Tak terkenal di dunia, tapi terkenal di langit.
Siang itu sepulangnya dari sekolah, anakku dan seorang temannya dengan heboh menceritakan pengalamannya mengikuti peringatan isra mi’raj di sekolahnya.
“Om, om….. tadi rame deh di sekolah. Pencermahnya terkenal, dan memang ceramahnya bagus. Lucu…. Jadi kita ngak ngatuk mendengarkannya. Aku juga nanti ingin menjadi seorang da’i yang terkenal seperti itu……
“Begitu ya..? Lalu sebagai da’i, keterkenalan itu akan kau pergunakan untuk apa ?” jawabku menanggapi.
Kali ini, teman-anakku ini mati kutu. Ia tidak bisa menjawab. Ah kasihan juga anak itu.
Mendengar tanggapanku pada temannya, anakku sudah senyum-seyum saja. Rupanya ia sudah terbiasa dengan pancingan-pancinganku.
“Kemarilah anakku. Duduklah dekat denganku….”. Aku memanggil keduanya untuk memberikan nasehat.
“Anak-anakkku, niatmu untuk menjadi da’i yang menyebarkan kata-kata Allah kepada umat manusia adalah sesuatu yang baik. Janganlah kebaikan itu dikotori dengan niat ingin terkenal, yang bukan karena Allah. Tidak benar-benar bertujuan kepada Allah, siapa saja yang ingin terkenal.
Kalaupun engkau terkenal, maka hal itu seyogianya bukan sesuatu yang engkau kejar, melainkan akibat dari dakwahmu yang baik.
Berhati-hatilah anakku, keterkenalan seringkali melahirkan kesombongan dan riya. Dan seorang shaleh pernah berkata : “ Siapa saja yang merendah diri maka Allah akan memuliakannya, dan siapa saja yang sombong (besar kepala), maka Allah akan menghinakannya.”
Ketahuilah anak-anakku, Allah tidak hanya berkasih sayang dengan hambanya yang terkenal, tetapi Allah bahkan lebih berkasih sayang dengan hambanya yang taqwa, yang tersembuyi (tidak terkenal / al akhfiya), yang bila tidak ada – ia tidak dicari, dan bila hadir – tidak dipanggil, dan tidak terkenal. Walaupun demikian, hati mereka bagai pelita hidayah, mereka terhindar dari kegalapan dan kesukaran.
Mari, om ceritakan sebuah hadist :
Abu Hurairah ra. Berkata : Ketika kami di majelis Rasulullah saw, tiba-tiba rasulullah berkata : Besok pagi akan ada seorang ahli surga yang sembahyang bersama kamu. Abu Hurairah berkata : aku berharap semoga akulah orang yang ditunjukkan oleh Rasulullah itu.
Maka pagi-pagi aku shalat di belakang Rasulullah saw, dan tetap tinggal di majelis setelah orang-orang lain pulang. Tiba-tiba ada seorang hamba hitam berkain compang-camping datang berjabat tangan dengan Rasulullah saw sambil berkata : Ya Nabiyallah, doakan semoga aku mati syahid. Maka Rasulullah berdoa, sedang kami mencium bau kasturi dari badannya.
Kemudian aku bertanya, “Apakah orang itu, ya Rasulullah ?” Nabi menjawab, “Ya, benar. Ia hamba sahaya dari bani fulan. Abu Hurairah berkata : Mengapa ia tidak kau beli dan kau merdekakan ? Nabi menjawab, “Bagaimana aku akan dapat berbuat demikian, jika Allah telah membeli dirinya dan akan menjadikannya raja di surga. Hai Abu Hurairah, sesungguhnya di surga itu ada raja-raja dan orang-orang terkemuka, dan orang ini adalah seorang raja dan terkemuka di surga.
Hai abu Hurairah, sesungguhnya Allah berkasih sayang dengan mahluknya yang suci hati, yang samar, yang bersih, yang terurai rambut, yang kempes perut kecuali dari hasil yang halal, yang bila masuk kepada raja – ia tidak diizinkan, bila meminang wanita bangsawan – ia tidak diterima, bila ia tidak ada – ia tidak dicari, bila ia hadir – ia tidak dihiraukan, bila ia sakit – ia tidak dijenguk, bahkan bila ia mati – tidak dihadiri jenazahnya.
