Pelatihan Menulis
oleh Ahmad Sarwat.
Belajar 7 tahun di LIPIA nampaknya menjadi dasar pelatihan saya untuk jadi penulis. Meski pun secara formal sebenarnya tidak ada mata kuliah kepenulisan, namun secara tidak langsung mempersiapkan saya jadi penulis.
Yang saya maksud tidak lain adalah soal-soal ujian, baik UTS ataupun UAS. Karakteristik soalnya itu asyik punya, yaitu jelaskan, uraikan, sebutkan, ceritakan dan seterusnya.
Yang paling unik bahwa satu soal saja bisa beranak dan bercucu. Jadi meski soalnya cuma lima, tapi kalau disebutkan dengan sub-subnya, sebenarnya itu merupakan daftar isi sebuah buku.
Dan ketika saya kumpulkan lembar jawaban setelah tidak berhenti menulis selama 2,5 jam, memang sudah seperti buku. Minimal jadi makalah yang lengkap.
Cuma bedanya jawaban saya masih berupa tulisan tangan. Seandainya dulu boleh jawab pakai laptop, maka lembar jawaban itu pasti sudah saya terbitkan.
Bayangkan kalau dalam satu musim ujian ada 9 mata kuliah, maka bila semua lembar jawaban itu dibundel, sudah jadi satu buku kapita selekta. Sayangnya lembar-lembar jawaban ujian itu tidak pernah dikembalikan kepada kami.
Maka ketika saya mengawali debut dalam menulis, yang saya tulis sebenarnya de-ja-vu, yaitu seperti saya lagi menulis lembaran jawaban ujian zaman masih kuliah di LIPIA dulu.
Kebetulan begitu lulus kuliah, saya dapat kerjaan yang secara teknis adalah menjawab pertanyaan banyak orang. Sebagian dari pertanyaan itu ada yang saya jawab, khususnya bisa kebetulan pernah saya pelajari di kuliah.
Lalu sebagian lagi tidak saya jawab, karena saya tidak paham dia tanya apa, atau juga karena isinya hanya curhat dan ngomel-ngomel doang. Dan ada juga yang pertanyaannya bagus sekali, cuma saya malah tidak tahu jawabannya apa.
Jadi konsentrasi saya terfokus hanya menjawab pertanyaan terkait ilmu fiqih, khususnya perbandingan dari empat mazhab. Sebab jurusan saya ketika kuliah di Fakultas Syariah memang Jurusan Perbandingan Mazhab.
Hanya saja bedanya, kini saya menulis dalam bahasa Indonesia, sedangkan dulu saya menulis jawaban kudu pakai bahasa Arab. Sekarang saya menjawab pakai komputer, dulu menulis pakai tangan.
Dulu saya tidak boleh nyontek buka kitab, sekarang bebas mau buka kitab sepuasnya. Bahkan tulisan saya pun saya lengkapi dengan footnote sebagai bukti bahwa jawaban saya tidak ngasal bin ngarang alias ngapusi. Tapi punya rujukan pasti dengan kaidah literasi yang bisa dijadikan bahan diskusi.
* * *
Lalu pertanyaannya : Kenapa yang lain pada nggak jadi penulis?
Wah, kalau itu saya serahkan kepada ustadz di bidang aqidah, mereka yang lebih tahu yang namanya urusan TAQDIR.
Jadi jawabannya simpel, mereka tidak jadi penulis karena TAQDIR. Dah gitu aja
[]