Mendapatkan tawadhuk di bentangan langit dini hari
Malam itu aku dikejutkan dengan tangan anakku yang mampir ke wajahku karena tidurnya yang “motah” tak mau diam. Lihat saja posisinya sudah malang melintang di tempat tidurnya. Ku lirik jam menunjukkan jam 2 malam.
Akhirnya kuputuskan untuk bertafakur di tepi jendela mushala rumahku, sambil memandang hitamnya langit payung dunia yang tak bertiang. Hanya diterangi oleh lampu-lampu kecil sang bintang. Tak pernah puas rasanya memandang langit dari balik jendela di waktu sepertiga malam seperti ini. Entah kenapa aku selalu menikmati suasana seperti ini. Mungkinkah ini kenikmatan dan kerinduan yang sama dengan yang dirasakan Rasulullah ketika menyendiri di gua Hira selama 40 hari, bisik hati saya meng-GR-kan diri. Ketakjuban melihat semesta malam membuatku sungguh-sungguh tak berdaya di hadapan Yang Kuasa.
“Abi…. Abi sedang apa bergelap ria sendirian di mushola ?” Suara itu sempat mengejutkan saya di tengah kerinduan akan Sang Kekasih. Rupanya anakku bangun karena pengen pipis!
“Kamu mau tahu, sayang ? Kemarilah nak, jika kau mau ikut bertamasya ruhani dan bertafakur bersama Abi”…… Anakku kemudian menggelendot di pangkuanku, sambil mengucek-ngucek matanya, kemudian menyenderkan kepalanya di dadaku.
“Kau lihatlah anakku, hamparan langit yang memayungi bumi di malam hari. Tidak-kah kau merasa takjub ? Lihatlah bintang gemintang berkelipan tak lelahnya menyinari malam. Lihatlah awan yang bergerak di bawah bulan, ia tahu tujuannya tanpa merasa membutuhkan sinar matahari untuk bergerak. Tidak kah engkau merasa kecil di hadapan Sang Pencipta itu semua ?”
“ Maksud Abi, tawadhuk ?” Sebentar aku terhenyak mendengar komentar anakku. Ah rupanya kosa kata dalam kamus di kepala anakku sudah bertambah.
“Ya, anakku, itu salah satunya…..”
“Tapi Abi, aku belum mengerti betul apa yang diterangkan oleh guru ngajiku mengenai tawadhuk.”
Wah, ini kesempatan emas, a golden moment untuk mengajari anakku pengertian tawadhuk. Tak perlu teori yang berbelit-belit, anakku di tengah kebeliaan hanya membutuhkan contoh. Kemudian mulailah tamasya kami ke negeri tawadhuk.
“Anakku, menurut Syaikh Abdul Qadir Jailani dalam kitabnya Futuh Al Ghayb, Tawaduk adalah perasaan rendah hati seseorang.
Ketika engkau melihat orang lain, engkau mungkin bergumam, `Barang kali dia lebih baik dan lebih tinggi posisinya daripada aku di sisi Allah.’
Ketika engkau melihat yang lebih muda, engkau berujar, ‘Dia belum bermaksiat kepada Allah, sementara aku telah bergelimang dosa. Dia lebih baik daripada aku.’
Bila bertemu dengan orang yang lebih tua, engkau berkata, Inilah hamba Allah yang lebih dahulu hidup di dunia ini sehingga lebih banyak ibadahnya dariku.’
Bila bertemu dengan orang berilmu, engkau berucap, ‘Orang ini mendapat anugerah yang tidak kudapat. Dia memperoleh apa yang tidak kuperoleh. Dia berilmu, sementara aku bodoh. Dia pun mengamalkan ilmunya.’
Jika bertemu dengan orang bodoh, engkau berkomentar, Dia bermaksiat kepada Allah karena tidak tahu, maka ampunan baginya. Sedangkan aku bermaksiat padahal aku tahu bah¬wa itu maksiat. Aku tidak tahu bagaimana hidupku berak¬hir dan tidak tahu pula bagaimana hidupnya berakhir.’
Jika seorang hamba telah seperti itu, dan semua itu keluar dari hatinya yang bening dan bersih (tidak dibuat-buat), maka dia akan selamat dari siksa Allah karena sifat tawadhuknya.
Tidak kah engkau juga akan bertawadhuk di hadapan Allah……?”
“Dengan qiyamulail (shalat malam) ya, Bi ?” tanya anakku terdengar ingin tahu.
“Jika itu expresi tawadhuk yang engkau mau, lakukanlah anakku……”
“Tapi aku mengantuk, Bi……” anakku memberikan alasan.
Ah…. mana ada setan yang rela golden moment seperti ini bergulir lancar. Pasti saja diganggunya.
“Tak apa dua raka’at juga. Setelah itu kau boleh lanjutkan tidurmu…..” ku bisikkan ke telinganya, agar setan tak mendengar strategi ku melawannya.
Anakku terlihat gembira mendengar hadiah “boleh melanjutkan tidur lagi”. Dibukannya pelukanku, dan mulailah gemericik suara air wudhu terdengar.
