Motivator Agama vs Pakar Ilmu
oleh Ahmad Sarwat.
Sejak masih SMA dulu saya memang sudah sering diminta jadi nara sumber berbagai acara di kegiatan ROHIS alias Seksi Kerohanian Islam. Materinya tentu saja lebih menekankan aspek motivasi keagamaan ketimbang keilmuan.
Materi motivasi itu jelas-jelas bukan ilmu agama, tapi sekedar bagaimana cara memompakan semangat keislaman. Makanya meski saya cuma anak SMA, tapi kalau sekedar memotivasi, itu sih urusan gampang.
Jangankan memotivasi, bahkan memprovokasi pun bisa dengan mudah saya lakukan. Toh yang dihadapi cuma adik-adik kelas, sesama anak-anak SMA. Mereka toh bukan santri, jadi yang memberi motivasi tidak harus sekelas guru agama ahli kitab kuning.
Yang penting bisa sedikit-sedikit menyebut istilah kearaban, lalu satu dua bisa kutip ayat atau hadits, meski ngutipnya juga belepotan, pokoknya jadilah.
Apalagi anak SMA di zaman saya tahun 80-an itu masih sangat tipis wawasan dan ilmu agamanya. Maka tugas saya untuk mempopulerkan segala yang berbau keislaman lewat pemberian motivasi keagamaan itu sangat mudah.
Intinya saya hanya memperkenalkan kisi-kisi agama Islam secara garis besar. Padahal kalau ditelisik lebih dalam, sebenarnya saya sendiri juga tidak terlalu ngerti-ngerti amat dengan detail dan seluk beluk ilmu keislaman.
Kurang lebih mirip sales promotion girl (SPG) di pameran (showroom) mobil. Tugasnya sekedar beraksi, kalau perlu beratraksi, demi menarik perhatian agar bisa membujuk calon pembeli. Setidanya sampai proses Surat Pemesan Kendaraan (SPK).
Tentu saja para SPG ini harus dibekali sedikit-sedikit informasi tentang Product Knowledge mobil yang dijualnya. Maksudnya biar kalau ada calon pembeli yang iseng tanya ini dan tanya itu, masih bisa menjawab meski ala kadarnya.
Asalkan sebatas pertanyaannya masih yang umum-umum saja, bisa jawab sih. Biar tidak kelihatan terlalu o-on.
Tentu saja para SPG ini kalau dicecar dengan pertanyaan yang lebih spesifi, Pati tidak akan bisa menjawab. Harus sekelas Fitra Eri untuk bisa menjawab pertanyaan yang levelnya lebih ekspert.
Maka saya juga harus pintar-pintar ngeles kalau pas ada pertanyaan yang rada menukik.
Tapi lama-lama saya bosan juga ngeles melulu. Bete juga terus-terusan jadi sales kayak SPG yang pintar jualan tapi tidak paham secara mendalam.
Namun bagaimana caranya?
Agak lama juga saya mikir dan menimbang-nimbang, sampai akhirnya saya berkesimpulan bahwa kalau mau punya ilmu yang lebih mendalam, satu-satunya jalan kudu ikut perkuliahan resmi.
Belajar agama bukan sekedar mengisi waktu luang, atau mencari waktu sisa hanya seminggu sekali. Kalau cuma begitu caranya, sampai tua pun nggak bakalan pinter.
Kalau memang suka bicara agama, kenapa nggak sekalian saja kuliah di fakultas keislaman, kuliah secara formal, ada dosen yang ekspert, ada literatur rujukan yang tepat, ada jam-jam pertemuan perkuliahan yang padat, ada tes dan ujian, ada tugas menulis makalah hingga skripsi, tesis dan disertasi.
Belajar agama kok nanggung, dibilang pinter nggak, tapi dibilang bodoh juga nggak rela.
Makanya setelah yakin itulah jalannya, saya pun mendropt-outkan diri dari kuliah saya di UGM Fakultas Filsafat. Pulang ke Jakarta dan mendaftarkan diri kuliah di LIPIA.
Kok nggak ke Mesir?
Nah, itu dia. Ijazah saya bukan Aliyah tapi SMA Negeri. Gak bisa diterima di Al-Azhar, kecuali kalau mau rela mengulang lagi dari Tsanawiyah. Dan saya ogah ngulang lagi.
Dan hanya LIPIA yang bisa menerima ijazah SMA, padahal untuk kuliah di Fakultas Syariah. Memang saya kudu belajar bahasa Arab dulu 2 tahun ( i’dad lughawi ) plus 1 tahun ( Takmili ). Tapi itu masuk akal dan memang penting, karena nantinya perkuliahan itu 100% pakai bahasa Arab dengan dosen native.
Ini namanya banting setir ganti haluan. Intinya saya cuma bosan jadi sales yang bisa cuma memotivasi orang beli mobil, tapi malah tidak punya mobil.
[]