Masih Relevankah Logika Aristoteles?
postingan M.S Arifin. di Facebook
Sistem logika yang tertata penuh baru dirumuskan oleh Aristoteles.
Sebelum itu, benih-benih sistem logika sudah ada, melalui beberapa prinsip yang acak, yang dikenalkan oleh beberapa filsuf sebelum Aristoteles, semisal prinsip identitas yang sudah digunakan oleh Sokrates. Bahkan pemikiran logis yang merupakan prinsip dasar bagi akal, secara potensial dan aktual sudah ada dalam diri tiap manusia, seprimitif apapun mereka. Artinya, pemikiran logis sudah ada sebelum Aristoteles melahirkan sistem logika.
Pemikiran logis merupakan bawaan manusia (secara potensial), sedangkan sistem logika adalah pendisiplinan pemikiran logis ke dalam kaidah-kaidah logika.
Peradaban Yunani berada di antara dua tradisi kenabian, yakni Nabi Musa dan Nabi Isa, dan kira-kira delapan abad kemudian, diutuslah Nabi Muhammad di semenanjung Arab.
Orang-orang Yunani tersebut dapat mencapai puncak peradaban di saat umat yang lain di negeri lain diperintah untuk beriman kepada Tuhan melalui ajaran tauhid.
Tentu para Nabi itu datang tidak hanya dengan doktrin dan dogma. Agama—sebagai bagian dari kehidupan manusia—harus pula memuat unsur yang masuk akal bagi manusia. Oleh sebab itu, tradisi tiga agama Abrahamik, yakni Yahudi, Nasrani, dan Islam, amat mudah menyesuaikan diri dengan salah satu unsur dari peradaban Yunani, yang dalam hal ini adalah Logika Aristoteles (dan tentunya beberapa varian logika lain, seperti logika dialektik dan Stoik).
Mengerucut ke dalam tradisi keilmuan dunia Islam, logika Aristoteles masuk melalui kerja penerjemahan besar-besaran yang sudah dimulai dari masa dinasti Umayah hingga memuncak ke dinasti Abbasiyah di masa Khalifah Ar-Rasyid, Al-Makmun, dan Al-Mutawakkil. Turut pula diterjemahkan adalah logika Aristoteles yang seolah menemukan momentum bagi ketersohorannya.
Kenapa?
Pada waktu itu, perdebatan teologis mencapai titik kulminasi.
Banyak sekali aliran yang muncul. Puncaknya adalah aliran Muktazilah yang dalam beberapa generasi Khalifah menjadi aliran resmi pemerintahan. Logika Aristoteles digunakan untuk dasar penalaran teologis pada masa ini. Terjadilah perselisihan sengit antara Muktazilah (dan Khalifah pendukungnya) dengan kelompok ahli Hadis, sebut saja Ahmad Ibn Hambal yang sampai dipenjara lantaran menolak mengatakan bahwa al-Quran itu makhluk.
Termasuk bagian dari Muktazilah pada waktu itu adalah seorang bernama Abul Hasan al-Asy’ari, murid dari Al-Juba’i (pembesar Muktazilah). Tidak puas dengan kecenderungan rasio yang ekstrem, al-Asy’ari keluar dari Muktazilah dan berijtihad sendiri soal teologi sehingga mendirikan mazhab teologis: Asy’ariah atau Asya’irah.
Lantaran lawan debatnya menggunakan logika (Aristoteles), al-Asy’ari pun, dalam meng-counter mereka menggunakan senjata mereka juga. Namun, yang membedakan antara Asy’ariah dan Muktazilah adalah soal teks (al-Quran dan Hadis) yang menjadi sumber utama, kemudian disusul logika sebagai pisau bedah, dan linguistik sebagai penguat.
Maka dari sini para pengkaji belakangan menyimpulkan bahwa dalam membangun akidahnya, umat Islam tidak lepas dari logika Aristoteles.
Dalam memandang kenyataan di atas, para pengkaji hari ini terbagi menjadi dua:
(i) mereka yang menganggap logika Aristoteles sebagai satu-satunya sistem logika yang dapat membicarakan perihal masalah teologis, dan
(ii) mereka yang anti terhadap logika Aristoteles karena dalam sistemnya sudah selalu terkandung pengandaian-pengaindaian metafisis yang khas kaum pagan.
Sebenarnya ada juga posisi yang ketiga, yaitu mereka yang menerima logika Aristoteles, namun tidak dengan Metafisikanya.
