Menulis Tafsir
oleh Ahmad Sarwat
Dulu ketika masih jadi anak rohis, saya sering dijadikan mentor oleh adik-adik kelas. Namanya juga senior, tentu ada saja akal untuk bisa bergaya di depan para junior.
Salah satunya berlagak sok lebih pintar dalam urusan agama. Suka kasih tausiyah gitu lah pokoknya.
Cuma lama-lama kedok saya ketahuan juga, padahal gaya yang saya gunakan sudah sebakul. Khususnya kalau pas kebetulan punya adik junior yang pernah mondok misalnya, cacar dan belang saya langsung ketahuan.
Wah payah lah pokoknya.
Sampai akhirnya saya memutuskan bahwa saya harus lebih serius kalau mau sok jadi tukang ceramah. Gak bisa cuma berbekal senioritas, apalagi sok comot ayat comot hadits sekenanya. Belum apa-apa langsung ketahuan kalau hanya lipsink saja.
Intinya saya lantas pindah kampus, masuk fakultas Syariah hingga selesai S1, lanjut S2 dan S3 di bidang Ilmu Al-Quran dan Tafsir.
Sewaktu kuliah di Fakultas Syariah 8 semester itulah saya banyak terinspirasi menulis buku Seri Fiqih Kehidupan hingga mencapai 18 jilid.
Tapi karena setelah itu saya lanjut menyelami Tafsir, kini obsesi saya adalah menulis kitab tafsir 30 juz Al-Quran.
* * *
Saya bilang obsesi, karena saya masih berpikir panjang, apakah mampu menyelesaikannya. Makanya saya berhitung dulu.
Misalnya saya menulis dengan sangat produktif, dalam seminggu saya bisa menulis tafsir untuk satu ayat. Kalau jumlah ayat Al-Quran ada 6.236 ayat, maka butuh 6.236 Minggu. Berapa tahun kah itu?
Dalam setahun ada 52 minggu. Buka kalkulator masukkan : 6.236 dibagi 52, hasilnya 119. Jadi insyaallah kalau tidak ada halangan, butuh 119 tahun baru selesai. Wah lama banget.
Okelah coba saya ubah polanya. Bagaimana kalau setiap hari menulis tafsir satu ayat. Buka kalkulator masukkan angka 6.236 dibagi 365, hasilnya 17 tahun. Hehe masih lama juga.
Coba ditambah lagi sedikit, bagaimana kalau sehari menulis tafsir dua ayat? Gak usah pakai kalkulator, bisa ditebak dengan mudah, yaitu 8,5 tahun.
Kalau sehari empat ayat, berarti 4-5 tahun lah kurang lebihnya. Nah ini kayaknya agak masuk akal.
Tapi sehari menulis tafsir 4-5 ayat itu bisa jadi mudah kalau Allah berikan kemudahan. Buktinya banyak ulama yang berhasil menulis kitab tafsir tebal-tebal. Semua pasti atas izin Allah SWT.
Dan bisa juga jadi susah kalau misalnya takabur, sombong, riya’, ujub, sum’ah dan bosan.
Kayaknya yang terakhir itu lumayan jadi ancaman. Bab yang termasuk sulit memang, yaitu bagaimana bisa terhindar dari rasa bosan, tidak istiqamah dan jenuh.
Kuncinya sih dibawa santai saja, tidak perlu terlalu ambisi, tapi tetap dijalankan secara rutin.
Dahulu Buya HAMKA bersyukur masuk penjara, sehingga bisa menyelesaikan Tafsir Al-Azhar.
Sebelumnya beliau rutin mengajar tafsir di Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru. Di penjara itu tinggal meneruskan sisanya.
Jadi modalnya adalah mengajarkan tafsir secara rutin setiap hari. Karena dengan itu jadi tiap hari buka kitab tafsir. Kuncinya simpel dan sederhana yaitu : baca, baca dan baca.
Bahannya cukup banyak, kita punya puluhan kitab tafsir berbahasa Arab, plus seabreg kitab tafsir yang sudah berbahasa Indonesia.
Lalu dari pada cuma jadi materi ceramah, kenapa tidak ditulis saja sekalian, biar bisa jadi kitab tafsir tersendiri.
Maka kunci yang kedua adalah : tulis, tulis dan tulis.
Jadi intinya cuma baca dan tulis. Simpel
بسم الله توكلت على الله
[]