Demokrasi Tukang Ngonten
oleh Ahmad Sarwat.
Salah satu kata kerja baru yang belum ada di masa lalu adalah : ngonten. Ini istilah bebas yang asalnya dari konten, maksudnya adalah membuat konten.
Secara teknis ngonten itu kurang lebih membuat karya tertentu, biasanya rekaman video, yang tujuannya agar banyak orang yang mengaksesnya.
Materinya bebas kita tentukan sendiri, bisa apa saja tanpa ada batasan, bahkan tanpa aturan durasi, juga tanpa sensor. Targetnya hanya satu, banyak yang nonton. Titik.
Urusan ada yang suka atau tidak suka, dikasih komen baik atau buruk, tidak jadi masalah. Karena yang jadi ukuran bukan kualitas, tapi kuantitas. Semakin banyak yang nonton, semakin tercapai niat dan tujuan.
Karena masuknya uang bagi tukang ngonten memang diukur dari banyak sedikitnya penonton. Sebenarnya ini hukum dasar yang sama di semua bidang, banyak yang nonton berarti sukses, tidak ada yang nonton berarti gagal. Sesederhana itu.
Sedangkan dari sisi seberapa berkualitas sebuah konten, sama sekali tidak ada konsiderannya. Bahkan cuma joget tidak jelas pun bisa banyak mengundang penonton.
Dari sudut pandang saya, yang paling unik bahwa untuk bisa membuat konten sama sekali tidak butuh modal dalam arti uang. Asalkan punya HP tidak harus punya PH, sebenarnya sudah cukup untuk bikin konten.
PH itu maksudnya production house alias studio atau rumah produksi, biasanya tempat atau pabrik untuk bikin film.
Atau setidak-tidaknya berproses, karena banyak yang mengawali bikin konten hanya bermodal HP, lalu sukses dan lama-lama punya PH sendiri.
Tapi buat penonton, sebuah konten dibikin hanya pakai HP atau PH, sama sekali tidak ada pengaruhnya. Mungkin lain halnya kalau yang nonton memang orang film atau setidaknya mereka yang kerja di bidang broadcasting.
Tapi kebanyakannya justru orang awam seawam-awamnya. Yang bikin mereka nonton bukan kualitas teknis macam juri di sebuah festival film. Tapi semata-mata justru isi kontennya.
Pelajaran dalam mata kuliah ilmu sinematografi nampaknya tidak terlalu banyak terpakai dalam dunia yang satu ini. Anda tidak harus punya kamera dengan harga ratusan juta untuk bisa dapat banyak penonton.
Kadang hanya pakai kamera HP murahan pun banyak yang nonton. Inilah yang saya sebut sebagai demokrasi ala content creator alias tukang ngonten.
Anda juga tidak harus lulus kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) untuk bisa bikin konten. Belum tentu sutradara ternama kalau bikin konten lantas banyak yang nonton.
Anda tidak harus jadi pemenang piala Citra atau peraih Oscar untuk menangguk banyak penonton. Belum tentu seorang aktor kawakan penyabet piala citra kalau bikin konten lantas banyak penontonnya. Belum tentu, catat itu.
Ini adalah sebuah ‘dunia lain’ dengan aturan main yang rada jungkir balik, tapi ini fakta. Dan kita tanpa terasa ada di dalamnya. Mau bilang apa?
Pada akhirnya mutu yang berbicara, bukan sekedar lembaga pemberi stempel
[]