Empat Jenis Pertanyaan yang Perlu Diketahui menurut Imam Al-Ghazali
oleh Alhafizh Kurniawan
Imam Al-Ghazali mengilustrasikan pertanyaan yang diajukan oleh orang yang tidak tahu sebagai keterangan penyakit yang diajukan oleh pasien kepada dokter.
Sedangkan jawabannya diumpamakan sebagai upaya dokter dalam menyembuhkan penyakit tersebut.
Orang bodoh adalah pasien yang sakit.
Sedangkan ulama adalah dokternya. Ulama yang kurang memenuhi syarat tidak layak menjadi dokter. Mereka yang layak mengobati penyakit kebodohan adalah ulama yang memenuhi syarat kesempurnaan (al-alimul kamil) karena ia dapat mengetahui hakikat penyakit. Ketika penyakit terlalu parah dan tidak mungkin dapat diobati, seorang dokter yang sangat ahli dan berpengalaman sekalipun kadang tidak berupaya mengobati penyakit pasien.
Seorang ulama tidak selalu menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat karena kebodohan terbagi empat jenis kata Imam Al-Ghazali.
واعلم أن مرض الجهل أربعة أقسام: ثلاثة لاعلاج لها وواحد يمكن علاجه
Artinya, “Ketahuilah, penyakit kebodohan ada empat jenis. Tiga di antaranya tidak dapat disembuhkan. Tetapi satu lainnya kemungkinan dapat disembuhkan,” (Lihat Imam Al-Ghazali, Khulashatut Tashanif fit Tashawwuf pada Majmu’atu Rasa’ilil Imam Al-Ghazali, [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah: tanpa tahun] halaman 189).
Pertama, pertanyaan atau keterangan pengantar yang bersumber dari hasad atau kedengkian. Hasad adalah penyakit yang (hampir-hampir) tidak dapat disembuhkan. Setiap kali pertanyaan ini dijawab dengan beragam penjelasan dan jawaban sebaik apapun, maka jawaban itu hanya menambah hasad orang yang bertanya. Hasad orang itu akan menambah kesombongan pasien.
Al-Imam Al-Ghazali menyarankan kita untuk tidak menjawab pertanyaan jenis ini. Ia mengutip syair sebagai berikut: كلُّ العداوة قد ترجى إزالتها إلا عداوة من عاداك من حسد Artinya, “Setiap permusuhan terkadang dapat diharapkan hilang (padam) kecuali permusuhan yang memusuhimu karena hasad,” (Lihat Imam Al-Ghazali, Khulashatut Tashanif fit Tashawwuf: 189).
Al-Imam Al-Ghazali menyarankan kita untuk mengabaikan dan berpaling dari pertanyaan orang dengki sebagai bentuk pengamalan Surat An-Najm ayat 29. Penjelasan dan upaya penyembuhan ketidaktahuan seseorang yang dilatari kedengkian hanya akan menyalakan api kedengkiannya.
Pasalnya, pertanyaan yang dilontarkan memang bukan diniatkan untuk mengobati ketidaktahuannya, tapi karena kedengkiannya. فَأَعْرِضْ عَنْ مَنْ تَوَلَّى عَنْ ذِكْرِنَا وَلَمْ يُرِدْ إِلَّا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا Artinya, “Berpalinglah dari orang yang berpaling dari mengingat Kami; dan yang tidak menginginkan selain kehidupan dunia,” (Surat An-Najm ayat 29).
Kedua, penyakit yang bersumber dari kedunguan dan kebebalan (al-hamaqah atau al-ahmaq). Penyakit ini hampir tidak dapat disembuhkan. Nabi Isa AS mengatakan, “Aku berdaya untuk menghidupkan orang mati. Tetapi aku tidak berdaya memperbaiki orang bebal.” Orang dungu atau bebal adalah orang yang mempelajari satu dua hari satu bab sebuah ilmu dan belum masuk sama sekali mempelajari ilmu aqli (salah satunya ilmu kalam, ilmu tauhid, atau ilmu logika) dan ngeyelnya setengah mati. Orang seperti ini dijelaskan juga tidak mau mengerti karena bawaan ilmu segenggam atau seujung kuku. Tetapi nahasnya dengan bekal ilmu sehari atau dua hari itu, ia mengajukan pertanyaan (sejenis sanggahan atau penolakan) kepada ulama yang menghabiskan usianya untuk mempelajari dan memperdalam berbagai ilmu pengetahuan yang serumpun. Orang dungu atau bebal tidak menyadari penolakan atau sanggahan seorang pelajar pemula kepada seorang alim (guru) besar bersumber dari kebodohan dan ketidaktahuan. Ia tidak menyadari kemampuan dirinya dan kapasitas keilmuan guru besar tersebut karena kedunguan dan kebebalannya. Oleh karena itu, kita disarankan untuk berpaling dan mengabaikan jawaban untuk orang seperti ini. (Lihat Imam Al-Ghazali, Khulashatut Tashanif fit Tashawwuf: 189). Pada kesempatan lain, Imam Al-Ghazali mengatakan, orang dungu atau bebal adalah orang yang menuntut sedikit (kurang dari satu bab) dari bagian ilmu sebentar atau instan (zamanan qalilan) baik ilmu aqli maupun ilmu syariat. Ia mencoba mengajukan pertanyaan kepada seorang ulama besar yang menghabiskan umurnya untuk ilmu aqli dan ilmu sya’ri. Tetapi konyolnya, ia menyangka bahwa sebuah materi pengetahuan yang problematik (musykil) menurutnya juga musykil menurut si alim besar. (Lihat Imam Al-Ghazali, Ayyuhal Walad pada Majmu’atu Rasa’ilil Imam Al-Ghazali, [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah: tanpa tahun] halaman 283).
Ketiga, penyakit orang yang melontarkan pertanyaan karena kelemahan daya pikir atau IQ rendah (baladah atau balid). Orang ini meminta penjelasan atas ucapan ulama.
Tetapi ia sebenarnya tidak memiliki kecakapan untuk memahami hakikat ucapan ulama karena keterbatasan daya pikirnya. Ia menanyakan pandangan-pandangan dan pokok pikiran ulama yang pelik, jelimet, rumit, abstrak, atau “tinggi” lagi-lagi karena keterbatasan daya jangkau pikirannya.
Tetapi ia tidak menyadari kapasaitas daya pikirnya.
Untuk orang ini, Imam Al-Ghazali menyarankan kita untuk mengabaikan pertanyaan mereka sesuai sabda Nabi Muhammad SAW berikut ini: نحن معاشر الأنبياء أمرنا بأن نكلم الناس على قدر عقولهم Artinya, “Kami para nabi diperintahkan untuk berbicara kepada umat manusia sesuai kapasitas daya pikir mereka.”
Keempat, penyakit orang yang mencari petunjuk dan ia memiliki kecerdasan, kecakapan, dan kapasitas serta daya pikir yang bagus untuk menerima pelajaran. Ia tidak terpengaruh dan terbawa hanyut oleh marah, syahwat, hasad, kerakusan pada harta, dan nafsu gila kekuasaan. Ia adalah orang yang mencari jalan kebenaran. Ia melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak membingungkan Pasien seperti ini, kata Al-Imam Al-Ghazali, dapat disembuhkan.
Upaya pengobatan terhadap orang seperti ini layak bahkan wajib ditempuh. Wallahu a’lam.