puyeng kebanyakan kita adalah mengidentikkan bagi waris dengan jual rumah. Ini sebuah kesalahan berpikir yang cukup fatal, namun selalu terjadi lagi berulang-ulang di tengah masyarakat.
Padahal bagi waris itu proses yang teramat sederhana, yaitu sekedar pergantian status kepemilikan dari orang yang tadinya hidup, kemudian dia wafat, lalu para ahli warisnya lantas menjadi pemilik baru.
Hanya itu saja sebenarnya prinsip dasar pembagian waris. Tidak ada sampai urusan jual-jual rumah segala. Sama sekali tidak ada hubungannya antara bagi waris dan jual rumah. Bagaikan langit dan sumur dan tidak nyambung.
Tetapi karena selalu saja dihubung-hubungkan, akhirnya urusan bagi waris jadi njelimet dan nggak kelar-kelar urusannya. Bahkan sampai ke level pecah keluarga dan berkecamuk perang Badar Kubro antara anggota keluarga.
Nauzdu billah min tilka.
Padahal bagi waris itu cuma urusan sepele, seupil, dan remeh banget.
Misalnya nih, bapak wafat meninggalkan istri dan tiga anak laki. Hartanya berupa rumah miliknya.
Itu kan gampang banget dalam urusan bagi warisnya. Cuma ganti kepemilikan doang, dari yang tadinya pemiliknya satu orang yaitu si bapak, menjadi pemiliknya 4 orang yaitu istri dan 3 anaknya.
Dalam ilmu waris, istri dapat hak kepemilikan senilai 1/8 dari rumah itu. Sedangkan 3 anak laki-laki mendapat sisanya yaitu 7/8 untuk bertiga. Jadi begitu jenazah si bapak dikuburkan siangnya, malamnya mereka bisa langsung akad bagi waris saat itu juga.
Dalam waris itu yang jadi pokok masalah adalah status kepemilikan atas harta warisan. Ibu atau istri ditetapkan sebagai salah satu pemilik rumah dengan nilai saham 1/8 atau 12,5 %. Sisanya yang 7/8 atau 87,5% dimiliki bertiga oleh 3 anak laki-laki dengan porsi sama besar.
Tuliskan di atas kertas kesepakatan pembagian waris itu dan masing-masing tanda-tangan dan selesai.
Terus kapan bagi-bagi uang warisan?
Ya, nggak ada. Kan almarhum wafat tidak meninggalkan uang. Beliau meninggalkan rumah. Maka yang dibagi waris adalah hak kepemilikan rumah, bukan uang.
Nanti para pemilik rumah yang baru bisa saja bikin kesepakatan di antara mereka, apakah rumah itu mau dijual, atau ditempati, atau salah satu menjual kepada yang lain, prinsipnya simpel yaitu :
Allahumma Turja. (Ya Allah, atur aja!).
Mungkin para owner sepakat rumah itu mau dijadikan moseum, atau rumah singgah atau kepemilikannya diserahkan kepada Allah SWT, bisa juga.
Diserahkan kepada Allah? Maksudnya?
Diwakafkan secara khusus, dimana yang berhak untuk memanfaatkannya hanya blood-line saja. Allahumma Turja.
Pokoknya semua itu sama sekali sudah bukan bab waris, tapi menjadi urusan para komisaris alias pemilik rumah.
Mau dibakar dan dirobohkan (demolish) saja juga bisa. Yang penting semua atas atas kehendak pemilik rumah.
So nggak harus dijual kan?
[]