BIBMC OFFLINE: One Health of Malaria


BIBMC OFFLINE: One Health of Malaria

Pada hari senin, 3 Oktober 2022 saya dan kelompok tutor mengikuti kegiatan Bandung International Biomolecular Medicine Conference (BIBMC) secara luring di Gedung Pamitran, Eijkman. Salah satu topik yang kami ikuti adalah One Health of Malaria.

Rangkaian acara topik One Health of Malaria dilaksanakan setelah break makan siang, di mana peserta mulai berkumpul kembali pada sekitar pukul 13.00 siang. Sesi dimulai dengan pembukaan dan juga pengenalan pembicara dan panelis. Sesi akan dilakukan dengan pemaparan materi dari masing-masing pembicara yang kemudian akan dilanjutkan dengan feedback dari panelis pada masing-masing materi.

First Presentation:

 

Pemaparan pertama dibawakan oleh Dr. Jontari Hutagalung dari parasitology laboratory of ministry of health. Pemaparan diawali dengan pernyataan bahwa kementerian kesehatan juga membutuhkan bantuan dari peserta, panitia, dokter, profesor, dan juga panelis untuk merumuskan solusi untuk menyelesaikan masalah yang sedang dialami Indonesia, khususnya terkait malaria.

Dijelaskan bahwa permasalahan program eliminasi malaria berasal dari beberapa aspek, seperti terkonsentrasinya kasus malaria hingga 90% di Indonesia Timur (High Endemic), RDT test yang menarget antigen HRP-2 signal hanya terdapat pada P.falciparum saja maka dibutuhkan antigen lainnya yang dapat mencakup lebih banyak jenis plasmodium lainnya, tidak dapat dilakukannya RDT pada low paracytemia (<200 par/microliter) dikarenakan berisiko terjadi false positive. Selain itu, masalah selanjutnya adalah penggunaan PCR yang spesifik cenderung mahal dan penggunaan PCR konvensional cenderung mengalami cross-contamination dan false positive. Masalah selanjutnya adalah adanya G6PD deficiency yang bisa menyebabkan kematian dari anemia dan bukan malaria tetapi memiliki prevalensi sebanyak 10% dengan P.vivax oleh karena itu sangat perlu bagi tenaga kesehatan untuk juga melakukan pengecekkan terhadap G6PD deficiency pada pasien suspek malaria.

Sementara dari sisi positifnya, distribusi whole genome sequencing (WGS) sudah terdapat lebih dari 20 lab di bawah kementerian kesehatan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah malaria. Maka dari itu, dari masalah-masalah tersebut dibutuhkan perumusan solusi dengan bantuan paparan dari panelis. Kesimpulan: Percepatan eliminasi, vector control program, one health approach, data from multi factorial, strengthening laboratories.

Prof. Richard Culleton sebagai panelis menyoroti situasi malaria di Indonesia yang sangat penting/urgent tapi juga cukup rumit untuk diselesaikan dikarenakan bervariasinya ekosistem dan juga jenis malaria. Beberapa solusi yang dianjurkan adalah melalui metodologi LAMP ataupun mitochondrial PCR based-detection. Terkait pertanyaan Dr. Johari mengenai cara membuat tes yang cepat untuk mixed infection, maka Prof. Richard memberikan solusi untuk mungkin mass PCR testing ataupun LAMP technic. Terkait  proses menghambat transmisi malaria maka hal tersebut bukanlah masalah yang mudah dikarenakan banyaknya jenis ekosistem di Indonesia.

Second Presentation:

Pemaparan kedua dibawakan oleh dr. Yovita Hartantri, Sp.PD. KPTI terkait clinical update on malaria. Pada pemaparan kedua dijelaskan bahwa tantangan terhadap eliminasi malaria di Indonesia adalah karena beban malaria bervariasi antar daerah, selain itu walau annual parasite incidence sudah <1, tetapi pada indonesia bagian timur masih mengalami high endemicity dengan 80% kasus malaria terkonsentrasi di papua. High endemic cases: Papua, West Papua, East Nusa Tenggara, East Kalimantan (Penajam Paser Utara).  Secara statistik, jumlah kasus dan API sudah berkurang 50% sejak 2010, tapi sejak 2014 cenderung stagnan.