Kalangan yang kedua bisa kita bagi menjadi dua:
(i) mereka para Taymiyyun yang menganggap bahwa logika Aristoteles tidak relevan untuk akidah Islam, dan
(ii) mereka para saintis-matematikawan yang menganggap bahwa logika Aristoteles sudah usang karena banyaknya varian logika kontemporer yang lebih bisa memadai. Alhasil, aliran ilmu kalam yang masih bertahan sampai sekarang dan mempertahankan sistem penalaran Aristotelian menghadapi kritikan dan ancaman yang luar biasa.
Maka, perlulah kita mempertanyakan kembali soal relevansi logika Aristotelian dengan akidah Islam.
Untuk menjawab pertanyaan relevansi di atas, perlulah kita mengkategorikan logika Aristoteles di antara logika-logika lain yang lebih mutakhir. Maka untuk mempersingkat pembahasan, saya gurat beberapa kesimpulan berikut ini:
Pertama, logika Aristotelian adalah logika formal. Artinya, logika ini berkutat pada kebenaran proposisi dan silogisme. Sebuah penyimpulan dapat dibenarkan jika premis-premisnya sudah sesuai. Kesesuaian premis-premis diuji berdasarkan korespondensinya dengan kenyataan. Jika premisnya benar, maka kesimpulannya pasti benar. Pastinya kebenaran kesimpulan diambil dari bentuk premisnya. Oleh karenanya, logika ini dinamai dengan logika formal, lantaran mementingkan bentuk (form).
Kedua, logika Aristotelian hanya mampu membicarakan sesuatu yang ada. Belakangan, masalah ini dinamakan dengan “kandungan keberadaan” (existential import). Artinya, logika ini hanya berkutat pada subjek dalam proposisi yang keberadaannya disyaratkan. Proposisi seminimal-minimalnya mengandung subjek dan predikat. Subjek dalam sistem logika dan metafisika Aristoteles adalah eksistensi, baik benda maupun orang, atau yang disebut sebagai substansi. Sementara itu predikat adalah aksidensi yang meliputi kuantitas, kualitas, relasi dan seterusnya. Kita ambil satu contoh: “Budi adalah orang gemuk.” Proposisi ini mengambil subjek/substansi berupa orang dan predikat/aksiden berupa kualitas.
Ketiga, logika Aristoteles lebih mementingkan penalaran deduktif daripada induktif. Penalaran induktif adalah penalaran dari umum ke khusus. Penalaran ini lebih meyakinkan daripada penalaran induktif, yakni dari khusus ke umum, lantaran kekhususan amat susah diteliti satu persatu hingga menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan.
Keempat, logika Aristoteles, dibanding perkembangan logika kontemporer, adalah logika khusus. Artinya, ia tidak mengenal simbolisme dan matematisme. Logika umum proposisinya harus mampu menjadi benar dalam dirinya sendiri tanpa mengandaikan rujukan dalam realitas. Pun logika ini belum mengenal logika probabilitas atau logika modal, yakni sistem logika yang memungkinkan untuk berpikir mengenai sesuatu yang mungkin ada, mustahil ada, tak ada, belum ada, dan seterusnya.
Itulah kesimpulan dari cakupan logika yang berhasil saya himpun.
Kini, logika Aristoteles mendapatkan banyak saingan. Jika dulu logika ini dianggap menjadi satu-satu sistem logika yang utuh, di zaman kita, amat banyak logika yang muncul, sampai-sampai timbullah apa yang dinamakan sebagai “krisis fondasional dalam logika”. Krisis di sini bermakna bahwa: adakah suatu logika universal yang dapat menaungi banyaknya sistem logika? Karena sistem logika sekarang ini tidak tunggal, maka akidah umat Islam yang dulu dibangun oleh para Ahli Kalam dari logika Aristoteles menemui tantangan.
Ali Syami An-Nasyar dalam bukunya ‘Manahij al-Bahts ‘Inda Mufakir al-Islam’ menyatakan bahwa sikap umat Islam terhadap logika Aristoteles tidaklah taslim (menerima) secara penuh. Sampai pada abad kelima Hijriyah, akidah umat Islam tidak hanya menggunakan logika Aristoteles. Beberapa kaidah khas Islam bahkan dipakai, seperti ‘Qiyas al-Ghaib ‘ala a-Syahid’ dan ‘As-Sabr wa at-Taqsim’. Artinya, sikap umat Islam adalah sikap yang tebang pilih, menerima apa yang sekiranya benar dan cocok bagi mereka.
