Film Ar-Risalah: Satu Jembatan Barat Islam

Posted by Derry Adrian Saleh on November 6, 2022 in Ahmad Sarwat |

oleh: Ahmad Sarwat

 

( Ini tulisan lama yang saya tulis di web pribadi, tapi webnya malah sudah hilang tidak terurus. Cuma saya menemukan kembali tulisan saya dari sebuah web yang sempat ‘membajak’ tulisan saya. Jadi saya bajak kembali dan saya tarok di FB ini. Jadi, terima kasih buat pembajak yang sempat membantu menyimpankan tulisan saya yang hilang )

 

Film ini produk Holywood sehingga kualitasnya baik, tetapi yang bikin asli orang Islam, Musthafa Al-Aqqad. Jadi film ini cukup unik, sebab kita tahu Hollywood adalah `kerajaan film yahudi` yang notabene selalu menggunakan kekuatan film dalam rangka melibas apa saja yang sekiranya dianggap bertentangan dengan yahudi. Dan Islam dalam beberapa hal termasuk yang dianggap musuh oleh yahudi.

Maka pembuatan film ini diboikot yahudi.

Dan saya bilang film ini asli buatan Hollywood, karena dibuat oleh sutradara dan produser Holywood. Tentunya dengan kualitas Hollywood juga. Jadi sangat beda dengan kalau kita melihat film-film buatan Mesir misalnya, yang rada-rada melow dan meng-India-he sekali. Masak adegan dalam sirah nabi pakai ada tari perut dan nyanyi-nyanyi ala Mesir, kan aneh banget.

Tapi saya bilang film ini asli bikinan orang Islam, karena memang Mustafa Al-Aqqad, sang produser sekaligus sutradaranya, memang seorang muslim keturunan Syria. Lahir di Aleppo (orang Arab menyebutnya Halab), Syria 1 Juli 1930. Kemudian dia meneruskan kuliah di California University Amerika dan berkembang di Hollywood.
Mustafa sendiri meninggal oleh ledakan bom tahun 1995, yang diduga didalangi oleh agen Mossad di Amman Jordan. Konon sesaat sebelum kematiannya, dia berencana untuk membuat film baru tentang Shalahuddin Al-Ayyubi, versi Hollywood juga, tetapi yang adil dan proporsional.

Ar-Risalah (1976)
Kalau kita melihat bagaimana film ini dibuat, pasti kita berdecak kagum. Sebab semua teknologi canggih di masa itu dikerahkan (film ini dibuat tahun 1976). Setting kota Mekkah dibuat sangat detail, mulai dari Ka`bah yang ternyata saat itu belum berkiswah hitam, masih lurik-lurik. Hingga suasana pasar di Mekkah abad ke-7 Masehi yang telah diramaikan oleh para kafilah dagang berbagai bangsa.

Begitu juga setting kota Madinah juga dibuat sangat teliti, kita bisa melihat jelas bagaimana Masjid Nabawi pertama kali didirikan dengan atap pelepah kurma, dinding batu dan semen, serta tiang-tiang dari batang pohon kurma.

Detail kostum para prajurit perang Badar dan Uhud juga tampil menarik. Apalagi saat dikerahkan 10.000 pasukan berkuda yang mengepung kota Mekkah itu plus dengan genderang perang yang dibunyikan seirama dengan alunan takbir yang memecah angkasa. Hmm, sangat kolosal dan mengagumkan.

Saya berpikir, bahwa teknik pembuatan film ini yang pasti unik. Bayangkan bahwa di zaman itu dunia film pasti belum kenal CGI dan komputer grafik, semua di-take secara apa adanya, asli bin original.

Yang bikin menarik lagi, nampaknya Mustafa Al-Aqqad sangat ingin menjaga nuansa keaslian suasana Arab abad ke-7 tampil utuh. Sampai dia tidak rela kalau nantinya film ini rusak gara-gara didubing (baca : sulih suara). Mungkin agar bisa ditonton dengan nyaman oleh dua peradaban, barat dan Arab.

