Lain ulama dulu, lain ulama sekarang, dari apa yang dikatakannya.

Posted by Derry Adrian Saleh on July 24, 2008 in Ishak Qadarsyah |

Hal yang diminta anakku sebagai hadiah kenaikan kelasnya sangat sederhana.  Ia meminta kepadaku untuk menerangkan salah satu kitab yang berjejer di lemari buku-ku. Permintaan yang sederhana, tapi tidak sederhana memenuhinya.

 

Akhirnya ku pilih kitab Al Hikam untuknya.

 

Walaupun di pesantren, kitab ini terkenal dinilai sebagai kitab kelas berat karena kadar sastranya yang tinggi dan kedalaman makrifat yang dituturkan, tapi hal itu bisa dijembatani dengan pemberian yang sedikit demi sedikit.

 

Tapi baru dua bahasan saja, sudah terlontar pertanyaan dari anakku, “Abi, mengapa ya, kitab-kitab islam zaman dahulu seringkali terasa lebih menyentuh dibandingkan dengan buku-buku agama yang ku dapat dari sekolah SD-ku.

 

Nah ini kesempatan baik untuk membukakan ilmu rahasia untuk anakku.

 

“Maukah engkau mengetahui rahasianya ? ” pancingku.

 

““Tentu saja abi….., gimana sih abi ini.”  Jawab anakku sedikit ngeyel.

 

Ah, pancinganku mengena.

 

“Ketahuilah anakku, Ulama klasik zaman dahulu, ketika mereka berbicara, maka kata-kata mereka adalah untuk kemuliaan islam, untuk keselamatan jiwa dan untuk keridhaan Allah. Sedangkan sebagian ulama-ulama sekarang, berbicara untuk kemuliaan dirinya (agar terkenal), mencari dunia (agar mendapat uang dari ceramah), dan untuk keridhaan (senangan) mahluk (manusia). Karena itu, hilangkah cahaya pada kata-kata mereka.

 

Abu Qasim berkata, “Sesungguhnya ulama terdahulu itu dalam keadaan terjaga atau sadar, sedang umatnya dalam keadaan tidur. Lalu mereka yang terjaga dan sadar mengingatkan yang tertidur. Sedangkan ulama-ulama masa kini keadaannya terbalik, mereka malah tertidur, dan umatnya dalam keadaan mati. Maka bayangkan saja, bagaimana mungkin orang yang sedang asyik tidur dalam mimpinya dapat membangunkan orang yang sudah mati?”

 

Lihatlah anakku, bahwa ketika seorang manusia membicarakan sebuah hakikat spiritual dalam agama, maka mereka terbagi menjadi tiga golongan

 

Golongan pertama adalah orang yang membicarakan sebuah hakikat spiritual berdasarkan apa yang didengarnya dari orang lain. Ia kemudian ingin menerangkan kembali agar orang lain juga terkagum-kagum. Golongan ini hanya pengagum dan masih jauh dari tingkatan spiritual yang dibicarakannya. Itulah mengapa nasihat-nasihat orang jenis ini tidak dipedulikan oleh umatnya.

 

Golongan kedua adalah orang yang ingin sampai kepada sebuah tingkat spiritual yang dibicarakannya dan baru mengintai tingkatan itu.  Mereka yang belum sempurna sifat-sifatnya, dan belum diizinkan oleh Allah untuk menerangkannya, maka apa yang diterangkannya akan suram cahayanya, karena ia sendiri masih diliputi sesuatu yang berlawanan dengan hakikat itu. Cahaya alam hakikat memang akan tampak pudar ketika seseorang belum diberi izin untuk mengungkapkannya. Karena kesuraman itu pula, maka apa yang diterangkannya akan ditolak oleh pendengarnya.

 

Golongan ketiga adalah orang yang membicarakan hakikat spiritual di mana ia adalah orang yang telah berada di dalam tingkatannya. Merekalah adalah kekasih Allah yang telah mendapatkan izin dari Allah untuk menerangkan sehingga setiap kalimat yang dikeluarkannya berhias indah dan bukan buatan.

 

Ketahuilah anakku, barang siapa yang telah diberi izin Allah untuk berkata-kata, maka segala kata-katanya bisa dimengerti oleh pendengarnya, dan segala kiasan simbolisnya akan menjadi terang bagi pendengarnya, sekalipun apa yang dikatakannya itu adalah sesuatu yang pelik. Demikianlah, sehingga kalimat tersebut mudah diterima oleh pendengarnya.

 

Ingatlah anakku, cahaya pada orang bijak selalu mendahului perkataannya, sehingga di mana pun ia berkata-kata, maka terjadilah penerangan, maka sampailah ungkapan mereka.  Demikianlah fatwa dan nasihatnya senantiasa diikuti dan diperhatikan oleh umat

 

Demikianlah ulama klasik, ucapannya bersinar terang dengan cahaya ilahiah, karya-karya mereka begitu agung. Karya-karya mereka adalah karya-karya yang tidak dibuat-buat, dan tidak pula menulis berdasarkan pengetahuan yang tidak melekat, ataupun kebaikan yang belum pernah diperbuat. Tulisannya mengalir dari kebeningan hati, dari kejernihan pikiran. Dengan demikian ketulusannya membuat ajarannya mudah membekas. Nasehat-nasehat mereka merupakan cermin dari keluhuran ilmu dan kebersihan ruh dan qalbu yang hidup dan sehat.

 

Nah anakku, Setiap kalimat yang terucap pasti membawa corak hati dari yang melontarkannya. Untuk membedakan termasuk golongan manakah yang berbicara, dengarkanlah dengan qalbumu, bukan dengan telingamu. Maka engkau akan dapat membedakannya.”

 

“Tambahkan lagi untukku, ya Abi……”, Anakku merengek dan meminta

 

“Cukuplah untukmu hari ini, ya Anakku. Hari sudah larut. Gelas ilmumu hari ini sudah penuh, sehingga jika kutambahkan lagi air ilmu ke dalamnya, maka niscaya air itu hanya akan tumpah. Sekarang beristirahatlah, agar esok hari engkau segar kembali. Esok, ilmu yang sekarang kau terima telah kau kunyah dan serap dengan baik, dan di saat itu, engkau boleh datang lagi padaku untuk menambah ilmu-mu.”

 

Anakku mengangguk perlahan, dan kemudian pamit dan beringsut perlahan untuk tidur.

 

Sambil kutatap langkah kecil itu menjauhiku, ku panjatkan satu bait doa. “Ah anakku, semoga Allah melapangkan qalbumu untuk menerima ilmu-ilmu rahasia-Nya. Amin.”

Copyright © 2008-2024 Derry Adrian Saleh All rights reserved.
This site is using the Desk Mess Mirrored theme, v2.5, from BuyNowShop.com.