Fiqih Klasik vs Fiqih Modern
oleh Ahmad Sarwat.
Mengaji pakai kitab kuning itu ada positif negatifnya. Positifnya tentu terkait dengan originalitas dan keaslian ilmu fiqih. Sebab yang kita bedah itu kitab karya para fuqaha di masing-masing zamannya.
Ibarat kita belajar fisika, yang kita baca langsung buku karya Newton, Einstain dan Stephen Hawking. Keren banget lah pokoknya.
Namun kalau buat pemula, belajar fisika tidak mungkin langsung baca buku karya Newton, Einstain dan Hawking. Kita harus sesuaikan dengan jenjang pendidikan kita. Anak SMP tentu buku fisikanya disusun untuk anak SMP. Dan anak SMA tentu buku fisikanya disusun untuk anak SMA.
Kalau langsung baca fisika kuantum, pasti puyeng dan nggak paham-paham.
Oleh karena itulah dahulu para ulama sudah memikirkan hal-hal teknis semacam ini. Anak-anak tidak diajarkan kitab sekelas Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab karya An-Nawawi. Walaupun Imam An-Nawawi betul-betul pakar fiqih.
Mereka juga tidak disodorkan kitab Al-Umm karya Imam Asy-Syafi’i langsung, walaupun Beliau memang imam dengan level mujtahid mutlak mustaqil.
Buat anak-anak cukup diajarkan kitab yang mudah saja dulu, seperti Al-Ghayah wa At-Taqrib karya Al-Qadhi Abu Syuja’. Kalau perlu malah pakai Safinatun-Najah, yang jauh lebih ringkas lagi. Tentu maksudnya disesuaikan dengan jenjang pendidikannya. Ada kitab untuk pemula, menengah dan kelas pasca sarjana.
oOo
Namun satu hal yang juga perlu dicatat, bahwa semua nama kita tadi itu adalah produk lama. Disusun dengan melihat kondisi dan keadaan di masa para ulama itu hidup.
Yang jadi ganjalan terbesar adalah fakta bahwa antara zaman kita dengan zaman mereka terpisah timeline ratusan bahkan ribuan tahun. Dan ini bukan masalah yang sederhana.
Kitab yang paling dasar sekali misalnya kitab Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, penulisnya yaitu Al-Qadhi Abu Syuja’ Al-Ashfahani, di tahun 593 Hijriyah sudah wafat.
Namun kita saat ini hidup di tahun 1443 Hijriyah. Kalau 1443 dikurang 500 hasil 900-an tahun.Sedangkan penyusun Fathul Qarib yang jadi penjelasannya, Al-Ghazi, wafat tahun 918. Kitab fiqih yang lain misalnya Kifayatul Akhyar, ternyata Al-Hishni sang penyusunnya wafat tahun 829 Hijriyah.
Uniknya, kitab-kitab itu masih saja dicetak ulang dan diterbitkan terus menerus tidak pernah berhenti. Dan rupanya demand-nya juga tinggi. Semua pondok salafiyah pasti mengajarkan kitab-kitab fiqih di atas.
Tantangan
Yang ingin saya sampaikan bahwa kendala jarak waktu yang memisahkan zaman kita dengan zaman para ulama klasik itu bukan hal yang bisa disepelekan.
Saya sendiri merasakan betapa sulitnya mengajar pakai kitab fiqih klasik. Setidaknya ada dua tantangan utama.
Pertama, banyak kajian dan masalah yang saya rasa kurang relevan untuk disampaikan di zaman kita sekarang.
Bukan hanya tidak ada wujudnya, namun kalau diwujudkan pun terasa aneh buat ukuran kita.
Sampai sekarang saya masih gamang kalau harus menjelaskan apa perbedaan antara burr (بر), tha’am (طعام), sya’ir (شعير), hinthah (حنطة), qamh (قمح), daqiq (دقيق). Pokoknya semua kita sebut gandum, titik.
Kedua, di sisi lain terjadi sebaliknya, banyak hal kekinian yang justru sama sekali tidak tersentuh di kitab klasik.
Akibatnya, kita sebagai yang mengajar harus kewalahan kalau ada pertanyaan terkait dengan hal-hal di masa lalu. Sebab kita tidak hidup di masa lalu.
Kalau ada santri cerdas yang bertanya, buat apa kita bahas contoh-contoh yang tidak ada kenyataannya di masa sekarang, saya pun bingung juga dan cuma bisa celingukan. Dan contoh-contoh dalam fiqih klasik yang tidak relevan itu seakan mendominasi kitab fiqih klasik, khususnya kalau sudah masuk bab muamalah, jual-beli, sewa, pinjam dan seterusnya. Jangankan santri, saya saja pun tidak paham apa yang dimaksud dengan contoh-contoh itu. Alih-alih kajian fiqih, diskusinya malah berubah menjadi kajian sejarah.
Sejarah antropologi prilaku ekonomi rakyat abad pertengahan di timur tengah. Sebaliknya, pertanyaan yang terkait dengan akad-akad kekinian jelas tidak bisa kita jawab. Selain di kitab klasik tidak ada pembahasannya. Ditambah lagi kita sendiri pun juga tidak paham kayak apa wujud ekonomi mikro dan makro modern di zaman sekarang. Begitu banyak transaksi modern yang sama sekali tidak ada contohnya di masa lalu. Sehingga para ulama di masa kini pun bingung juga, mau dimasukkan ke dalam akad apa transaksi macam ini.
Sementara kajian fiqih kontemporer masih merupakan barang baru. Yang membahasnya pun tidak paham hakikat akad itu, bahkan belum pernah menjadi pelakunya. Sebaliknya, para ekonom modern yang tahu banget seluk beluk ekonomi modern, justru tidak paham dasar-dasar ilmu fiqih muamalat.
Contoh mudahnya para kiyai kita ditanya tentang bursa saham. Jelas mereka bingung, puyeng dan agak lama membolak-balik kitabnya. Dicari dan diubek-ubek di kitab fiqih klasik, jelas nggak ada. Kalau pun dipaksa-paksakan ada, sebenarnya rada maksa juga. Gimana nggak maksa, orang semuanya cuma berupa comotan-comotan qaul para ulama di masa lalu yang sifatnya hanya selintas saja. Bukan kajian utuh dari pakar yang ahli di bidang bursa saham.
Sehingga melihatnya tidak secara utuh.Lebih ke arah ‘cocokologi’ redaksi opini para fuqaha di masa lalu. Maka kalau saya baca apa yang mereka fatwakan secara terburu-buru itu, nampak kelihatan bahwa sebenarnya mereka pun kurang memahami duduk persoalan masalah. Mirip youtuber yang lagi ngejar setoran bikin konten. Bikin review suatu produk, tapi dia sendiri belum pernah pakai produk itu. Ketahuan banget bahwa bukan user produk itu.
Maka jangan komplain kalau ulasannya ngambang dan tidak fokus. Paling jauh yang dia lakukan cuma sebatas un-boxing. Lucu banget, kan. Yang dikomenin malah bungkusnya bagus. Packingnya bagus.
Terus produknya? Wah saya juga baru tumben buka nih.
Halah . . . Ndobos
[]