Maka dibuatlah dua film, yang satu fim Ar-Risalah dan satu lagi diberi judul The Message. Dua buah film yang dibuat bersamaan dengan satu alur cerita tapi dengan pemain yang berbeda. Tentu dengan dialog yang agak sedikit berbeda, tapi tetap satu alur. Hmm, luar biasa memang.

Ar-Risalah dimainkan oleh para pemeran yang bertutur bahasa Arab, di antaranya Abdullah Ghaits yang berperan sebagai Hamzah dan Muna Washif yang berperan sebagai Hindun. Sedangkan versi The Message dimainkan oleh para bintang yang bertutur dalam bahasa Inggris, termasuk Antony Quinn yang memerankan Hamzah dan Irene Papas.

Rupanya urusan alih bahasa, Mustafa jelas ingin sempurna. Tidak cukup hanya memberi sub-title atau dubbing, tapi waktu shooting, take dilakukan dua kali. Sekali take untuk dialog para pemeran yang berbahasa Arab dan sekali take lagi untuk dialog pemeran yang berbahasa Inggris.

Sebab cara orang Arab dalam berbicara amat beda dengan orang Inggris dan sebaliknya. Ada begitu banyak ekspresi dan bahasa tubuh yang tidak bisa dianggap remeh, buat seorang Mustafa Al-Aqqad.

Tapi kalau adegan yang longshot atau kolosal, sepertinya kedua film itu menggunakan hasil take yang sama.

Original Sound Track (OST) film ini juga dibuat secara orkestra dicompose oleh musikus kawakan, Maurice Jarre, yang mengadaptasi irama padang pasir dalam versi konser. Jarre banyak menggarap OTS film kolosal, salah satunya film tentang si orientalis Inggirs, Laurence the Arabia.

Kedua film ini diniatkan oleh Mustafa Al-Aqqad untuk menjadi jembatan antara barat dan timur, seperti ungkapannya. “Sudah menjadi tugas saya sebagai muslim yang tinggal di Barat untuk memperkenalkan wajah Islam yang original, agama yang dipeluk oleh 700 juta manusia (tahun 1976-red). Namun sedikit sekali informasi yang lurus tentang Islam di Barat, sebuah kenyataan yang agak memprihatikan buat saya.”

“Maka saya melihat sebuah kebutuhan yang besar untuk bercerita tentang kisah yang membangun jembatan antara kedua dunia itu”, tambahnya.

Boikot Hollywood
Cita-cita luhur Mustafa Al-Aqqad bukan tanpa halangan. Rupanya jaringan yahudi Hollywood merasa kecolongan dengan rencana pembuatan film ini. Kelihatan sekali mereka kompak memboikot film ini, khususnya masalah pembiayaan. Sampai akhirnya Mustafa terpaksa jual-jual proposal ke timur tengah minta support dana.

Sayangnya orang-orang Arab zaman segitu masih belum punya apresiasi yang tinggi tentang dakwah lewat film. Alih-alih dapat dana, yang keluar malah fatwa yang mengharamkan bikin film tentang Nabi Muhammad.

Sampai-sampai ketika lokasi film sudah disiapkan dan setting kota Mekkah, Madinah dan yang lainnya sudah siap, tiba-tiba para ulama di Maroko (Maghrib) juga ikut-ikutan memboikot rencana pembuatan film ini. Sehingga terpaksa shooting film gagal. Setting kota Mekkah dan Madinah yang sudah rapi, terpaksa dibongkar.

Bantuan Muammar Al-Qadzdzafi
Dalam keputus-asaan itu, tiba-tiba datang berita baik dari Libya. Sang kolonel penguasa negeri itu menawarkan bantuan, bukan hanya dana tetapi juga semua yang dibutuhkan. Termasuk tentara nasional Libya ikut dikerahkan. Maka lokasi shooting dibuat di Libya, atas bantuan besar dari sang penguasa.