Selanjutnya, terkait masalah mengontrol kasus malaria. Malaria terdiri dari beberapa jenis, yaitu:

  • Pl. falciparum, predominan (52%) di high endemic areas dan dapat langsung menyebabkan kematian.
  • Pl. vivax, 38% proportion dari pl.vivax, reccurence masih belum dapat dicegah. Walaupun jarang berakibat fatal secara langsung, vivax malaria dapat menyebabkan kematian indirect pada pasien dengan malnutrisi, sepsis, penyakit kronik, ataupun HIV
  • Pl. knowlesi, ditemukan di Sumatra dan Kalimantan. Masih belum terdapat eksaminasi untuk RDT.

Problem Management untuk malaria terbagi jadi dua:
– Diagnostic:
Kurangnya kewaspadaan untuk infeksi malaria, case finding activities yang cenderung berkurang, laboratory technicians dan clinical pathologists yang terbatas, keahlian yang masih kurang dalam melakukan blood smear dan menghitung parasite density.

– Therapeutic:
Ketidak tersedian primaquine drug adherence data untuk 14 hari, stok obat yang habis atau kadaluwarsa, dan masih adanya parasit setelah treatment baik karena reccurence ataupun resistance.

Terkait risk factors, pasien anak kecil, ibu habil, ataupun penderita HIV/AIDS dan migran yang belum pernah terekspos dengan malaria akan memiliki risiko lebih tinggi dalam mengalami komplikasi infeksi.

Peran klinisi dalam menanggulangi masalah yang ada termasuk dalam malaria case management, diagnosis suspected malaria, dan parasitological. Seharusnya klinisi berperan dalam melakukan early diagnosis dan prompt effective treatment, berperan dalam strategi malaria control and elimination. Selain itu, bila dihadapkan dengan suspek malaria, maka harus mengidentifikasi riwayat perjalanan pasien ke malaria endemic-area serta mengonfirmasinya dengan parasitological test.

Saat ini, gold standard untuk mendeteksi malaria dengan microscopic/parasitological examination adalah melalui thick and thin blood smears. Berikut adalah perbandingan metode pendeteksian parasit malaria yang dipakai:

Prinsip utama dalam Malaria Case Management adalah:

– Early diagnosis dan prompt effective treatment dalam 24-48 jam dari munculnya gejala
– Penggunaan agen antimalaria yang rasional
– Kombinasi terapi
– Weight based dosing yang appropriate

Strong recommendation for ACT from WHO. Terkait treatment monitoring, terutama untuk reccurence, hal ini dapat disebabkan karena incomplete clearance dari genotype yang sama ataupun terjadinya relapse, khususnya pada vivax dan ovale. Setelah itu, dipaparkan juga terkait studi malaria di Timika, Papua yang hasilnya menunjukkan bahwa supervision pada primaquine radical cure treatment dapat mengurangi reccurence dari P.vivax.

Kesimpulannya, vigilance dibutuhkan terkait eliminasi karena adanya kemungkinan peningkatan kasus malaria karena low active case finding rate, malaria case management termasuk early diagnosis dan prompt effective treatment, serta effective treatment termasuk penggunaan antimalarial agent yang rasional, combination therapy, dan appropriate weigh-based dosing.

Saran untuk langkah selanjutnya adalah melakukan monitoring secara berkala terkait therapeutic efficacy dari antimalaria drugs dan penggunaan vaksin untuk mencegah malaria.

Feedback pemaparan kedua diberikan oleh Prof. Kozo. Di mana ditanyakan apakah Indonesia dapat memberikan medikasi pada setiap suspek malaria dikarenakan adanya keterbatasan budget, dll.? Maka dari itu, menurut beliau dibutuhkan prioritas dalam pemberian medikasi, beliau menanyakan apakah Indonesian government telah mengidentifikasi high priority zone untuk melakukan malaria control di Indonesia?

Sebagai respons, Dr. Jontari menjawab bahwa malaria control dilakukan di semua area tapi lebih difokuskan khususnya di high endemic area.

Third Presentation:

Presentasi terakhir dibawakan oleh Dr.rer.nat Fifi Fitriyah Masduki tentang innovative technology mengenai malaria. Pertama, dijelaskan terkait perkembangan vaksin dan inovasi di bidang biomedical science.