Setelah abad kelima, sikap umat Islam lebih selektif lagi.
Beberapa intelektual secara terang-terangan mengkritik logika Aristoteles, sebut saja Suhrawardi al-Maqtul dengan Logika Isyaqi-nya dan Ibn Taymiyah dengan Qiyas Aula-nya. Dengan begitu, pengkaji hari ini yang menggeneralisir bahwa akidah Islam yang versi Ahli Kalam dibangun sepenuhnya oleh logika Aristoteles jelas keliru.
Hal ini ditegaskan secara lebih detail oleh Syekh Ramadhan al-Buthi dalam ‘Kubral Yaqiniyyat’ dalam kaidah yang berbunyi: “Apabila seseorang menukil, maka nukillah teks yang sahih, dan apabila seseorang mengklaim, maka buktikanlah!” Kemudian Al-Buthi menjelaskan pembuktian menurut ulama Islam yang tak perlu saya singgung di sini.
Lain daripada itu, kita harus mengakui bahwa akidah Islam di tangan Ilmu Kalam memakai beberapa sistem logika Aristoteles. Dalam hal ini, saya ingin memisahkan mana sistem logika Aristoteles yang bisa diperdebatkan dan mana yang tak mungkin diperdebatkan.
Pertama, logika Aristoteles dibagi menjadi dua: definisi dan silogisme. Kedua hal ini masih mungkin diperdebatkan. Ibn Taymiyah bahkan mengkritik pendefinisian ala Aristoteles dan menawarkan kaidah lain. Soal premis minor dalam logika Aristoteles bahkan menurut Ibn Taymiyah tidaklah penting, karena berisi sesuatu yang menjadi bagian dari premis mayornya. Jika kita menyimpulkan bahwa Sokrates mati lantaran premis mayor mengatakan bahwa semua manusia pasti mati, maka kesimpulan sudah didapat bahkan tanpa menyertakan premis minor. Pun dalam pembuktian Ahli Kalam soal ‘kebaruan alam semesta’ (huduts al-‘alam) yang disusun dalam silogisme dapat kita perdebatkan lebih lanjut. Misal, bagaimana penyimpulan dalam premis minor didapat sementara ada celah argumentasi yang diambil dari premis mayornya. Apakah tiap perubahan mewajibkan ‘kebaruan’? Jika alam semesta baru (hadits) karena berubah, dari manakah klaim perubahan ini dibuktikan? Masalah definisi dan silogisme masih bisa diperdebatkan dan dibandingkan atau diuji dengan logika lain yang lebih mutakhir.
Kedua, agar suatu sistem logika terjamin kebenarannya, ia membutuhkan metalogika. Jika sistem logika berisi kaidah berpikir sehingga pemikirannya benar, maka metalogika mengurusi apa jaminan suatu sistem logika bisa menjadi benar. Maka logika Aristoteles dalam hal ini memuat metalogika. Apa itu? Jawabannya adalah aksioma atau postulat tentang “Tiga Hukum Pemikiran,” mencakup:
(i) Asas identitas (X adalah X),
(ii) Asas kontradiksi (X tidak mungkin X sekaligus non-X),
(iii) Asas penyisihan jalan tengah (Tidak ada sesuatupun di antara X dan non-X).
Mengomentari tiga hukum di atas, Martin Suryajaya dalam ‘Principia Logica’ berkata:
“Dalam kepustakaan, ketiga hukum itu dikenal sebagai “hukum pemikiran” (law of thought) yang disyaratkan oleh setiap penalaran logis. Dikatakan bahwa ketiganya tidak bisa dibantah sebab setiap usaha membantahnya selalu mensyaratkan keberlakuan hukum itu sendiri. Saking berpengaruhnya ketiga hukum pemikiran ini, bahkan sistem logika klasik, yakni sistem logika paling dominan dalam logika modern, tetap bertumpu sepenuhnya pada ketiganya.”
Ketiga hukum di atas adalah postulat bagi setiap pemikiran logis. Artinya, tiap logika tak bisa lepas dari ketiga hukum yang dicetuskan Aristoteles tersebut. Maka, sepenuhnya anti terhadap logika (dan otomatis juga metalogikanya) Aristoteles mengkhianati pemikiran logis itu sendiri, karena anti-logika-Aristoteles sendiri menjadi absah jika ada hukum identitas dan hukum non-kontradiksi yang dicetuskan Aristoteles itu sendiri. Di atas tiga hukum pemikiran itu jugalah akidah Islam dibangun. Kita ambil contoh konten akidah yang dituturkan oleh al-Quran, yakni logika Nabi Ibrahim ketika berdebat dengan Namrud dan logika Nabi Musa ketika berdebat dengan Fir’aun.