Konon tentara nasional ikut main film dalam adegan Fathu Mekkah yang memang butuh 10.000 orang figuran. Walau pun tampil sekilas, longshot pula, yang penting mentas, mungkin begitu pikir para tentara Libya itu.

Sebagai ungkapan terima kasih, Mustafa Al-Aqqad lantas menghadiahi Al-Qadzdzafi sebuah film yang mengungkap kepahlawanan bangsa Libya, Umar Al-Mukhtar. Sebuah film panjang dan juga kolosal, Anthony Quinn ikut main jadi sang pahlawan. Tapi film ini hanya dibuat dalam satu bahasa, yaitu bahasa Inggris. Urusan orang Arab mau nonton film ini juga, film ini kemudian disulih-suarakan.

Rekomendasi Ulama
Urusan rekomendasi ulama, justru yang paling memusingkan. Mustafa Al-Aqqad terpaksa bolak-balik ke Mesir (Universitas Al-Azhar), khusus untuk minta fatwa tentang hal-hal teknis pembuatan film. Pastinya para ulama tidak setuju kalau sosok nabi Muhammad atau para shahabat yang mulia itu nongol di film.

Maka dicari titik tengah, tapi tentu saja bikin pusing tujuh keliling. Betapa tidak, film ini kan maunya menceritakan kehidupan seorang Muhammad SAW, tapi justru sosoknya tidak boleh tampil. Dan itu harga mati menurut para ulama Al-Azhar.

Bukan cuma sosok Nabi Muhammad saja yang tidak boleh tampil, tapi suara dan bayangannya pun juga haram tampil. Nah lho, makin bingung si Mustafa. Kalau di komik zaman saya kecil, Nabi Muhammad tampil dengan lingkaran dan tulisan Muhammad, hehehe. Tentu saja Mustafa tidak mau bikin film model komik anak-anak seperti itu.

Daya tarik utama sebuah film kan tokoh utamanya. Masak sih film James Bond yang terkenal itu, sejak awal film hingga akhir jagoannya tidak boleh nongol sosoknya? Pastinya penonton kecewa berat.

Akhirnya, titik temu didapat juga. Nabi Muhammad SAW memang tidak tampil sosoknya, tetapi yang tampil justru point of view-nya. Layar dimana penonton menyaksikan film seolah-olah merupakan pandangan mata Nabi Muhammad SAW. Adegan ini nampak jelas ketika momen Nabi SAW tiba dari hijrah di Madinah, sontak seluruh penduduk Madinah menyambutnya dan bersorak-sorak. Kamera dari atas punggung unta Nabi menampilkan pemandangan spektatuler, seolah itulah pandangan mata Rasulullah SAW. Dan . . . Al-Azhar mengangguk. Yess . . adegan itu boleh dan memenuhi kriteria syariah.

Dalam adegan lain, saat para shahabat sedang berdialog dengan Rasulllah SAW, wajah-wajah mereka menghadap ke kamera, seolah sedang menatap beliau SAW. Dan musik tertentu akan mengalun bila adegan semacam ini terjadi, menandakan layar adalah pandangan mata Rasulullah SAW.

Untuk beberapa adegan, rasanya masalah memang terjawab. Tetapi tetap saja sulit sekali menggambarkan kejadian aslinya. Misalnya adegan perang Badar yang sesungguhnya langsung dipimpin oleh Rasulullah SAW, di film ini yang tampil justru Hamzah sebagai komandan pertempuran.

Di antara titik tengah itu, nampaknya para ulama juga melarang tampilnya para shahabat yang utama, maka sejak awal hingga akhir film, kita tidak akan pernah melihat sosok Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali, Khadijah, Aisyah ridhwanullahi `alaihim. Tokoh shahabat yang tampil antara lain Hamzah, Zaid, Ja`far bin Abi Thalib, Bilal, Ammar serta kedua orang tuanya, Yasir dan Sumayyah, Hudzaifah bin Utbah.