Setelah menamatkan dua rakaatnya, anakku meletakkan kepalanya di pangkuanku, sambil menatapku dengan mata nya yang mengantuk.
Anakku, Allah memerintahkanmu untuk tawadhuk. Lihatlah dalilnya bertebaran.
Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang – orang mukmin yang mengikutimu; (QS Asysu’ara (26): 215)
“Barangsiapa yang bersikap tawadhu’ karena mencari ridho Allah maka Allah akan meninggikan derajatnya. Ia menganggap dirinya tiada berharga, namun dalam pandangan orang lain ia sangat terhormat. Barangsiapa yang menyombongkan diri maka Allah akan menghinakannya. Ia menganggap dirinya terhormat, padahal dalam pandangan orang lain ia sangat hina, bahkan lebih hina daripada anjing dan babi; (HR. Al-Baihaqi)
Dari Iyadl bin Himar ra. Berkata Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah telah memberi wahyu kepadaku yaitu kamu sekalian hendaklah bersikap tawadhu’ (merendahkan diri) sehingga tidak ada seseorang bersikap sombong kepada yang lain, dan tidak ada seseorang menganiaya yang lain. ( HR. Muslim ).
“Syaikh ‘Abdullah Faiz ad-Daghestani berkata, “Mengapakah Nabi Muhammad SAW., menjadi seseorang yang paling terpuji dan terhormat di Hadirat Ilahi? Karena beliau-lah yang paling rendah hati di antara seluruh ciptaan (makhluq) Allah.; Beliau selalu duduk seakan bagai seorang hamba di hadapan tuan pemiliknya, dan selalu pula makan sebagai seorang hamba atau pekerja yang makan di hadapan tuan pemiliknya. Beliau tak pernah duduk di atas meja.
Karena itulah, tak seorang pun mencapai kedudukan seperti beliau di Hadirat Ilahiah, tak seorang pun dihormati dan dipuji di Hadirat Ilahiah sebanyak Penutup para Nabi, Muhammad SAW. Karena itulah, Allah SWT memberikan salam bagi beliau, dengan mengatakan: “As-Salaamu ‘Alayka Ayyuha an-Nabiyyu (“Keselamatan bagimu, wahai Nabi!);.
Allah SWT tidak mengatakan, “Keselamatan bagimu, wahai Muhammad;. Tidak!! Melainkan, “Keselamatan bagimu, Wahai Nabi!; Dan kita kini mengulangi salam dari Allah SWT. Bagi Nabi SAW., tersebut minimal sembilan kali dalam shalat-shalat harian kita, saat kita melakukan tasyahhud.
Salam Ilahiah ini tidaklah dikaruniakan bagi siapa pun yang lain. Ini adalah puncak tertinggi suatu pujian dari Tuhan segenap alam bagi Nabi-Nya. Beliau telah mencapai suatu puncak tertinggi di mana tak seorang pun dapat mencapainya, semata karena kerendahhatiannya. Karena itu pula, beliau mewakili Keagungan Allah dalam seluruh ciptaan-Nya. Ego Sang Nabi telah habis dan berserah diri kepada Allah SWT.,
Mengapa ego kita selalu saja mendominasi gerak langkah kita? Bisa jadi, karena kita membiarkan setan mengajari diri kita dengan tipu muslihatnya. Kita diajari oleh setan, bagaimana menjadi orang yang terhormat atau menjadi orang yang pertama. Dan kita juga diajari oleh setan bagaimana memiliki ego seperti egonya Fir’aun, Namrudz, Qarun dan lain sebagainya. Karena itulah, setiap orang kini ingin mewakili egonya mereka, bukan untuk mewakili sang penutup para Nabi yaitu Nabi Muhammad SAW.
Oleh karena itu, alangkah baiknya kalau kita menjadi wakil sang penutup para Nabi, bukan sebagai wakil-wakilnya setan yang menyesatkan, yang kesananya akan menjerumuskan kita kedalam azabnya Allah SWT dalam neraka-Nya. Maka, untuk menjadi orang yang mewakili sang penutup para Nabi, kita harus memiliki akhlak seperti beliau, yang salah satunya adalah tawadhu’ (rendah hati). Karena sifat ini telah diwahyukan oleh Allah SWT kepada beliau supaya orang-orang tidak bersikap sombong kepada yang lain.
Anakku mendengarkan ceritaku sambil terkantuk-kantuk. Ku usap-usap kepalanya, dan tak sampai lima menit, anakku sudah beralih ke alam mimpi. Biarlah cerita ini ku lanjutkan lain waktu. Allah hanya mengizinkanku memberikan ilmu sampai di situ. Mungkin karena akan terlalu berat untukmu, anakku.
Ah, anakku, di bawah bentangan langit dini hari ini, Allah telah mengajarimu tawadhuk.
Dari balik jendela mushola rumahku, aku berdoa kepadamu, ya Allah, agar kau ajarkan ilmu-ilmu rahasia-Mu kepada Anakku. Agar anakku dapat menjadi hamba yang engkau ridhai. Amin…..