Konsultasi vs Edukasi
oleh Ahmad Sarwat.
Lulus kuliah S1 LIPIA oleh dosen saya, Dr. Salim Segaf Al-Jufri, saya diajak membantu beliau mendirikan sebuah lembaga yang dinamakan : Pusat Konsultasi Syariah.
Barangkali konsepnya ingin seperti Lajnah Daimah di Saudi Arabia atau Darul Ifta’ di Mesir. Melayani konsultasi dari masyarakat terkait berbagai persoalan menyangkut jawaban-jawaban secara syar’i.
Tugas saya waktu itu menjawab pertanyaan via internet, salah satunya dengan mendirikan website dan ada rubrik tanya jawab syariah.
Waktu itu ada sedikit beda sudut pandang antara saya dan dosen saya itu. Menurut beliau, jawaban yang diberikan tidak usah panjang-panjang, pendek dan singkat saja. Biar tidak bingung dalam memahaminya.
Sedangkan saya memandang jawaban harus panjang dan lengkap. Konsepnya persis ketika kami ujian akhir semester saat masih kuliah di LIPIA. Soal hanya selembar tapi kertas jawaban jadi 40-50 halaman.
Apalagi masalah yang ditanyakan biasanya mengandung celah khilafiyah yang cukup dalam. Jadi jawaban harus berimbang, dengan memberikan pandangan yang berbeda-beda dari para ulama yang berbeda-beda juga.
Kesimpulan akhirnya biar pembaca sendiri yang memutuskan, kami bahkan tidak merasa harus menggiring opini kepada pendapat tertentu.
Lalu apa reaksi para penanya?
Terbelah dua memang. Ada sebagian yang merasa dapat banyak manfaat dari jawaban yang lengkap dan agak dalam pembahasannya.
Tapi ada juga yang langsung scroll ke bagian akhir jawaban untuk mendapatkan kesimpulannya sesegera mungkin.
Tergantung level keilmuan di penanya. Kalau mereka yang awam dan pemula, butuhnya jawaban yang simpel dan ringkas, bahkan minta digiring ke satu pilihan.
Tetapi mereka yang sudah punya dasar ilmu agama tentu butuh jawaban yang lebih dalam kajiannya serta luas perspektifnya.
Kenapa saya memilih menjawab dengan panjang dan ogah kasih jawaban yang singkat?
Karena berfatwa pendek dan singkat itu sudah banyak dilakukan orang. Banyak website yang sekedar kloning dari fatwa dari website Arab.
Gayanya khas, pokoknya hukumnya haram dan ini dalilnya, titik. Kayak gitu dimana-mana sudah banyak menurut saya, ngapain cuma ikut-ikutan? Kita harus bisa memberi tawaran yang unik dan beda, berpikir out-of-the-box.
Kalau gaya jawabannya cuma kayak gitu, saya tidak lebih hanya jadi perpanjangan tangan orang lain. Levelnya semata hanya jadi taqlider alias tukang taqlid. Jatuhnya sama saja, taqlid taqlid juga.
Padahal umat Islam butuh jawaban yang lebih mengarah kepada edukasi dan wawasan, bahkan kejujuran. Bukan sekedar fatwa halal haram menurut satu pihak, tetapi butuh kejujuran bahwa para ulama memang beda pendapat, lantas kita butuh kajian dan analisanya. Apa sebab terjadi beda pendapat, dimana letak titik simpangnya.
Dan pastinya karena ada banyak fatwa yang berbeda-beda di jagad maya, tugas saya adalah membuat peta perbedaan pendapat itu. Bukan menggiring opini pembaca kepada selera saya, tapi mengajak pembaca bisa membaca peta perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Terus terang buat mereka yang terbiasa diberi jawaban yang sifatnya indoktrinatif, pastinya kurang suka dengan gaya jawaban seperti yang saya tuliskan.
Komentar mereka biasanya gini : jawabannya kok plin-plan gitu sih? Kenapa tidak tegas? Bilang saja to the point hukumnya haram, kenapa ragu-ragu mengharamkan yang haram?
Padahal saya juga sudah menampilkan pendapat ulama yang mengharamkan lengkap dengan dalilnya. Itu kan sudah tegas sekali.
Tapi memang yang jadi masalah saya juga cantumkan pendapat sebaliknya, yaitu yang tidak mengharamkan, lengkap dengan dalilnya juga.
Mungkin itu yang bikin mules-mules di perut. Soalnya tidak terbiasa dengan menu sajian semacam ini.
Maunya mereka dalam berfatwa itu harus pilih satu jawaban saja dan jangan tampilkan pendapat lain yang berbeda. Kalau perlu pendapat yang berbeda itu diserang dan dihabisi saja. Posisikan sebagai pihak yang salah, keliru, fasik, zhalim, musuh bebuyutan, sejuta topan badai dan seterusnya.
Nah sampai disitu saya jadi paham titik perbedaan pandangan yang paling prinsipil, yaitu banyak yang tidak siap dengan perbedaan pendapat.
Padahal perbedaan pendapat itu fakta nyata. Yang beda pendapat itu bukan orang awam, tapi justru para ulama.
Sejak dari masa shahabat, tabi’in, tabiut-tabi’in hingga ratusan tahun kemudian, hingga para ulama di semua bidang ilmu selalu berbeda pendapat.
Dalam ilmu Al-Quran dan Tafsir mereka berbeda pendapat. Dalam ilmu hadits mereka berbeda pendapat. Dalam ilmu fiqih dan Ushul Fiqih mereka berbeda pendapat.
Bahkan dalam ilmu Nahwu kita menemukan kelompok Kufiyyin dan Bashriyyin. Mereka selalu beda pendapat.
Boleh jadi kalau saya teruskan fakta-fakta terkait perbedaan pendapat para ulama, mereka bisa tambah stress dan tekanan batin.
Dan lama-lama jadi tekanan jiwa bahkan bisa berujung jadi sakit jiwa. Tidak siap dengan perbedaan. Padahal umat harus diberi wawasan serta diedukasi.
Setidaknya ada ungkapan baik yang perlu diperhatikan :
نتعاون فيما اتفقنا عليه ونتعاذر بعضنا بعضا فينا اختلفنا فيه
Kita saling bantu pada masalah yang kita sepakati, namun kita saling toleran pada masalah yang tidak kita sepakati.
Tapi kok lupa siapa yang punya ungkapan itu ya?
[]