Harun Ar-Rasyid dan Muhammad
oleh Ahmad Sarwat.
Semua orang tahu bahwa Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani adalah ulama besar, murid langsung dari Al-Imam Abu Hanifah. Kedudukan beliau adalah Qadhi dalam pemeritahan Harun Ar-Rasyid.
Sedangkan Harun Ar-Rasyid, meski dia khalifah ke sekian dalam Bani Abbasiuah, namun sebenarnya dia bukan siapa-siapa dalam bidang keilmuan agama. Boleh digolongkan dia orang awam saja sebagaimana umumnya rakyat awam. Dalam banyak hal, Harun akan banyak konsultasi dengan Muhammad, khususnya dalam masalah hukum syariah.
Namun kita semua tahu bahwa yang jadi khalifah bukan Muhammad yang lebih alim, tapi justru Harun yang ilmu agamanya biasa-biasa saja. Muhammad cuma duduk sebagai qadhi, bukan khalifah.
Padahal kalau dibandingkan dengan masa Nabi SAW dan khulafaurrasyidin, kriteria jadi khalifah justru harus yang paling alim, paling faqih dan paling mengerti ilmu-ilmu agama. Boleh dibilang harus level mujtahid.
Pertanyaannya : kenapa di masa berikutnya kok berubah? Kenapa bukan Muhammad yang jadi khalifah, bukankah beliau lebih alim, lebih faqih dan lebih mujtahid? Kenapa Harun yang biasa-biasa saja yang justru jadi khalifah?
Selain alasan politis, urf dan alur nasab keturunan, ada alasan yang juga syar’i. Karena ilmu-ilmu keislaman sudah mulai melebar, meluas dan mendalam. Ilmu butuh para pakar yang bisa berkhidmat dan konsentrasi mengembangkannya, mengajarkannya, menuliskannya dan juga membakukannya.
Itulah mengapa Muhammad kemudian lebih produktif menulis kitab, punya banyak murid yang jadi kader dan bisa dianggap sebagai muassis mazhab Hanafi.
Seandainya Muhammad yang jadi khalifah, boleh jadi mahzab Hanafi tidak akan menjadi besar dan survive melewati 14 abad berikutnya.
Maka ketika Muhammad menawarkan As-Syafi’i untuk duduk sebagaimana dirinya yaitu sebagai qadhi dan penasehat khalifah, Asy-Syafi’i keberatan. Sebab tipologi beliau ini adalah mencinta ilmu, beliau punya banyak PR peradaban yang harus diwariskan untuk abad-abad berikutnya.
Maka alih-alih jadi qadhi apalagi khalifah, Asy-Syaf’i lebih menikmati hidup sebagai ilmuwan, dosen senior, penulis kitab muktamad, mendirikan banyak madrasah fiqhiyah agar melahirkan para ulama. Sebab zaman sudah berubah, ilmu-ilmu menuntut adanya para khadim yang mengabdikan dirinya untuk ilmu.
Ilmu itu abadi dan mengabadikan para pengabdinya sepanjang zaman. Sedangkan kekuasaan itu hanya permainan. Hari ini kamu menang dan besok kamu kalah. Kalau kalah, terpaksa harus dicari lagi. Sedangkan kalau sudah dapat ilmu, kita tidak akan kalah atau kehilangan selamanya.
Maka Asy-Syafi’i terus disebut namanya sepanjang zaman, terus bermanfaat ilmunya sepanjang waktu, dipakai orang sedunia. Sedangkan Harun cuma dikenal lewat matakuliah sejarah masa lalu. Tidak semua orang tahu siapa dia.
Adakah ilmunya yang diajarkan Harun sang khalifah untuk kita zaman sekarang yang masih manfaat dirasakan orang banyak?
Hmm, jangan tanyakan masalah itu. Sebab beliau bukan penebar ilmu. Beliau hanyalah satu di antara sekian juta muslim yang pernah berkuasa. Itu saja. Warisan abadinya ya cuma lembar sejarah. Itu pun kalau ada yang iseng membaca.
Sementara Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani dan Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, adalah duo muassis mazhab muktamad terbesar yang masih eksis sampai hari ini, yaitu mazhab Al-Hanafiyah dan mazhab Asy-Syafi’iyah.
Di belakang kedua mazhab ini, ada 14 gerbong besar mewakili abad mereka masing-masing. Di masing-masing gerbong ini ada ribuan ulama besar yang mewakili zamannya.
Tanpa mengecilkan nama besar Harun Ar-Rasyid, namun khilafah Bani Abasiyah runtuh oleh serbuan Tatar. Tinggal kenangan sejarah. Bangunan fisiknya sudah tidak ada lagi.
Namun warisan kitabnya sebagai khazanah keilmuan, masih tersebar di seantero negeri Islam. Seandainya tidak ada tokoh macam Muhammad dan asy-Syafi’i yang mentradisikan gerakan intlektual keilmuan, mungkin agama Islam hari ini sudah terkubur bersama puing-puing Dinasti Abasiyah.
[]