Khalid bin Walid dan Amr bin Al-Ash ditampilkan sejak masih kafir hingga memeluk agama Islam, sebagai shahabat Nabi SAW.

Tokoh-tokoh kafir yang tampil terbatas hanya pada musyrikin Arab saja, seperti Abu Jahal, Abu Lahab dan istrinya, Umayyah bin Khalaf, Abu Sufyan dan istrinya, Hindun dan paman Nabi, Abu Thalib. Dan tambahan satu orang, yaitu tokoh munafik Madinah, Abdullah bin Salul.

Tetapi di film ini tidak ada tokoh yahudi atau nasrani yang muncul sebagai musuh yang kafir. Tokoh Majusi diwakili oleh Kisra, sangat penguasa Persia, yang muncul pada opening film ini, dan merobek-robek surat dari Nabi SAW.

Ada tiga sosok orang nasrani muncul di film ini, dan tetapi mereka justru sangat baik perlakuannya kepada Nabi SAW.

Pertama, Kaisar Romawi, Heraklius di istananya di kota Konstantinopel. Adegan itu menggambarkan dia menerima surat ajakan masuk Islam dari Rasulullah SAW.

Kedua, An-Najasyi, raja Habasyah yang Kristen tapi justru menerima dakwah beliau SAW.

Ketiga, seorang penjaga kebun di Thaif yang menolong beliau SAW saat dikejar-kejar orang kafir.

Tentu tidak semua kejadian di masa Rasulullah SAW termuat di film ini. Kita menyaksikan kejadian yang melompat-lompat dari satu masa ke masa yang lain. Entah ini menjadi kekurangan atau malah kelebihan. Yang pasti, durasi film ini amat panjang, sampai mendekati tiga jam. Jadi nontonnya butuh waktu ekstra. Atau mungkin enaknya ditonton bersambung beberapa seri.

Kita hanya menemukan dua perang yaitu Perang Badar dan Uhud. Perang-perang besar lain yang sebenarnya sangat fenomenal seperti perang Khandaq, Bani Quraidhah, Muktah, Tabuk, Khaibar dan lainnya, tidak diceritakan.

Oh ya, ada yang lucu di masing-masing versi.

Di versi Arab. tokoh yang memerankan Bilal itu lumayan ganteng lho. Sebaliknya, di versi English, pemerannya memang rada kumel. Pemeran Hamzah juga begitu, di versi Arabnya, tampil muda, gagah dan ganteng.

Tapi di versi english, jenggotnya sudah pada putih, kurang gagah. Mungkin si Anthony Quint-nya nggak mau jenggot putihnya disemir hitam.

Saya dan Film Ar-Risalah
Di Indonesia konon film ini sempat diputar di bioskop di tahun 78-an, saya kurang `ngeh` karena waktu masih duduk di SD. Lagian bioskop masih rada-rada haram waktu itu. 🙂

Tapi lewat video, boleh dibilang film inilah yang berkali-kali saya tonton video sejak masih duduk di SMA hingga sekarang ini. Sambil berseloroh saya sering bilang, bahwa film ini lebih dari seribu kali saya tonton, sampai-sampai saya hafal luar kepala hampir semua dialognya yang berbahasa Arab itu. Bahkan dulu waktu masih belajar bahasa Arab di LIPIA, film ini malah menjadi salah satu media pengajaran bahasa Arab.

Dalam banyak kegiatan daurah dan trainning keislaman di SMA dan kampus-kampus, peran saya selalu menjadi `komentator` diputarnya film ini. Dan biasanya, acara daurah berhari-hari yang isinya ngaji melulu itu akan menjadi lebih segar kalau film ini diputar. Biasanya saya bukan cuma menterjemahkan isi dialognya, tetapi malah ceramah kesana kemari menceritakan lebih detail lain tentang sirah nabawiyah.

