Terbalik
oleh Ahmad Sarwat.
Seorang pimpinan pondok pernah menugaskan para santrinya untuk menulis dalam bentuk verbatim.
Apa itu verbatim?
Verbatim adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan bahwa sesuatu ditulis atau diucapkan dengan persis sama dengan sumber aslinya, tanpa ada perubahan atau interpretasi.
Verbatim dapat digunakan dalam berbagai konteks, seperti dalam transkrip wawancara, catatan rapat, pengutipan teks, ataupun ceramah pengajian.
Jadi video-video kajian saya dijadikan sumbernya, lalu para santri seperti menulis ulang skripsi teksnya.
Beliau kemudian pamerkan hasilnya berupa buku berjilid-jilid karya santrinya hasil dari tugas.
Terus terang saya rada bengong juga. Kok ada sih orang iseng banget. Semua pembicaraan saya ditulis ulang teksnya. Sudah mirip aplikasi voice to text.
Tapi yang bikin saya tambah bengong justru ketika membaca hasil verbatimnya. Hancur sehancur-hancurnya. Nyaris sama sekali tidak bisa dipahami.
Padahal ngetiknya dibela-belain sampai begadang sampai Shubuh. Tapi hasil blang bentong gak karuan. Berantakan dan bubar jalan. Tidak jelas jeluntrungannya.
Tapi saya diam saja, takut mengecewakan dia yang sudah susah payah bersungguh-sungguh mengetik teks rekaman ceramah saya.
Sekali lagi ini membuktikan bahwa bahasa lisan itu 180 derajat berbeda dengan bahasa tulisan. Sangat tidak masuk akal kalau bahasa lisan itu dituliskan menjadi bahasa tulisan.
Kalau mau tetap dipaksakan juga, alurnya kudu di balik, yaitu ditulis dulu baru kemudian dibunyikan pakai lisan.
Mirip script naskah film itu lho. Para sineas ketika shooting film pastinya baca script terlebih dulu. Dan seringkali dialognya sedikit mengalami perubahan ketika tapping.
Nanti kalau film sudah diedit siap ditayangkan, bisa saja sih dikasih sub title seperti teks terjemahan macam kita nonton film asing.
Tapi menuliskan sub title di suatu film pastinya beda jauh dengan bikin verbatim di atas.
***
Maka saya pun mulai membalik alurnya. Saya bikin tulisan dulu macam makalah beberapa halaman. Kemudian makalah itu yang saya jadikan bahan pengajian, dibagikan saat kajian berlangsung.
Jamaah tidak perlu ribet mencatat, karena semua yang mau saya sampaikan, sudah saya buatkan catatannya.
Kalau pun nanti pembicaraan berkembang, barulah mereka menambahi catatan ini dan itu.
Begitu . . .
[]