Tabir mana yang kau perlukan ?
Malam itu, sambil menonton TV, kami sekeluarga bercengkrama dan bercanda. Sampai sebuah kilas berita yang memperlihatkan penjahat yang tertangkap, dan khusus bagian wajahnya disensor (dikaburkan). Rupanya hal ini menggugah perhatian anakku.
Anakku kemudian bertanya, “Abi, kenapa koq wajahnya dikaburkan ?”, malu ya, karena dia melakukan tindak kejahatan ?”
Ah, pertanyaan yang harus dijawab dengan bijak lagi. “Bisa jadi, anakku. Sebagian orang berpendapat bahwa wajah seorang penjahat harus dikaburkan, agar yang bersangkutan tidak malu, atau untuk melindungi kehormatan dirinya, atau untuk mencegah tindak balas dendam dari pihak-pihak yang menjadi korban kejahatannya.”
Tindakan ini sebenarnya meniru kebijakan Allah dalam memberikan tabir (menutupi ) terhadap aib-aib yang dimiliki umatnya. Cobalah engkau lihat, berapa banyak orang yang melakukan perbuatan maksiat berkali-kali, namun kemaksiatannya itu di tutupi (disembunyikan) oleh Allah sehingga tidak diketahui oleh orang lain ? Dengan demikian maka terlindungilah kehormatan orang tersebut di mata manusia. Bukankah Allah sedemikian baik kepada umatnya? Seandainya Allah memberikan tanda maksiat di wajah seseorang, setiap kali berbuat maksiat, dan tanda itu terlihat oleh umat manusia, maka habislah kehormatan orang tersebut di kalangan manusia. Bukankah Allah sedemikian baik kepadamu ?
Nah, ketahuilah anakku, bahwa tabir kebaikan Allah adal dua macam : Tabir dari berbuat maksiat dan tabir di dalam berbuat maksiat.
Orang awam akan meminta tabir Allah dalam menutupinya di dalam perbuatan maksiatnya, karena ia khawatir, andaikan saja tabir itu di buka, dan orang lain mengetahuinya, maka kedudukannya akan jatuh di mata manusia.
Sedangkan orang pilihan, akan memohon kepada Allah agar ditabiri (ditutupi) dari perbuatan maksiat karena khawatir jatuh kedudukanya di dalam pandangan Allah, sang penguasa sesungguhnya.
Ketika Allah mentabirimu dari berbuat maksiat, maka engkau akan tercegah dari melakukan perbuatan maksiat, sehingga tabir ketika melakukan maksiat, tidak engkau perlukan lagi.
Jadi tabir manakah yang akan kau pinta kepada Allah, anakku ?”
Anakku dengan antusias menjawab, “Tentu yang terakhir, Abi…… Do’akan aku ya abi, agar Allah membuatku menyenangi perbuatan ibadah, yang dengannya Allah kemudian mencintaiku, dan kemudian menjaga kebersihanku, dengan menjauhkanku dari perbuatan maksiat.”
” Amin, anakku. Amin……… ”
Ah, malam itu, satu doa pun memanjat naik ke langit menuju arsy Allah. Ya Ni’mal Mujib, wahai sebaik-baik pengabul do’a. Doa itu akan sampai kepada-Mu sebelum terucap dari lisanku, maka kabulkanlah. Amin…….