Baru-baru ini, Mosquirix Vaccine telah diapproved oleh WHO untuk infant, jadi sudah di clinical phase 3 dengan hasil yang menjanjikan. Bila dilihat dari sejarah perkembangan vaksin maka riset vaksin malaria dimulai dari 1984, sehingga perkembangan vaksin malaria jauh lebih lama dari covid dan bahkan hingga sekarang hanya bersifat partial protection. Hal ini dikarenakan life cycle dari malaria lebih complex di mana terdiri dari 3 stage of life cycle. Mulai dari terinfeksiny nyamuk (sporozoite), dan kemudian nyamuk mengambil darah dan sporozoite akan menginfeksi liver dan berdiferensiasi membentuk liver merozoite yang dapat berproliferasi menjadi ribuan dan berpindah ke sel darah merah sebagai blood merozoite. Saat nyamuk mengambil darah, m aka merozoite akan memasuki sexual state. Setiap kali berdiferensiasi maka proteinnya juga akan berubah, sehingga setiap riset akan menarget pada salah satu stage saja. Saat ini kebanyak vaksin masih dalam tahap 1 atau 2 clinical trial.

Kemudian, dijelaskan terkait struktur Mosquirix yaitu sebagai berikut:

Malaria Vaccine Working Group di Indonesia adalah Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman, National Institute of Health research and development Indonesian ministry of health, bandung institute of technology, dan biofarma. Malaria vaccine yang sedang dikembangkan adalah pada blood stage dengan identifikasi target antigen melalui analisis serum.

Biomedical Science Innovation

1. Monoclonal Antibody

L9LS found to be safe and highly protective to US adults exposed to the malaria parasite. Antibodi ini menarget menarget minor NVDP repeats pada P. falciparum.

2. Nanobodies

Nanobodies memiliki struktur yang jauh lebih kecil dari IGG ataupun heavy chain only antibody karena hanya berisi variable one yang berinteraksi dengan antigen. Karena strukturnya kecil, jadi harus pada thermostable dan produksinya cukup mahal, tapi bisa dibentuk pada prokaryote platform. Cara pembentukkan nanobodies melalui imunisasi llama, purifikasi RNA dari PMCs, dll.

3. Nanobodies for Infectious disease

Kolaborasi yang mengembangkan nanobodies melawan malaria dengan menggabungkan constant frafment dari immmunoglobulin dengan nanobodies yang masih terus dikembangkan.

4. DARPINS

Designed ankyrin repeat proteins. 

  • DARPIN memiliki setengah berat IGG, maka dapat digunakan sebagai diagnostic dan therapeutic tools.
  • Masih dilakukan research project terkait DARPins

Feedback diberikan oleh Prof. Richard, yaitu sebagai berikut:

Vaksin adalah komponen penting dalam control malaria, walaupun begitu sampai saat ini usaha mengembangkan vaksin kurang berhasil dikarenakan complicated life cycle. Vaksin yang baik harus bisa multi-stage dan multi-transmission. Alasan lain covid lebih cepat, karena fokus dan dana yang kurang diarahkan pada research vaccine. Adanya perkembangan vaksin adalah langkah yang baik dalam mengatasi permasalah malaria.

Sesi QnA

Selanjutnya dilaksanakan sesi QnA, dengan salah satu pertanyaan terkait alasan pemberian vaksin pada infant 5 bulan dan juga bagaimana proses clinical phase dari vaksin malaria.

Jawaban dari Dr.rer.nat Fifi Fitriyah Masduki yaitu vaksin dilakukan pada infant 5 bulan dikarenakan merekalah yang memiliki ancaman mortality terbesar dari malaria. Proses clinical trial dengan placebo dites apakah toxic dan safe untuk dewasa di clinical phase 1 dan kemudian untuk anak (infant) di clinical trial phase 2. Pada clinical phase 3 lebih broad (pilot project)

Closing Statement

Sebagai closing statement dari Prof. Richard, yaitu “There is a diversity of problem with the different species of plasmodium, different ecosystem, etc. Therefore, it seems that there will be no single solution to all the problem as every specific region will need their own unique solutions. For example the way to eliminate parcifarum and vivax are different. Aside from that, malaria elimination also need to solve the problem with the adjacent countries in the border may be by collaboration as adjacent countries for example papua new guinea also has a lot of malaria problems that could easily spread again to Indonesia.”

Setelah itu, dilakukan summary dari sesi one health of malaria. Solusi untuk mengatasi malaria dapat dilakukan hanya dengan kolaborasi dari periset, akademisi, pemerintah, dan juga masyarakat secara umum. Oleh karena itu, marilah kita ikut berkontribusi dalam mengeliminasi penyakit malaria dari indonesia khususnya pada daerah dengan high endemic. Acara diakhiri dengan pemberian apresiasi kepada para pembicara.