Abi, apa artinya Allah adalah Asy-Syakur ?
/* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:”Table Normal”; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:””; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin:0cm; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:”Calibri”,”sans-serif”; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”; mso-fareast-theme-font:minor-fareast; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:Arial; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
Percakapan tentang Allah dan nilai rapor 10, rupanya belum berakhir. Kali ini anakku menghampiriku, dan mulai menaiki punggungku. Sambil terkekeh gembira karena berhasil menaiki punggungku, ia bertanya. “Abi… Abi, Abi kan pernah bercerita kepadaku tentang Allah adalah Asy-Syakur. Terangkan padaku, apa yang dimaksud dengan Allah adalah Asy-Syakur.”
Sejenak saya terkesiap dengan pertanyaannya. Bukan karena kalimatnya, tapi karena apa yang dikandung oleh kalimat itu. Saya berpikir, tentu jawaban yang anakku inginkan bukanlah sekedar syukur lisan mengucap Alhamdulillah (segala puji bagi-Mu). Tapi lebih dari itu.
Ah… anakku mulai menggali hakikat. Ah…. keajaiban dunia ke 8 bagiku. Segala puji bagimu, ya Allah. Engkau memberikan rasa ingin tahu kepada anakku. Dengan rasa ingin tahunya ia akan terus mencari jawabannya, dan pencarian itu akan menggiringnya mencari-Mu dan akhirnya menemukan-Mu.
Tapi sebuah tanggung jawab yang berat untuk menjawab pertanyaan pencari hakikat, dan jawabanku tidak boleh memangkas rasa ingin tahunya kepada-Mu. Karena itu aku bermohon kepada-Mu, ya Allah, agar Kau bimbing dan Kau lancarkan lidahku, dalam menjawab pertanyaannya.
Perlahan, ku turunkan anakku dari punggungku, meletakkannya berbaring di sampingku. Ku tatap matanya dalam-dalam, mencoba menyelami jiwa yang menghadirkan pertanyaan mengenai Allah adalah Al Syakur. Dan mulailah bercerita.
“Anakku, menurut ahli kebenaran, syukur merupakan kesadaran akan nikmat dengan jalan tunduk berserah diri. Allah memberi nama pada dirinya dengan Syukur yang berarti bahwa Allah membalas mereka yang bersyukur kepada-Nya.
Adapun hakekat syukur menurut Imam Al Qusyairi adalah : “pujian bagi yang berbuat baik dengan menyebut kebaikannya.”
Maka Allah swt adalah Maha Syukur berarti pujian-Nya atas hamba-Nya yang tidak terhitung. Melimpahkan syukur itu adalah sifat-Nya dan Dia-lah pemberi pahala yang tidak terhitung, sekalipun ketaatan hamba-Nya tidak seberapa memadai.
Para arif mengomentari : “Hanya sedikit di antara hamba-hamba-Ku yang bersyukur” (QS Saba’ [34] : 13) yang berarti “sedikit sekali orang yang dapat menyaksikan bahwa nikmat itu datang dari Allah; hakikat syukur itu adalah keghaiban dari menyaksikan nikmat karena penyaksian kepada Sang Maha Pemberi Nikmat.
Anakku, manusia biasanya baru bersyukur ketika ia menerima atau berhadapan denngan kenikmatan yang dirasa istimewa. Tetapi ia melupakan kenikmatan-kenikmatan yang biasa ia terima sehari-hari.Ketahuilah bahwa manusia di dalam menghadapi datangnya kenikmatan terbagi menjadi tiga golongan
Golongan pertama adalah orang yang bergembira dengan nikmat-nikmat itu. Apa yang mereka perhatikan hanyalah kenikmatan-kenikmatan tersebut, dengan tidak mengindahkan pada Sang Pemberi / sumber Kenikmatan (Allah). Mereka kuat dalam ranah indrawi, tetapi padam penglihatan batinnya. mereka melihat bahwa seluruh nikmat yang ada padanya berasal dari hasil usahanya sendiri atau dari orang lain, dan sama sekali tidak memandang bahwa nikmat yang ada padanya berasal dari Allah. Jika keyakinannya seperti demikian, maka ia telah menyekutukan Allah secara terang-terangan. Orang yang demikian termasuk orang yang lalai. Firman Allah telah menegaskan kepadanya :
Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. (QS Al An’aam : 44)
Golongan kedua adalah orang yang bergembira dengan kenikmatan karena ia melihat kenikmatan-kenikmatan tersebut telah diberikan kepada mereka oleh Allah yang memiliki posisi istimewa. Allah telah memberikan kenikmatan kepada mereka sebagai rahmat dari-Nya. Orang-orang ini telah berhasil meniadakan mahluk, dan mampu menyaksikan sebab dari segala sebab musabab dengan melampaui sebab-akibat. Ia adalah seorang hamba yang bertatap muka dengan hakikat. Allah menyebut orang ini sebagai :
Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS Yunus : 58)
Golongan ke tiga adalah orang yang bergembira dengan Allah. Bukan karena kesenangan lahiriah dari kenikmatan itu dan bukan pula karena karunia-karunia batiniah yang measyikkan dirinya, melainkan karena penglihatannya kepada Allah, konsentrasinya kepada-Nya, dan berpalingnya ia dari segala yang selain-Nya, sehingga ia hanya menyaksikan diri-Nya. Orang ini tidak lagi bergembira dengan pemberian, dan tidak lagi gembira karena diberi kenikmatan oleh dzat yang agung, melainkan, ia bergembira karena ia telah bercengkrama dengan Sang Pemberi kenikmatan. Allah menyebutnya dengan firmannya :
“Wahai Daud. katakanlah kepada orang-orang yang jujur : Hendaklah mereka bergembira dengan-Ku, hendaklah mereka merasakan nikmat dengan mengingatku. (Jami’, Nafahat hlm 336)”
Anakku, ketika engkau bersyukur, maka kebaikanmu sebagai hamba adalah kepatuhanmu kepada Allah, sedangkan kebaikan Allah kepadamu adalah memberikan rahmat kepadamu, dengan menjadikannya mampu bersyukur kepada-Nya. Bersyukur atas kemampuan-untuk-bersyukur adalah lebih lengkap daripada bersyukur saja. Inilah nikmat besar. Bukankah banyak orang yang berlimpah kenikmatan tetapi tidak mampu bersyukur ? Mungkin satu hari nanti engkau akan sampai di satu tahap, di mana engkau bersyukur atas kesyukuranmu, dan kemudian engkau bersyukur terhadap kesyukuran atas kesyukuranmu sampai tak terhingga.
Sebagaimana doa Nabi Daud as. “Ilahi, bagaimana aku dapat bersyukur kepada-Mu, sedangkan rasa syukurku itu sendiri adalah nikmat dari-Mu ?” Maka Allah menjawab doanya, “Sekarang, engkau benar-benar telah bersyukur kepada-Ku !”
Anakku, engkau akan lebih bersyukur, jika engkau tidak memandang bahwa dirimu layak mendapatkan nikmat tersebut. Syukur adalah menyibukkan diri dalam memuji-Nya, karena Dia telah memberimu apa yang engkau tidak pantas menerimanya. Coba kita telisik, seberapa besar kebaikanmu kepada Allah sehingga engkau berhak mendapatkan nikmat tersebut ? Memadaikah ? Sebandingkah ? Apakah dengan merogoh receh barang sekeping untuk bersedekah, maka engkau berhak menerima semua kenikmatan yang pernah kau dapatkan dari Allah ? Ah… Abi kira nikmat Allah yang tak terhitung, tak akan sanggup kau beli (sebanding) dengan seluruh ibadahmu.
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nahl:18.)
Seperti pada munajat Al Hasan bin Ali kepada Allah sambil bertelakan pada sebuah tiang (saking beratnya munajat ini) : “Tuhanku, Engkau telah memberi nikmat aku, namun tidak Engkau dapati aku bersyukur. Engkau telah mengujiku, namun tidak Engkau dapati aku bersabar. Namun Engkau tidak mencabut nikmat karena aku tidak bersyukur, dan tidak melanggengkan bencanamu padaku ketika kutinggalkan kesabaran. Tuhanku, tidak ada yang datang dari Yang Maha Pemurah, kecuali kemurahan.”
Nah anakku, benarlah apa yang dikatakan Asy-Syibli bahwa : “Syukur adalah kesadaran akan Sang Pemberi Nikmat, bukan memandang nikmat itu sendiri.”
Nah anakku, Orang yang bersyukur adalah orang yang beryukur atas apa yang ada (diberi), sedangkan orang yang sangat bersyukur adalah orang yang bersyukur atas apa yang tidak ada (tidak diberi). Pujian hanya bagi Allah terhadap apa yang diberikannya, dan syukur atas apa yang diperbuat oleh-Nya.
Anakku, jadilah engkau abdan syakuro (hamba yang pandai bersyukur) karena “Jika engkau bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat-Ku) padamu” (QS Ibrahim : 7)
Ingat baik-baik kalimat ini anakku, “Siapa tidak mensyukuri nikmat berarti menginginkan hilangnya, dan siapa mensyukurinya berarti telah secara kuat mengikatnya.” Dan bagi mereka yang sungguh mengenal bahwa Allah adalah al-Syakur, hendaknya bersungguh-sungguh dalam bersyukur kepada-Nya; tidak pernah berhenti sesaatpun untuk memuji-Nya.
Anakku mengangguk pelan, kantuk telah mulai menyerangnya.
“Tapi abi, aku belum mengerti apa yang dimaksud dengan “Seorang hamba yang telah berhasil melewati sebab-akibat” ?
Belum sempat kujawab, anakku sudah tertidur lelap dalam damai. Ah, biarlah, Allah menidurkannya, mungkin saat ini bukanlah waktu yang tepat baginya untuk menerima ilmu itu. Mungkin lain waktu, mungkin sesi lain, mungkin pada tulisan lain.
Ah anakku, semoga sebelum engkau tidur, ia sempat bersyukur atas nikmat yang kau terima hari ini. Amin