Kemudian sahabat bertanya, “Tunjukkan kepada kami seorang dari mereka.” Nabi menjawab, yaitu Uwais Al Qarny, seorang berkulit coklat, lebar kedua bahunya, sedang tingginya, dan selalau menundukkan kepalanya sambil membaca Al Qur’an. TIDAK TERKENAL DI BUMI, TETAPI TERKENAL DIANTARA PENGHUNI LANGIT. Andaikan ia bersungguh-sungguh meminta kepada Allah, pasti diberi-Nya. Di bawah bahu kirinya ada bekas belang sedikit. Hai Umar dan Ali, jika kamu bertemu padanya, maka mintalah kepadanya supaya membacakan istighfar untukmu.”
Nah, anak-anakku, tentunya kalian mengerti cerita di atas bukan ? Kalau sudah mengerti, kita lanjutkan.
Anakku, terdapat sebagian orang yang tidak memperdulikan pandangan orang terhadap dirinya. Apa-apa yang dilakukannya hanyalah ditujukan untuk Allah dengan sepenuh-penuh ikhlas. Mereka adalah orang-orang yang memahami benar bahwa beramal – [sekecil apapun itu] – semata-mata untuk Allah ta’ala saja. Tidak untuk yang lain. Dan mereka selalu menghiasi setiap zaman. Namun begitulah, tidak mudah menjumpai mereka, sebab … Mereka adalah orang-orang yang tersembunyi (al-akhfiya).
Orang-orang seperti mereka benar-benar tidak pandai bertingkah demi menarik simpati manusia. Tanpa bermaksud merendahkan sesama manusia, namun para manusia bagi mereka, sangat tidak pantas untuk dijadikan sumber simpati, penghargaan dan penghormatan. Itu terlalu murah dan rendah dibandingkan dengan simpati, penghargaan dan penghormatan dari Allah. Simpati yang mereka cari adalah yang bersumber dari Allah Azza wa Jalla. Karenanya mereka tidak pernah berlagak khusyu’ dan zuhud di hadapan manusia, lalu kehilangan saat berhadapan dengan Allah karenanya.
Mereka gembira bila apa-apa yang dikerjakannya tidak diketahui oleh orang, dan hanya diketahui oleh Allah, sehingga terciptalah kemesraan itu. Sebagaimana ungkapan imam Syafi’i (Ah, siapa yang tidak kenal imam yang satu ini). Dorongan keikhlasan yang kuat mendorongnya suatu ketika untuk mengataka, “Sungguh aku mengangankan andai saja manusia dapat mengetahui ilmu (yang kuajarkan) ini tanpa ada satupun yang dinisbatkan kepadaku selama-lamanya, sehingga dengan begitu aku mendapatkan pahala tanpa perlu mendapatkan pujian manusia.
Mari, anak-anakku, kita telisik lebih jauh menenai sang Al-Akhfiya ini.
Anakku, para pendaki spiritual lebih asyik dalam kesendirian dan kerahasiaannya bersama Allah, dan banyak terminologi tasawuf yang merepresentasikan dan mengindikasikan hal itu, semisal khalwat, munajat, khafi, dzikr khafi, sirr, sirrul-asrar, dan banyak istilah lainnya.
Karena ketersembunyian, ketertutupan dan kerahasiaan ini pulalah, sehingga para salik (pejalan Ilahi) sering pula disebut sebagai al-akhfiya (orang-orang tersembunyi). Setidaknya titel itulah yang disematkan oleh Walid bin Sa’id Bahkum pada orang-orang yang beribadah secara sembunyi-sembunyi. Sebagaimana yang ditulis dalam bukunya, Al-Akhfiya-al-Manhaj was-Suluk, Walid menunjuk al-akhfiya ini pada orang-orang yang mengetahui bahwa salah satu syarat diterimanya amal adalah al-ikhlas lilllah.
Dalam setiap amal yang dilakukannya, melulu diniatkan hanya untuk menggapai keridhaan Allah. Ketika mereka menyadari betul pentingnya ikhlas ini, maka mereka pun berjuang keras untuk menyembunyikan beragam amalnya itu, karena mereka sangat ingin sekali amalnya diterima, lalu seluruh getaran hati yang mengarah pada sifat riya pun mereka hindari jauh-jauh. Maka amal salih yang mereka lakukan hanya tersembunyi antara mereka dengan Allah, dan tak ada seorang pun yang mengetahuinya.
Sebagaimana yang diyakini oleh sufi kelahiran Irak, Al-Junaid rahimahullah, kaum al-akhfiya mendefinisikan ikhlas dengan: “Rahasia antara Allah dan seorang hamba yang tidak diketahui oleh malaikat sehingga mencatatnya, tidak diketahui oleh syaitan sehingga merusaknya, dan tidak bisa diendus oleh hawa nafsu sehingga memalingkannya.”
