Bila jabatan tidak sesuai kapasitas.
Sore itu, anakku pulang sekolah dengan mulutnya yang maju ke depan (manyun) dan muka yang dilipat sepuluh. Hi hi hi lucu juga melihat raut mukanya seperti itu.
Begitu datang, ia langsung “melempar” tas sekolahnya dan masuk ke dalam pangkuanku sambil mengeluh. “Aku kesal sama ketua kelasku, masa baru saja jadi ketua kelas dia tiba-tiba memarahiku di depan teman-teman, hanya karena aku tak sengaja menyenggol tempat pinsilnya sampai jatuh ke lantai. Padahal aku kan sudah minta maaf…….”
Rupanya anakku belum puas. Kata-kata ketidakpuasannya terus meluncur bak senapan mitraliur. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Mungkin karena selama ini aku mengajarinya untuk menegur kesalahan seseorang secara pribadi, tidak di depan orang banyak, agar yang ditegur tidak merasa malu.
Empat menit sudah berlalu, dan akhirnya emosi anakku berakhir juga. Ia kehabisa kata-kata dan terdiam. Tapi itu pun tak lama. Anakku melihatku dengan ujung alis yang masih mengangkat dan bertanya, “Menurut abi, bagaimana ….?”
“Anakku, bahwa setiap orang adalah pemimpin, itu benar. Tapi untuk menjadi pemimpin bagi orang lain, maka diperlukan pembelajaran yang lebih. Seorang bijak berkata, “Apabila dalam hal dunia (kekayaan, pangkat, kedudukan), seseorang mendapatkan sesuatu yang lebih dari kapasitas dirinya, maka sikapnya akan berubah dengan yang tidak disukai oleh orang lain.
Selaras dengan kata mutiara di atas, seorang sufi juga berkata, “Barang siapa jabatannya di atas kapasitas pribadinya, maka dia akan sombong dengannya, dan barang siapa jabatannya di bawah kapasitas pribadinya, maka dia akan merendahkan diri karenanya.
Ingatlah itu anakku, semakin tinggi ilmu dan kebijakan seseorang, maka ia akan semakin merendah. Sementara itu, semakin rendah ilmu dan kebijakan seseorang, maka ia akan tinggi hati.
Jika engkau akan menjadi pemimpin bagi yang lain, maka engkau pun harus belajar kebijakan. Bukan tidak mungkin ada salah satu anggota-mu yang tingkahnya menyebalkan. Padahal, bukan tidak mungkin mereka melakukan itu semua karena mereka tidak tahu. Tidak perlu kau marahi mereka. Untuk menyembuhkan penyakit mereka, engkau hanya perlu menegur mereka dengan cara yang baik tanpa menyakiti hati mereka. Jika mereka menyadari kesalahan mereka, tentu sikap menyebalkannya pun akan sembuh. Bukankah begitu, anakku ?”
Anakku, tampak malu-malu mendengarkan ucapanku. Mungkin ia baru menyadari bahwa di balik amarahnya, terdapat nafsu yang membisikan sehingga ia sendiri tidak mampu bersikap bijak, terhadap sikap ketua kelasnya yang menyebalkan.
“Ah, aku gagal lagi mendeteksi nafsu-ku lagi. Abi…. bagaima sih agar nafsu bisa dengan mudah dikenal ? Karena setiap kali ku kenal satu bentuk nafsu, maka besok hari ia mendatangiku kembali dengan wajah yang lain.
Ah, aku mau minta maaf lagi sama ketua kelasku besok……, karena aku tak mampu mengenali nafsuku dan tak mampu menahan amarahku.”
Ah, segala puji bagimu ya Allah. Engkau menghantarkan anakku kepada sebuah kasus pengenalan hawa nafsu, dan membimbing langkahnya kepadaku untuk mendapatkan jawabannya.
Semoga engkau menjadi amir (pemimpin) yang bijak anakku. Amin