KISAH NABI IBRAHIM (I) DAN NAMRUD (N’)
N: Siapa Tuhanmu?
I: Tuhanku adalah Dzat yang Maha Menghidupkan Lagi Maha Mematikan.
N: Aku juga bisa mematikan (membunuh orang) dan menghidupkan (membiarkan orang hidup).
I: Tuhanku adalah Dzat yang mendatangkan matahari dari timur, maka datangkanlah ia dari barat.
Keterangan.:
Pertama, hukum non-kontradiksi berlaku dalam percakapan ini. Jika Tuhan adalah Dia yang menerbitkan matahari dari timur, maka siapapun yang tidak bisa mendatangkannya dari barat (sebaliknya), berarti dia bukan Tuhan.
Kedua, sistem penalaran dalam percakapan di atas jika digamblangkan dalam silogisme berbunyi:
(Premis Mayor)
Setiap Dzat yang dapat menerbitkan matahari adalah Tuhan
(Premis Minor)
Tuhan Ibrahim adalah Dia yang berkuasa menerbitkan
(Kesimpulan)
Maka Tuhan Ibrahim adalah Tuhan yang sebenarnya
KISAH NABI MUSA (M) DAN FIR’AUN (F)
F: Siapa Tuhanmu?
M: Dialah Dzat yang menuhani langit dan bumi.
(Kemudian Firaun memanggil Haman [arsitek] untuk membangun Piramida agar bisa melihat Tuhannya Musa yang ada di langit)
F: Di bumi ini, yang saya tahu Tuhan itu hanya aku.
M: Tuhanku adalah Dzat yang menjadi Tuhan bagimu dan bagi para leluhurmu.
Keterangan.:
Pertama, hukum logika identitas terdapat dalam percakapan di atas. Firaun mengaku Tuhan, namun dia tahu bahwa dia punya identitas selayaknya manusia pada umumnya: dilahirkan, bayi, dewasa, tua, dan seterusnya. Jika identitas (hakikat) Tuhan adalah Dia yang wujud selama-lamanya, tentu Firaun tidak termasuk kategori identitas ketuhanan yang demikian. Maka, pernyataan Nabi Musa tak bisa dibantah oleh Firaun bahwa: Jika kamu, Firaun, itu Tuhan, sementara kamu dilahirkan oleh leluhurmu, lantas siapa yang menjadi Tuhan bagi leluhurmu (sementara waktu itu kamu belum lahir)?
Kedua, sistem penalaran dalam percakapan di atas jika digamblangkan dalam silogisme berbunyi:
(Premis Mayor)
Tuhan adalah Dia yang wujud selamanya
(Premis Minor)
Firaun pernah tidak eksis
(Kesimpulan)
Firaun bukan Tuhan
Menutup tulisan ini, kembali harus saya tegaskan bahwa sistem logika yang berisi kaidah-kaidah boleh jadi berbeda-beda, namun logika menjamin kebenarannya dari “hukum pemikiran” yang kendati belum digamblangkan akan tetapi secara aktual sudah selalu ada dalam akal manusia, bahkan jauh sebelum Aristoteles. Kita boleh berdebat soal kaidah berpikir karena itu adalah produk akal manusia, namun apakah bisa kita memperdebatkan atau bahkan menyangkal hukum pemikiran yang menjadi dasar dan asas bagi adanya pemikiran logis itu sendiri?! Menyangkal hukum pemikiran sama saja menyangkal kewarasan akal.
Maka tepat ketika al-Quran menyinggung ketakwarasan akal dalam banyak ayat, di antaranya:
“Apakah mereka yang mengetahui sama dengan mereka yang tidak mengetahui?” (TQS. Az-Zumar: 9);
“Samakah orang yang buta dengan yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang benderang?” (TQS. Ar-Ra’d: 16);
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?”
DAFTAR BACAAN:
Al-Buthi, Sa’id Ramadhan, Kubra al-Yaqiniyyat al-Kauniyyah (Dar el-Fikr, 1997)
An-Nasyar, Ali Sami, Manahij al-Bahts ‘inda Mufakkiri al-Islam (Dar el-Nahdet el-‘Arabiyyah, 1983)
Suryajaya, Martin, Principia Logica (Gang Kabel, 2022)