Mereka sangat tergugah sekali dengan sabda Nabi: “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, yang kaya (mencukupkan apa adanya), dan yang beribadah secara khafi (sembunyi-sembunyi)” (HR Muslim dalam Az-Zuhd).
Dalam riwayat Ahmad, Ibnu Hibban dan Baihaqi, Nabi juga bersabda: “Sebaik-baik dzikir adalah dzikir khafi (diam-diam/tersembunyi), dan sebaik-baik rezeki adalah yang memberikan kecukupan.”
Sementara dalam Shahihut-Targhib wat-Tarhib ada sebuah riwayat yang di-tahqiq oleh Al-Albani yang menyebutkan bahwa Nabi bersabda: “Sesungguhnya sedekah secara sembunyi-sembunyi itu memadamkan kemarahan Rabb (Allah) Tabaraka wa Ta’ala.”
Riwayat-riwayat semacam inilah yang mendorong kaum al-akhfiya untuk merahasiakan berbagai macam amal kebajikannya dari pandangan manusia, karena mereka takut dihinggapi sifat riya, sum’ah, dan ‘uzub (arogan). Dan ketika banyak orang yang enggan memberikan sumbangan sosial bila tidak diliput oleh media massa, maka penting sekali kita menyimak narasi kehidupan cicit Rasulullah, yaitu Ali bin Husain.
Abu Hamzah Ats-Tsumali menuturkan bahwa Ali bin Husain memanggul karung berisi roti di atas pundaknya pada malam hari, yang dibagi-bagikannya kepada orang-orang miskin dalam kegelapan. Ia juga berujar: “Sedekah pada malam yang pekat memadamkan kemurkaan Allah.” Muhammad bin Ishaq bercerita: “Penduduk Madinah bisa mengenyam penghidupan, namun mereka tidak tahu dari mana sumber penghidupan mereka itu. Begitu Ali bin Husain meninggal, serta merta penghidupan mereka pun lenyap. Rupanya, beliaulah yang membawanya pada malam hari.”
Sementara Amr bin Tsabit bertutur: “Ketika Ali bin Husain meninggal, mereka mendapati bekas di punggungnya karena memikul karung pada malam hari ke rumah-rumah para janda.”
Anjuran untuk beribadah secara sembunyi-sembunyi ini bukan hanya menyangkut sedekah, tapi juga dalam banyak ibadah lainnya, seperti shalat, puasa, menangis, berdoa, membaca Alquran, atau aktivitas keilmuan. “Saya ingin sekali manusia mengetahui ilmu ini, dan tidak menisbahkannya sedikit pun pada saya selama-lamanya” ujar Imam Syafi’i, “Agar aku diberi pahala karenanya, dan mereka tidak memuji aku.” Artinya, Imam Syafi’i menduga bahwa puji-pujian manusia terhadap dirinya itu bisa mengurangi pahala dan mencoreng sifat khifa (ketersembunyian) yang menjadi tambatan orang-orang salih.
Persoalannya adalah, apakah kita harus selalu melaksanakan seluruh amal Islam dengan cara sembunyi-sembunyi? Tentu saja tidak, karena banyak pula amal ibadah yang harus diperlihatkan pada manusia. Kalau para Salafus Salih banyak yang menyembunyikan amalnya, maka hal itu mereka lakukan karena khawatir dihinggapi sifat riya dan sum’ah. Bila kita cukup yakin bahwa dengan menampakkan amal kita, keikhlasan kita bisa terjaga, bahkan agar orang lain pun ikut mengamalkannya, mengapa tidak
Lagi pula, beribadah secara rahasia dan sembunyi-sembunyi itu adalah dalam kerangka untuk memperkaya batin dan rohani kita agar lebih kokoh dan lebih tegar, sehingga tidak terombang-ambing oleh pesona dan gemerlapnya dunia. Lebih-lebih ketika kekuatan musuh makin beringas terhadap umat Islam sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini. Perjuangan personal saja tidak cukup, melainkan harus terhimpun dalam sebuah kekuatan massal yang dapat menggentarkan lawan.
Lihatlah Nabi kita, pada awalnya Muhammad melakukan tahannuts dan berdialog dengan Allah secara rahasia dan seorang diri. Namun begitu ada perintah agar mendeklarasikan Islam dengan terang-terangan, maka Rasulullah pun menunaikannya dengan sigap. Wallahu a’lam.
Nah anak-anakku, cukuplah persoalan al-akhfiya untuk kalian hari ini. Aku doakan, semoga kalian dapat belajar dari seorang al-akhifya (orang-orang yang tersembunyi), dan menjadi salah satunya. Amin.