Sayangnya waktu itu, film ini masih berformat kaset video Betamax, yang diputar berkali-kali dimana tiap kali diputar gambarnya makin memudar. Apalagi sebenarnya video itu hasil direkaman tidak resmi dari video player ke video recorder yang dicolok pakai kabel AV. Hasilnya pasti mengalami penurunan kualitas.
Lucunya, hasil rekaman itu kemudian direkam lagi, hasilnya direkam lagi dan begitu terus menerus. Yang saya punya mungkin sudah keturunan yang ke-12 barangkali.

Hasil akhirnya?
Gambarnya goyang-goyang, suaranya pecah, warnanya pudar, dan layarnya bintik-bintik putih karena head video playernya sudah tipis. Terus disemprot pakai cleaner, bisa normal lagi. Wah, kalau mengenang masa itu, sedih juga ya. Tapi ya tetap saja ditonton orang banyak.

Tidak terbayang di zaman itu nantinya akan ada teknologi VCD, DVD, mpeg, DV dan sejenisnya seperti di zaman sekarang. Zaman segitu belum ada Adobe Premierre, Avid atau Ulead Video Editing. Semua masih pakai pita kaset yang bisa kusut dan gambarnya hilang kena magnit.

Terjemah : Sub-title
Yang sedang saya kerjakan sekarang ini adalah membuat sub-title dalam bahasa Indonesia yang baik dan `mendingan`. Mengingat yang banyak dijual (pastinya bajakan) tidak ada yang memuaskan saya.

Umumnya yang dijual di kaki lima itu versi The Message berbahasa Inggris yang aneh di telinga saja. Ada juga yang berbahasa Arab dan ada terjemahnya, tetapi gambarnya . . .. ampun tuan, ancur cur cur.

Pak Yahya sahabat baik saya sejak masih kuliah di LIPIA yang jadi petugas di lab bahasa ma`had saya kontak, beliau ternyata sudah tidak punya lagi film itu karena konon termasuk `diharamkan` oleh mudir LIPIA yang dulu tanpa penjelasan.

Mungkin karena film dianggap haram atau bagaimana, entah lah. Yang ada cuma film kartun, katanya. Hihihi anak LIPIA kok nonton kartun?

So, akhirnya saya buka Youtube dan alhamdulillah saya masih bisa dapat film yang gambarnya masih makbul deh. Tinggal didownload lalu bersenjatakan Ulead Video Studio, mulai ceklak-ceklik bikin terjemahan (sub-title) film ini. Alhamdulillah, hampir semua dialog masih saya hafal luar kepala, tapi giliran menterjemahkannya, rada susah juga ya untuk mendapatkan padanan kata yang pas.

Sebenarnya pekerjaan ini buang-buang waktu, tetapi mengingat anak saya merengek terus minta dijelasin tiap dialog film ini, wah kok jadi kerjaan, makanya saya pikir tidak ada salahnya saya turun gunung, balik lagi dengan hoby jaman dulu. Mulai pelan-pelan bikin terjemahan yang hasilnya nanti bisa jadi DVD atau bisa diunggah balik ke Youtube juga. Siapa tahu masih banyak orang yang ingin nonton film ini.

Gratis?
Ya gratis dong. Kan dapetnya juga di Youtube, kembalikan ke Youtube dengan sedikit polesan terjemahan. Kalau nanti ada yang mendownload lalu di-VCD-kan terus dijual, bagaimana? Halah biarin aja dijual orang, toh saya tetap dapat pahala.

Masak mau makan dari hasil film bajakan sih? Tak usah ya.

 

 

[]

Copyright © 2008-2024 Derry Adrian Saleh All rights reserved.
This site is using the Desk Mess Mirrored theme, v2.5, from BuyNowShop.com.